Oleh Farid Ahmadi, Ph.D
Dosen Pascasarjana Unnes dan Ketua Umum Himpunan Dosen PGSD Indonesia Wilayah Jawa

Berita berjudul “Kopertis Akan Diubah Jadi LLPT” yang dimuat harian ini menarik dikaji ulang (SM, 20/3/2017). Belum usainya kontroversi Peraturan Menristek Dikti No 20 tahun 2017 tentang “Pemberian Tunjangan Profesi Dosen dan Tunjangan Kehormatan Profesor, namun Kemenristek Dikti kini menggagas kebijakan baru.

Dalam wacana Kemenristek Dikti itu, status Koordinasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (Kopertis) akan diubah menjadi Lembaga Layanan Pendidikan Tinggi (LLPT) atau LL Dikti. Alasan mendasar Menristek Dikti M Nasir adalah selama ini peran Kopertis belum luas dan maksimal dalam menjembatani antara Perguruan Tinggi Negeri (PTN) dan pemerintah pusat.

Wacana ini perlu dikaji ulang. Pasalnya, Kopertis selama ini memang bertugas menjadi tangan panjang Kemenristek Dikti untuk mengurus dan membina semua hal pada Perguruan Tinggi Swasta (PTS). Maka gagasan perubahan ini harus mendasar, tidak hanya secara administratif, birokratis dan politis, namun harus benar-benar sesuai kebutuhan dan tidak “membiaskan” peran Kopertis. Apakah ini hanya sekadar “ganti baju” dan “kamuflase” belaka? Atau sekadar baju baru dengan pola lama?

Status Ganda
Logika Kemenristek Dikti tidak boleh hanya pertimbangan politis, namun juga menggunakan pertimbangan akademis. Sebab, hal ini tidak hanya berdampak pada PTN dan PTS saja, namun juga Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN) dan Perguruan Tinggi Agama Islam Swasta (PTAIS).

Selama ini PTAIN dan PTAIS berada di bawah naungan Koordinasi Perguruan Tinggi Agama Islam (Kopertais) dan Kemenag. Apalagi, banyak fakultas/prodi umum di PTAIS yang secara administratif semua datanya menginduk dan status home base mereka di Kopertis dan dihimpun di laman Forlap Dikti. Seperti contoh PTAIS yang membuka prodi PGSD, maka home base dan datanya menginduk di Kopertis karena yang menginduk di Kopertais dan Kemenag adalah prodi PGMI.

Berbeda dengan PTN/PTAIN yang bisa secara langsung berkoordinasi dengan Kemenristek Dikti/Kemenag. Namun, posisi dan status di atas justru menjadikan kampus semakin bias. Mengapa? Banyak kampus yang memiliki induk ganda. Ada PTN/PTS yang membuka fakultas/prodi Islam yang di bawah naungan Kopertais dan Kemenag, ada juga PTAIN/PTAIS yang status fakultas/prodi umum di bawah Kopertis dan Kemenristek Dikti. Aspek inilah yang seharusnya ditata terlebih dahulu dan menjadi pertimbangan mengeluarkan regulasi baru tersebut.

Wacana ini tidak hanya akan mengubah semua administrasi, baik status lembaga, kampus, namun juga data dosen dan mahasiswa. Tidak hanya data-data PTS saja, namun fakultas/prodi yang menginduk di Kopertais juga terkena dampaknya. Bagi dosen, semua pendataan berkaitan dengan tugas Tri Darma Perguruan Tinggi, jabatan fungsional, sertifikasi dosen, dan lainnya juga akan semakin kacau. Namun yang paling berdampak pada empat aspek inti, yaitu aspek akademis, keuangan, hukum dan sarana prasarana.

Jika Kopertis berubah menjadi LLPT dikhawatirkan akan menghilangkan fungsi “koordinatif”. Sebab, LLPT secara kacamata birokrasi hanya lebih pada aspek “pelayanan” yang itu justru sudah menjadi tugas Kemenristek Dikti lewat Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi (Dirjen Dikti). Jangan sampai ada “kementerian kedua” yang fungsinya diambil alih oleh LLPT.

Logika awal kebijakan ini didasari “asumsi” bahwa peran LLPT akan lebih luas dibanding Kopertis. Pasalnya, LLPT selain untuk PTS juga dikonsep menjadi jembatan komunikasi antara PTN dan pemerintah pusat. Dengan pola seperti ini, kementerian justru memberi beban ganda dan tambahan bagi Kopertis yang nantinya menjadi LLPT. Padahal dalam sejarahnya, Kopertis awalnya bernama Lembaga Perguruan Tinggi Swasta (LPTS). Jika nanti diubah menjadi LLPT, bukankah ini akan kembali seperti pola lama? Padahal, LPTS adalah pola lama yang sudah diubah menjadi Kopertis karena peran dan fungsinya kurang maksimal saat itu. Namun, mengapa Kemenristek Dikti ingin mengubah status Kopertis?

