Oleh Farid Ahmadi, M.Kom., Ph.D
Dosen Pascasarjana Unnes dan Ketum Himpunan Dosen PGSD Indonesia Wilayah Jawa

Jumlah pengangguran di Indonesia menjadi salah satu tugas berat bagi perguruan tinggi. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menyatakan total pengangguran sampai Agustus 2016 sebanyak 7,56 juta orang, kemudian tahun 2016 menjadi 7,03 juta orang pada Agustus 2016. Sementara, berdasarkan data ketenagakerjaan Indonesia, jumlah pengangguran meningkat sekitar 10 ribu orang. Yakni, dari 7,02 juta orang pada Februari 2016 menjadi 7,03 juta orang per Agustus 2016 (BPS, 7/11/2016).

Akan tetapi, berdasarkan penelitian International Labor Organization atau Organisasi Buruh Internasional (ILO), pengangguran global diperkirakan naik 3,4 juta pada 2017 dan akan menjadi 2,7 juta pada 2018. Hal itu terjadi lantaran jumlah tenaga kerja tumbuh lebih cepat dari pekerjaan yang diciptakan (Liputan6.com, 18/1/2017).

Data di atas membuktikan bahwa tingkat pengangguran masih tinggi, dan lebih parah jika sarjana sebagai kaum terdidik juga menjadi pengangguran. Padahal mereka dibekali berbagai kompetensi dan ilmu pengetahuan saat belajar di kampus. Namun, mengapa menjadi pengangguran?

Tugas Kampus
Ibarat bangunan, kampus adalah rumah yang punya pintu atau jendela untuk melihat dunia yang lebih luas. Sebab, di dalam rumah, ada kamar-kamar atau ruang-ruang, di mana para mahasiswa harus memilih salah satu kamar untuk menentukan masa depannya. Kamar dalam konteks ini adalah jurusan/program studi dan fakultas yang harus dipilih calon mahasiswa setelah lulus SMA. Jika mereka salah masuk kamar, maka akan salah ke depannya. Bahkan ada satu adagium, “salah jurusan, masa depan suram”. Hal inilah yang harus dikaji sebelum calon mahasiswa masuk ke perguruan tinggi.

Menjelang tahun ajaran baru 2017/2018, banyak Perguruan Tinggi Negeri (PTN) dan Perguruan Tinggi Swasta (PTS) berlomba-lomba menawarkan prodi/jurusan. Pola pikir calon mahasiswa saat ini sudah cerdas. Artinya, mereka masuk ke salah satu kampus, tidak lagi didorong faktor ekonomi, pilihan orang tua atau teman. Akan tetapi, mereka sudah bisa memilih perguruan tinggi bereputasi serta yang bisa mengantarkan mereka pada masa depan yang cerah.

Secara umum, penerimaan mahasiswa baru di Perguruan Tinggi Negeri (PTN) maupun Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN) tahun 2017 ini akan dilakukan melalui tiga jalur. Ketiga jalur itu meliputi Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN), Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SBMPTN), dan Seleksi Mandiri. Sementara untuk PTS, biasanya dilakukan seleksi mandiri, jalur berprestasi dan jalur beasiswa dan model lain sesuai regulasi masing-masing kampus.

Pertanyaannya, PTN ataukah PTS yang mampu menjawab tantangan di atas? Sebab, logika ekonomi para calon mahasiswa masih mendominasi di setiap musim penerimaan mahasiswa baru. Apalagi, karakter masyarakat Indonesia masih mengedepankan kampus murah, berkualitas dan bisa lulus cepat dan dapat pekerjaan.

PTN atau PTS?
Secara pragmatis, PTN dinilai lebih murah dan marketable dibandingkan PTS, meskipun banyak kekurangan dan kelebihan antara PTN dan PTS. Jika PTN lebih murah, banyak pilihan prodi dan fakultas, serta ijazah yang lebih punya daya tarik tinggi karena di bawah naungan Kemenristekdikti dan Kemenag. Sementara PTS dinilai lebih mahal, jurusan terbatas dan secara kelembagaan di bawah naungan yayasan atau organisasi. Namun benarkah pendapat tersebut? Tentu tidak.

PTN dan PTS hakikatnya sama. Keduanya sama-sama menyelenggarakan pendidikan sesuai Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi. Dalam hal ini, yang harus disoroti seharusnya tidak hanya “pandangan umum”, melainkan harus melihat “status” dan “kualitas” kampus yang akan dituju.

