Ilustrasi

Oleh Hamidulloh Ibda

Sekolah lima hari (full day school) di tingkat pendidikan dasar (SD dan SMP) yang digagas Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendi menuai kontroversi dan akhirnya dibatalkan. Mendikbud terkesan basa-basi dalam melontarkan gagasan. 

Alasan Mendikbud menerapkan full day school di jenjang pendidikan baik negeri maupun swasta, karena sebagian besar orang tua, terutama di perkotaan, juga bekerja lima hari dalam sepekan. Mendikbud juga menjelaskan, jika sistem ini terlaksana, anak-anak tetap berada di sekolah, mereka bisa menyelesaikan tugas-tugas sekolah sampai dijemput orangtuanya setelah jam kerja.

Gagasan Mendikbud tersebut apakah hanya sekadar sensasi atau inovasi revolusioner? Kita bisa lihat, sekolah enam hari seperti yang saat ini berjalan, sebenarnya tidak hanya urusan lamanya di sekolah. Sebab, berada di sekolah tidak menjamin anak-anak menyerap ilmu dari proses pembelajaran. Apalagi, belajar bukanlah soal berapa hari, namun ukurannya adalah jam dan intensitas membaca dan diskusi.

Adagium “ganti menteri ganti kurikulum” ternyata benar. Mengapa? Mendikbud baru memang tidak mengganti kurikulum, namun ia mengganti kebijakan sekolah enam hari menjadi lima hari yang dampaknya juga mendasar.  Sebelum dibatalkan, wacana Mendikbud tersebut juga sudah direstu Wapres Jusuf Kalla karena selaras dengan program Nawacita. Meskipun wacana ini dibatalkan dan belum menjadi Permendikbud, namun harus dikaji ulang dan menjadi pembelajaran bersama.

Gagal Paham
Kebijakan tersebut dalam kacamata psikologi juga sangat “kejam”. Mengapa? Karena kebutuhan anak SD-SMP tidak hanya belajar seharian penuh, melainkan juga bermain dan menggali pengalaman di masyarakat dan lingkungan. Teguh Supriyanto (2014) menjelaskan basic need (kebutuhan dasar) anak selain belajar adalah bermain dan berimajinasi. Dalam konteks pengembangan otak, saat anak dipaksa belajar tanpa seimbang dengan waktu bermain, maka justru membuat anak stres dan belajar dalam tekanan.

Secara teknis, sekolah lima hari juga akan menyusahkan guru dan anak di sekolah. Guru tidak fokus mengajar, anak juga sudah jenuh bahkan stres karena terlalu banyak menerima materi pembelajaran. Sekolah sehari hanya berorientasi pada substansi sekolah formal. Padahal kita tahu, pendidikan terbagi atas pendidikan formal, informal dan non formal. Apakah Mendikbud tidak memperhatikan hal tersebut?

Pramoedya Ananta Toer (1925-2006) menyatakan fasisme dalam pendidikan sangat berbahaya, yaitu “membuat anak takut agar manut”. Prinsip ini jelas bertentangan dengan pendidikan kemanusiaan yang membebaskan. Artinya, pendidikan bukan lagi membebaskan anak untuk menjadi dirinya sendiri, namun justru membebani dan membelenggu mereka untuk menjadi manusia kaku. Hal tersebut jelas sangat destruktif bagi perkembangan otak dan psikis anak. Padahal, sekolah merupakan taman indah yang menyenangkan bagi anak. Ia bagaikan raudlah al-jannah (taman surga) yang menciptakan kebahagiaan, bukan tempat yang membuat anak stres.

Sesuai amanat Ki Hajar Dewantara (1889-1959), dalam pendidikan kita menerapkan Tri Pusat Pendidikan tersebut meliputi pendidikan dalam keluarga, sekolah dan masyarakat.  Mendikbud dalam hal ini, luput memahami bahwa dalam dunia pendidikan terbagi atas tiga ranah. Sementara gagasan sekolah lima hari hanya menyoal pendidikan di sekolah saja. Lalu, di mana peran pendidikan keluarga dan masyarakat? Bukankah ibu dan keluarga adalah “sekolah pertama” bagi anak-anaknya? Inilah yang harus dipahami Mendikbud agar tidak asal mewacanakan sekolah lima hari.

