Oleh Farid Ahmadi
Dosen Jurusan PGSD Universitas Negeri Semarang

Era globalisasi menyeret semua hal dalam satu tarikan nafas. Artinya, dunia teknologi membuat semua serba mudah, canggih, praktis. Semua informasi, aplikasi pesan atau chatting, layanan pesan tiket, membayar tagihan pulsa, listrik, pesan hotel, semua tersedia lengkap di satu benda kecil bernama ponsel atau smartphone.

Peradaban seperti inilah lazim disebut milenial, digital, yang mengharuskan semua orang untuk melek digital pula. Dunia yang berbasis cyber (siber) mewajibkan orang memiliki kemampuan siber pula. Artinya, jika digitalisasi di sini hanya sebatas “alatnya” saja, sementara orangnya masih manual, primitif, dan konsumtif, maka mereka akan mudah menjadi korban.

Era milenial yang memanjakan berbagai macam alat modern memang tidak bisa dihindari. Jika dulu orang mengirim surat/pesan harus menunggu berbulan-bulan melalui pos, sekarang melalui layanan Messengger, WhatsApp, Blakberry Messenger hanya sedetik saja bisa menerima pesan, baik itu tulisan, gambar, suara maupun video.

Ketahanan Negara
Dapat BPS (2014) menunjukkan Indonesia yang terdiri atas 13.667 pulau besar dan kecil memiliki berbagai hetegeronitas, perbedaan agama, suku, bahasa, budaya yang harus dijaga. Di sini, ketahanan negara tidak sekadar bangsa yang memiliki keuletan, ketahanan, kekuatan untuk menghadapi dan menghalau berbagai tantangan.

Ketahanan nasional yang dimaksud, tidak hanya di wilayah “benua nyata”, baik di darat, laut, dan udara. Namun juga di “benua maya” alias internet yang belakangan dipenuhi berbagai berita bohong (hoax) dan palsu (fake), serta fitnah berbau SARA yang memang diproduksi oleh sindikat dan oknum.

Ketahanan bangsa bisa berasal dari dalam dan luar. Bisa dari segala penjuru dan berbagai arah. Di dunia nyata, ada penjaga keamanan, baik itu unsur Polisi, TNI, hansip, Satpol PP dan lainnya. Lalu, bagaimana dengan di dunia maya?

Sebelum internet citizen (netizen) atau masyarakat internet membumi, hal itu berawal dari jurnalisme warga (citizen journalism) yang dulu diwadahi oleh media massa yang pakem dan profesional. Namun kini, jurnalisme warga berkembang di media sosial seperti Facebook, Twitter, Instagram begitu pesat. Ironisnya, hal itu saat ini justru dipenuhi kejahatan berbasis digital yang sangat sulit dihalau.

Di sisi lain, kecenderungan netizen biasanya lebih suka informasi “hoax” atau palsu tanpa adanya verifikasi dan konfirmasi. Padahal sebuah berita, dalam kerja jurnalistik harus melalui tahap wawancara dan klarifikasi serta memenuhi unsur 5 W + 1 H (What, Who, Why, Where, When dan How). Idealnya, sebelum membaca, mengomentari dan membagikan berita di medsos, masyarakat perlu membaca dan klarifikasi.

Melihat perilaku citizen yang “kagetan”, mudah terpengaruh dengan viralitas, bombastis, maka ketahanan negara akan terancam, karena kejahatan, serangan, fitnah, dan berbagai ganggungan sudah berkonversi di dunia maya.

Oleh karena itu, harus ada redefinisi bahwa ketahanan nasional tidak sekadar di wilayah nyata, benua nyata, namun harus dikonversikan di benua maya yang jumlahnya semakin hari bertambah terus.

Dalam sehari, hampir semua berita, video, gambar, tersebar bebas di akun medsos, baik itu Facebook, Twitter, Instagram, Path dan lainnya. Pada 2016, Facebook Indonesia melaporkan angka pengguna aktif bulanan jejaring sosial tersebut kini sudah mencapai angka 88 juta di Indonesia.

Jumlah pengguna Facebook mengalami kenaikan dibandingkan sebelumnya sebesar 82 juta pengguna pada kuartal keempat 2015. Para pengguna gadget Indonesia rata-rata mengecek ponselnya lebih dari 80 kali setiap hari. Sebanyak 14 kali dari jumlah itu adalah untuk menengok Facebook (Kompas.com, 20/10/2016). Namun, apakah itu hanya memudahkan tanpa adanya “bekal” dan kemampuan untuk mengolahnya menjadi bermanfaat?