Ada beberapa hal yang bisa dijadikan pedoman. Pertama, memilih kampus baik PTN/PTS, harus melihat status keaktifan di Kemenristekdikti. Hal ini bisa dicek secara online melalui laman Forlap Dikti. Aktif dan tidaknya kampus bisa dilihat di sana, termasuk jumlah dosen dan mahasiswanya. Kedua, kampus harus dilihat dari akreditasinya. Meskipun gedung kampus bagus, fasilitas lengkap, namun jika akreditasnya jelek, tentu mengancam masa depan mahasiswa.

Ketiga, melihat kampus dari kualitasnya. Kualitas di sini bisa dilihat dari visi-misi, kurikulum, sistem perkuliahan, jumlah dosen yang sudah doktor dan profesor serta prestasi, baik dari dosen maupun mahasiswanya. Memilih kampus yang “abal-abal”, akan semakin mengancam masa depan mahasiswanya. Apalagi, saat ini Kemenristekdikti tegas menindak kampus yang statusnya buruk. Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi (BAN PT) di tahun 2015 mencatat, ada 46 Prodi PTN/PTS di Jateng yang akreditasinya kadaluarsa (Kompas, 16/2/2015).

Dalam hal ini, calon mahasiswa bisa mencari kampus sesuai rangkingnya, bisa melalui lembaga University Rankings, seperti Times Higher Education (THE), QS World University Rankings atau Webometrics Ranking of World Universities dan lainnya. Jika kualitas kampus meragukan, lalu bagaimana dengan kualitas lulusan? Tentu meragukan pula.

Data Kemenristekdikti tahun 2017, dari sekitar 4.300 perguruan tinggi di Indonesia, hanya 49 yang mendapat akreditasi A (unggul). Hal itu mendorong kita untuk memilih kampus berkualitas dan hukumnya “wajib”. Sebab, hal itu menjadi acuan menjalankan perkuliahan dan menggapai masa depan. Artinya, kuliah tidak sekadar kuliah, asal masuk dan lulus. Namun, sebelum terlanjur kuliah di sembarang kampus, memilih kampus bereputasi menjadi pintu awal menentukan masa depan.

Kampus Masa Depan
Kampus yang benar-benar kampus, idealnya mampu mengantarkan masa depan lulusannya. Artinya, kampus sebagai lembaga penghasil diploma, sarjana, magister dan doktor, bisa mengantarkan mereka menuju gerbang kesuksesan sesuai bidangnya. Akan tetapi, fakta selama ini berkata lain. Sebab, dari pengamatan penulis, hampir 90 persen sarjana bekerja tidak sesuai jurusannya. Contohkan saja sarjana pendidikan bekerja di bank, sarjana peternakan bekerja di koperasi, sarjana kesehatan masyarakat bekerja menjadi sales. Ini kondisi memprihatinkan dan sangat ironis.

Sebelum salah jurusan dan menjalankan kuliah setengah hati, calon mahasiswa harus melakukan beberapa hal. Pertama, memilih kampus sesuai dengan jurusan di SMA. Artinya, jurusan di S1 menjadi pemantaban dari jurusan SMA. Kedua, memilih kampus sesuai keinginan dan motivasi, bukan pilihan orang tua apalagi teman. Ketiga, memilih prodi sesuai kondisi zaman. Jika sudah banyak sarjana pendidikan, misalnya, maka calon mahasiswa harus memikirkan itu. Sebab, banyaknya pengangguran terdidik salah satu penyebabnya banyak sarjana dari jurusan yang sama.

Memilih kampus tidak hanya berorientasi ijazah saja, namun juga mengutamakan motivasi “mencari ilmu” dan “meningkatkan kualitas”. Sebab, tujuan belajar hakikatnya tidak meraup ilmu sebanyaknya dan mendapat gelar setingginya, namun lebih pada “menata cara berpikir” dan “mengubah perilaku”. Jika hal itu terlaksana, maka pekerjaanlah yang akan mengejar sarjana.

Mengapa? Sarjana bukanlah yang mencari kerja, namun pekerjaanlah yang mencari sarjana. Namun apakah itu teori? Tentu tidak. Banyak contoh orang-orang hebat yang membuktikan. Mereka menjadikan kampus sebagai tempat belajar dan berwirausaha. Maka sebelum lulus, mereka sudah mendapatkan penghasilan. Di sinilah sebenarnya masalah utamanya, yaitu mental sarjana yang masih “mencari kerja” bukan “menciptakan lapangan pekerjaan”.

Kampus memang bukan segalanya, namun segalanya bisa berawal dari sana. Jika mahasiswa benar-benar belajar sesuai dengan tujuan awalnya, saya jamin pekerjaan pasti mudah didapat. Lalu, kampus yang bagaimana yang bisa mengantarkan pada masa depan? Anda sendiri yang tahu jawabannya!
Bagikan :

Tambahkan Komentar