Mengawal
Logika Mendikbud mendasarkan sekolah lima hari karena faktor orang tua sibuk bekerja sangat tidak logis. Sebab, hal itu hanya masalah teknis belaka. Gagasan tersebut tidak mendasar dan merenggut waktu anak untuk belajar. Belum lagi mereka yang beragama Islam, karena di sore hari mereka belajar di TPA dan Madrasah Diniyah.

Di sisi lain, jam mengajar guru pun akan semakin kacau. Sebab, mengacu pada UUGD pasal 35 14/2005 tentang Guru dan Dosen disebutkan beban kerja guru mencakup kegiatan pokok yaitu merencanakan pembelajaran, melaksanakan pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, membimbing dan melatih peserta didik serta melaksanakan tugas tambahan.

Selanjutnya, beban kerja guru sebagaimana dimaksud pada ayat 1 adalah sekurang-kurangnya 24 (dua puluh empat) jam tatap muka dan sebanyak-banyaknya 40 (empat puluh) jam tatap muka dalam 1 minggu tersebut merupakan bagian jam kerja dari jam kerja sebagai pegawai yang secara keseluruhan paling sedikit 37,5 (tiga puluh tujuh koma lima) jam kerja dalam 1 minggu. Jika full day school diterapkan dengan prinsip “belajar di sekolah seharian penuh”, maka akan mengacaukan pembelajaran dan kinerja guru.

Belum lagi, guru akan merasa rugi dengan sistem penggajiannya, terutama bagi mereka yang masih swasta atau honorer. Gagasan ini menjadi “ancaman” bagi mereka yang belum PNS, karena biasanya setelah selesai mengajar, mereka bekerja sampingan untuk menambah pendapatan. Lalu, apakah dengan model full day school akan menjamin gaji guru?

Belum lagi guru yang mendapat tambahan pendapatan sesuai jam mengajarnya. Jika sekolah lima hari diterapkan, tentu akan menguras APBD suatu daerah yang tidak sedikit. Dampak itu tidak hanya secara nasional, namun akan mengacaukan sistem penggajian guru PNS di daerah yang memakai APBD setempat.

Wacana Mendikbud harus dikawal serius. Sebab, jika sudah menjadi Permendikbud, maka akan susah diubah. Perlu dilakukan beberapa formula jitu. Pertama; Mendikbud perlu mengkaji lebih dalam dengan para ahli pendidikan. Jangan sampai wacana tersebut disahkan menjadi Permendikbud dan hanya menjadi “kelinci percobaan” laiknya Kurikulum 2013 dulu. Meskipun Mendikbud sudah membatalkannya, namun hal tersebut harus menjadi pembelajaran bersama.

Kedua; Mendikbud perlu duduk bersama dan mengundang Mendikbud sebelumnya. Mereka perlu duduk bersama merumuskan solusi bersama demi kemajuan pendidikan Indonesia. Hal ini penting, karena selama ini jabatan Mendikbud selalu mengutamakan “atmosfer politik” daripada kepentingan bersama. Termasuk meneruskan atau menghentikan total wacana tersebut juga menjadi penting dibahas oleh Mendikbud baru dengan Mendikbud lama.

Ketiga, subtansi pendidikan, tidak sekadar meraup ilmu sebanyaknya. Namun menurut Dandan Supratman (2014), substansi pendidikan yang utama adalah menata cara berpikir dan mengubah perilaku untuk menjadi manusia paripurna. Kesalahan pendidikan kita selama ini, mengajarkan untuk mencari ilmu sebanyaknya dan mengutamakan intelektualitas tanpa memperhatikan kecerdasan spiritual dan emosional.

Gagasan sekolah lima hari tidak sekadar sensasi belaka. Sebab, jika hanya gagasan tanpa konsep dan pertimbangan masak, lalu apa bedanya Mendikbud baru dengan yang lama. Sekolah memang bukan urusan waktu, namun urusan konsistensi dengan prinsip long life education. Pertanyannya, apakah Mendikbud basa-basi dalam mewacanakan sekolah lima hari?

-Penulis adalah dosen dan Kaprodi PGMI STAINU Temanggung, Sekretaris Redaksi Jurnal Ahlussunnah Waljamaah Annahdliyah (ASNA) LP Ma'arif PWNU Jawa Tengah
Bagikan :

Tambahkan Komentar