Melek TIK
Melek Teknologi, Informasi dan Komunikasi (TIK) hukumnya wajib. Mengapa? Bangsa yang besar saat ini tidak hanya melimpah kekayaan alamnya, melainkan dituntut paham, menguasai dan juga menyediakan sumber daya berbasis TIK. Artinya, pendidikan dalam lingkup jenjang SD, SMP, SMA sampai perguruan tinggi harus mendesain pembelajaran TIK yang tidak hanya berujung pada “melek literasi”, melainkan juga membekali peserta didik dengan “melek siber”.

Tujuannya, agar mereka bisa menyesuaikan zaman, menangkal berita hoax dan fake yang belakangan bahkan sampai sekarang menyerang bangsa ini. Di sinilah peran TIK harus diperkuat guna untuk menjaga ketahanan bangsa.

Ketahanan bangsa melalui TIK harus terstruktur dan rapi. Hal itu bisa dilakukan dengan beberapa formula. Secara umum, komponen TIK terdiri atas tiga elemen utama, yaitu infrastruktur, SDM, konten dan aplikasi. Hal itu harus diterjemahkan tidak hanya dengan pendekatan paradigma TIK kuno, namun harus dikonversikan ke dalam paradigma TIK milenial. Artinya, TIK tidak sekadar melek komputer secara hardware namun lebih ke software dan kemampuan melek media, berita, digital dan usaha meresponnya dengan positif. Oleh karena itu, tiga komponen TIK di atas harus berkonversi menyesuaikan zaman.

Pertama, infrastruktur TIK tidak hanya urusan ketersediaan internet, wifi, atau Wide Area Network (WAN) yang digolongan ke dalam Jaringan Pendidikan Nasional (Jardiknas), yaitu kantor dinas pendidikan, perguruan tinggi dan sekolah. Namun, infrastruktur ini harus menekankan pentingnya ramah internet. Ramah internet tidak hanya pada keterjangkauan, namun lebih pada metode penggunaan internet dengan benar, baik dan beretika.

Kedua, penguatan SDM yang melek TIK tidak hanya pada TIK secara definisi “kebendaan”, melainkan pada kemampuan literasi digital. Era digital harus ada konversi makna dari manual ke digital. Lipton dan Hubble (2016:13) menjelaskan literasi tidak sekadar kemampuan elementer membaca, menulis dan berhitung. Literasi dalam pengertian modern mencakup kemampuan berbahasa, berhitung, memaknai gambar, melek komputer, dan berbagai upaya mendapatkan ilmu pengetahuan.

Sementara itu, Kemendikbud (2017:2) juga telah merumuskan gerakan literasi secara komprehenshif. Yaitu literasi dasar (basic literacy), literasi perpustakaan (library literacy), literasi media (media literacy), literasi teknologi (technology literacy) dan literasi visual (visual literacy). Jika hal itu terlaksana, maka SDM yang melek TIK akan mampu menjadi pioner dalam mewujudkan masyarakat internet yang bisa menangkal kehancuran informasi.

Ketiga, ketersediaan aplikasi atau konten harus berbasis edukasi, cyber, literasi dan menyediakan kebutuhan masyarakat untuk mendapatkan pengetahuan. Selama ini, gempuran berita hoax terbukti mampu memecah belah bangsa sehingga ketahanan negara terancam. Adanya sindikat SARACEN yang menjadi “jasa fitnah”, provokator, membuktikan bahwa ketahanan bangsa memang dirusak melalui teknologi. Oleh karena itu, butuh terobosan agar masyarakat tidak mudah difitnah, diadu domba melalui gadget yang berisi tumpukan informais dan aplikasi.

Melalui Kominfo, pemerintah di awal 2017 sudah melakukan terobosan dengan melakukan ”Gerakan Bersama Anti Hoax dan Peluncuran TurnBackHoax.id” yang bisa mendeteksi berita palsu. Kegiatan itu dilakukan secara bersamaan di 7 kota besar, yaitu Jakarta, Bandung, Semarang, Solo, Wonosobo, Jogjakarta dan Surabaya (Tempo, 8/1/2017). Gerakan masyarakat Indonesia yang anti-hoax menjadi titik awal untuk melek literasi. Akan tetapi, hal itu bagi yang paham, namun bagi para pelajar, remaja dan orang tua sangat susah untuk melakukan hal itu.

Oleh karena itu, perlu dilakukan beberapa hal agar banjir hoax bisa teratasi. Rumusnya, mereka harus melek literasi digital dan TIK dengan penguatan tiga komponen di atas. Tanpa itu, maka ketahanan bangsa akan mudah dihancurkan mereka para penjahat milenial. (*)

Bagikan :

Tambahkan Komentar