LLPT Rasa Kopertis?
Selain aspek di atas, akreditasi yang masih jauh dari harapan juga menjadi alasan Kemenristek Dikti, namun sebenarnya hal itu kurang tepat. Yang perlu dilakukan justru tidak mengubah Kopertis, namun meningkatkan kualitas PTS dari aspek pendidikan dan pengajaran, penelitian dan pengabdian masyarakat sesuai amanat Tri Darma Perguruan Tinggi. Kualitas kampus juga bisa didorong dengan meningkatkan kualitas stakeholder. Hal itu sesuai UU Nomor 12/2012 tentang Perguruan Tinggi, UU Nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, Permenristekdikti No 20/2017 tentang Pemberian Tunjangan Profesi Dosen dan Tunjangan Kehormatan Profesor, bukan mengubah status Kopertis.

Sebanyak 14 Kopertis di Indonesia saat ini membawahi sekitar 4.521 PTS. Pemerintah sebenarnya tidak terlalu “pusing” untuk memajukan PTS. Sebab, Kopertis se Indonesia tersebut menjadi “tangan panjang” untuk membina dan memajukan PTS sesuai wilayahnya di bawah instruksi Dirjen Dikti. Tugas berat justru pada PTS selaku lembaga paling bawah. Namun, pola kerja dan relasi antara PTS, Kopertis, Kemenristek Dikti sebenarnya akan semakin mudah jika tugas pokok dan fungsinya maksimal. Sebab, menggunakan pola bottom up maupun top down, hakikatnya sama jika maksimal dan banyak inovasi.

Akan tetapi, beberapa tahun ini dengan ditemukannya “kampus tidak sehat” menjadikan Kemenristek Dikti resah dan kinerja Kopertis juga disorot. Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi (BAN PT) di tahun 2015 mencatat, ada 46 Prodi PTN/PTS di Jateng yang akreditasinya kadaluarsa (Kompas, 16/2/2015). Kemenristek Dikti juga sudah menindak tegas kampus yang statusnya buruk. Sampai 2015, ada 243 kampus yang dimoratorium Kemenristek Dikti karena bermasalah. Oleh karena itu, logika perubahan LLPT sebenarnya tidak terlalu mendasar jika masih banyak problem pada PTS.

Ada sejumlah rekomendasi yang penulis tawarkan. Pertama, wacana ini harus mendasar dan tidak boleh sekadar administratif. Jangan sampai ada “LLPT rasa Kopertis” yang justru hanya formalitas belaka. Kedua, jika nanti Kemenristek Dikti mengesahkan regulasi tersebut, maka harus berorientasi pada peningkatan mutu pendidikan tinggi.

Ketiga, perubahan ini harus berorientasi pada mutu, bisa dilaksanakan dengan merombak pola kerja LLPT, tugas, fungsi dan tanggungjawabnya. Sebab, jika orientasinya peningkatan akreditasi kampus, maka harus benar-benar memiliki good system, apalagi data Dikti menyebutkan sampai tahun 2017 ini, kampus Indonesia yang bisa masuk peringkat 500 dunia hanya UI dan ITB. Data Kemenristek Dikti tahun 2017 juga menyebutkan dari sekitar 4.300 perguruan tinggi di Indonesia, hanya 49 yang mendapat akreditasi A (unggul). Padahal, sistem kerja di Kopertis sudah berbasis online, namun akreditasi PTS masih jauh dari harapan.

Keempat, sebagai lembaga yang bertugas melakukan pembinaan kepada PTS di wilayah kerjanya, ke depan LLPT harus beda dan bisa “menyehatkan kampus” yang tidak sehat. Sebab, pemerintah seharusnya tidak sekadar “mencabut izin” PTS yang tidak sehat, namun yang paling penting justru pembinaan berkala, konsisten, kontinu dan tidak tebang pilih.

Hal itu sudah diatur Permendikbud Nomor 1 Tahun 2013 tentang Organisasi dan Tata Kerja Koordinasi Perguruan Tinggi Swasta. Di sana menegaskan tugas Kopertis adalah merumuskan kebijakan dan melaksanakan pengawasan, pengendalian, dan pembinaan PTS di wilayah kerjanya sesuai kebijakan Dirjen Dikti, namun faktanya masih banyak PTS tidak sehat.

Kelima, prinsip konversi Kopertis-LLPT harus mempertimbangkan status, fungsi jelas dan tidak ganda. Sebab, selama ini banyak fungsi dan tugas ganda antara Kemenristek Dikti, Dirjen Dikti dan Kopertis, hampir sama antara Kemenag, Dirjen Diktis dan Kopertais.

Wacana ini harus didukung jika berorientasi pada peningkatkan kualitas kampus sebagai lembaga pencetak lulusan berkualitas tinggi dan unggul. Namun, Kemenristek Dikti harus mengkaji lebih dalam, apalagi karakter dan kondisi PTS di Jawa dengan di luar Jawa yang pelosok justru berbeda. Jika wacana ini benar-benar dilaksanakan, jangan sampai ada “LLPT rasa Kopertis”. Jika LLPT sama seperti Kopertis, lalu apa tujuan dasar perubahan tersebut?

Bagikan :

Tambahkan Komentar