Oleh Hamidulloh Ibda

Selama ini, Orientasi Studi dan Pengenalan Kampus (Ospek) masih formalistik simbolis, sekadar menggugurkan program kerja dan ajang “balas dendam” bagi mahasiswa senior kepada junior. Bahkan, Ospek justru menjadi momok bagi mahasiswa baru karena banyaknya “perpeloncoan” yang jauh dari nilai-nilai edukatif dan humanis.

Meskipun sudah ada aturan tegas dari Kemenristek Dikti, namun fakta di lapangan, Ospek hanya menjadi “ritual tahunan” dan bahkan memakan korban. Bagaimana mau menjadi “kawah candradimuka” kaum intelektual, jika Ospek menjadi ajang kekerasan? Oleh karena itu, Ospek di tahun 2017 ini tidak boleh formalitas, harus memiliki orientasi jelas, mendasar dan revolusioner. Sebab, Ospek menjadi awal mahasiswa baru menginjakkan kaki di bumi akademik yang mengutamakan ilmu pengetahuan dan humanisme.

Sejak tahun 2000 sampai 2015, terjadi 10 kasus kematian mahasiswa baru saat Ospek. Ironisnya, kasus tersebut terjadi di kampus-kampus ternama, yaitu Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN), Universitas Gunadarma, Taruna Sekolah Tinggi Ilmu Pelayaran, Institut Teknologi Bandung (ITB) dan Institut Teknologi Nasional (ITN) Malang (Sindo, 4/8/2015). Jika Ospek tahun 2017 ini masih sama seperti kemarin, maka sama saja kampus gagal dalam menjalankan amanat Tri Dharma Perguruan Tinggi.

Kegagalan
Kegalalan Ospek tidak murni secara teknis. Namun, pola pendidikan di kampus selama ini memang hanya berorientasi pada ranah kognitif saja. Mereka mengejar kercerdasan intelektual, namun meninggalkan emosional dan spiritual. Tidak heran banyak mahasiswa pandai namun miskin kesantuan, moralitas dan karakter.

Buktinya, banyak kekerasan saat Ospek, tidak sedikit pula koruptor lahir dari kaum intelektual. Padahal, secara ilmu pendidikan, pola pembelajran di kampus berbasis “andragogi” bukan lagi “pedagogi”. Seharusnya, kampus menyemai generasi cerdas namun juga menjunjung tinggi kesantunan.

Di sisi lain, para mahasiswa saat menjadi aktivis kampus juga lupa akan peran dan fungsinya. Kebanyakan dari mereka saat mendesain Ospek dengan pihak kampus hanya berorientasi “gagah-gagahan” dan tidak membuat program revolusioner, edukatif dan humanis. Ironisnya, program yang mereka buat hanya “plagiat” dan meneruskan program sebelumnya. Jika ini terus berjalan, penulis yakin Ospek hanya ritus saja yang jauh dari tujuan, fungsi dan peran Ospek itu sendiri.

Secara psikis, mahasiswa semester satu menurut Musthofa (2009) sama seperti pelajar SMA kelas 4. Jiwa mereka masih labil, egonya menggebu-gebu dan mudah terpengaruh dengan hal-hal baru. Jika mereka mendapat perlakukan kekerasan dan perpeloncoan saat Ospek, maka memori buruk saat Ospek tersebut sulit dilupakan. Benih ini akan berdampak saat mereka menjadi aktivis kampus yang punya otoritas menjadi panitia Ospek. Mereka akan balas dendam dengan juniornya dan bahkan lebih kejam saat mereka Ospek dulu.

Ospek memang bukan kuliah. Namun dari Ospek tersebut, mahasiswa bisa mengenal, menangkap dan mencicipi suasana perkualiahan. Jika saat Ospek ada perpeloncoan, mereka akan “trauma dini” dan menyangka perkuliahan yang akan mereka hadapi juga demikian. Dampaknya, dosa turunan tersebut akan mengalir sampai ke generasi berikutnya.

Ospek Revolusioner
Ospek harus didesain sesuai dengan konstitusi dan asas kemajuan, edukasi dan humanisme. Ada beberapa formula yang bisa dilakukan untuk menciptakan Ospek revolusioner. Pertama, memutus mata rantai “balas dendam” mahasiswa lama dengan yang baru. Sebab, hal inilah menjadi pemicu turun-menurun lahirnya Ospek radikal dan penuh perpeloncoan.

Kedua, Ospek harus diterapkan secara humanis dan edukatif. Semua kampus harus menjalankan Keputusan Dirjen Dikti No.25/DIKTI/Kep/2014 tentang Panduan Umum Pengenalan Kehidupan Kampus bagi Mahasiswa Baru serta regulasi terbaru yang mengharuskan menggelar Ospek secara edukatif. Ketiga, Kemenristek Dikti harus menindak tegas perguruan tinggi negeri maupun swasta yang memperbolehkan mahasiswanya melakukan perpeloncoan saat Ospek. Sanksi akademik tersebut harus tegas dan tidak boleh formalitas belaka. Sebab, Ospek menjadi agenda rutin bagi kampus tiap tahun ajaran baru.

Keempat, Ospek perlu melibatkan Kepolisian maupaun TNI. Kampus harus bersinergi dengan mereka untuk memberikan materi tentang kepemimpinan, manajemen organisasi, bela negara dan Pancasila. Sebab, tentara dan polisi mengajarkan bagaimana mereka memiliki rasa membela negara.

Di forum Ospek tersebut, kaum militer bisa memberikan wawasan kebangsaan. Mengapa perlu wawasan kebangsaan dan bela Tanah Air? Sebab, hal tersebut bagian dari Revolusi Mental. Dengan demikian, mahasiswa baru akan memiliki rasa kepedulian terhadap bangsa, mereka bisa memiliki rasa bela negara melalui jagad akademik.

Kelima, Ospek perlu diisi dengan kegiatan pendongkrak soft skill mahasiswa. Selain pengenalan Tri Dharma Perguruan Tinggi, sistem perkuliahan, mahasiswa baru justru lebih tepat diberi materi tentang karya tulis maupun jurnalistik. Hal itu menjadi bekal mahasiswa untuk menulis yang benar dan baik saat duduk di bangku perkuliahan.

Keenam, saat Ospek seharusnya ada pemetaan bakat dan minat mahasiswa. Saat Ospek, pengenalan organisasi mahasiswa seperti UKM mengarahkan pada pengembangan bakat dan minat mereka. Di kampus juga ada student goverment atau pemerintahan mahasiswa yang meliputi eksekutif (BEM, HMJ) dan legislatif (senat mahasiswa). Dengan diperkenalkan organisasi mahasiswa tersebut, mahasiswa akan membuka masa depannya untuk sukses akademik dan sukses karir di organisasi.

Jika dilaksanakan dengan tujuan dan fungsinya, Ospek pasti bebas perpeloncoan. Apalagi, panitia dan yang mendesain Ospek adalah kaum intelektual, berpendidikan tinggi dan memiliki akurasi akademik yang profesional. Hakikatnya, yang namanya Ospek pasti edukatif, humanis dan revolusioner, jika tidak revolusioner, apa pantas disebut Ospek?

-Penulis adalah dosen dan Kaprodi PGMI STAINU Temanggung, Pimred Majalah Ma'arif PWNU Jawa Tengah periode 2018-2023
Bagikan :

Tambahkan Komentar