Oleh Farid Ahmadi, M.Kom., Ph.D
Dosen Media Pembelajaran Pascasarjana Unnes, Alumnus Program Doktoral Central China Normal University

Hari Jumat 8 September 2017 ini, kita merayakan International Literacy Day atau Hari Aksara Internasional (HAI). Peringatan ini telah ditetapkan melalui Konferensi Umum UNESCO pada 26 Oktober 1966. Sejak peringatan HAI tahun 1966, acara terus dilakukan di dunia setiap tahun sebagai wujud memajukan agenda keaksaraan di tingkat regional, nasional dan global.

UNESCO mengusung tema “Literacy in a Digital World” pada perayaan HAI tahun 2017 ini. Kemendikbud mendesain tema itu menjadi “Membangun Budaya Literasi di Era Digital”. Tujuannya, agar masyarakat melek digital dan mengeksplorasi kebijakan keaksaraan yang efektif. Tanpa program akselerasi literasi, penulis yakin tema itu hanya sekadar formalitas belaka.

Di tengah kepungan internet, alat digital dan media sosial (medsos), sangat tidak cocok jika Indonesia dikatakan tertinggal dari budaya literasi. Masalahnya bukan sekadar pada ketertinggalan literasi sehingga membutuhkan program akselerasi, melainkan lebih pada penekanan variabel literasinya. Secara umum, literasi terbagi atas tiga era, yaitu pra literasi, era literasi dan pasca literasi. Lalu, di mana posisi Indonesia?

Dari berbagai hasil penelitian, Indonesia selalu ditempatkan pada urutan akhir dalam hal minat baca dan kemampuan literasi. Penelitian Program for International Student Assessment (PISA) pada 6 Desember 2016 menyebutkan kualitas membaca pelajar Indonesia rendah, karena berada di tingkat 61 dari 69 negara (Kemendikbud, 2016: 2).

Pada 2012, UNESCO mencatat indeks membaca bangsa Indonesia hanya 0,001. Artinya, dari 1.000 orang hanya 1 orang yang membaca serius. Apakah ini benar? Tentu tidak. Data ini harus dikaji ulang dan dibuktikan bersama-sama.

Perpustakaan Nasional RI menindaklanjuti data itu dengan melakukan penelitian serupa. Dengan data, variabel dan jenis penelitian sama, Perpusnas mendapatkan simpulan dari 1.000 orang ternyata ada 25 orang Indonesia yang membaca serius (Bando, 2016). Artinya, penelitian terbaru mampu membantah ketertinggalan budaya baca yang dirillis UNESCO.

Saat ini hampir semua masyarakat Indonesia memiliki gadget dan mengakses internet hampir 24 jam. Mereka pasti membaca, bukan sekadar iseng dan membuang waktu. Masalahnya, apa yang mereka baca? Apakah bacaannya berkualitas? Apakah mereka tahu cara membaca yang benar dan baik? Apakah informasi yang didapat bisa menambah khazanah ilmu dan meningkatkan kualitas?

Di sini harus dibangun pemahaman bahwa di era milenial seperti ini kita “banjir literasi”. Sebab, internet menjadi kebutuhan primer bagi masyarakat milenial. Saking pentingnya, kekayaan manusia tidak lagi hanya “harta, tahta dan wanita”. Namun juga narasikan menjadi “harta, tahta dan kuota”. Tanpa kuota, masyarakat modern seolah “tidak bisa makan” dan tersendat aktivitasnya.

 Tahun 2014, pengguna Facebook di Indonesia mencapai 77 juta, tahun 2015 sebanyak 82 dan Oktober 2016 mencapai 88 juta orang. Sedangkan pengguna WhatsApp sebanyak 1 miliar pengguna, Messenger 1 miliar pengguna, dan Instagram 500 juta pengguna (Kompas, 20/10/2016). Data ini menunjukkan masyarakat sebenarnya butuh membaca, karena aktivitas utama di internet pasti membaca. Budaya konsumtif internet inilah yang harus dimanfaatkan untuk keluar dari zona “buta literasi”.

Fokus Literasi Digital
Literasi secara teoretis tak sekadar membaca, karena meliputi catur tunggal kemampuan berbahasa (membaca, menulis, menyimak dan berbicara). Akan tetapi, inti literasi tetap pada kegiatan membaca. Konsep literasi harus menyesuaikan zaman. Artinya, tidak bisa kita memegang teguh bahwa membaca harus buku, kitab, majalah, jurnal atau makalah yang berbasis cetak.

Era digital membuat semua bahan bacaan itu menjadi elektronik. Maka fokus pemberantasan buta aksara seharusnya pada literasi digital bukan pada literasi manual. Masyarakat harus diedukasi tentang cara mendapat bahan bacaan berkualitas, pemanfaatan internet dan edukasi cara membaca cepat.

Sangat mustahil ketika orang yang hobi medsos dipaksa membaca buku tebal. Mereka harus diarahkan pada literasi digital yang lebih menekankan pada bahan baca digital. Misalnya, e-book, e-journal, e-paper dan lainnya yang sangat mudah diakses melalui platform e-library.

Ke depan, perlu pemerataan akses internet ke pelosok-pelosok. Meski sudah ada piranti digital, perpustakaan manual tetap dibutuhkan. UNESCO sendiri mendefinisikan perpustakaan sebagai “sekolah” bagi mereka yang putus sekolah dan yang tidak bisa mengakses internet.

Literasi digital bagi masyarakat modern di perkotaan tentu sudah selesai. Lalu, bagaimana yang di pelosok? Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) serta pusat data dan statistik Kemendikbud, capaian tahun 2016 pada penduduk Indonesia yang telah berhasil diberaksarakan mencapai 97,93 persen, atau tinggal sekitar 2,07 persen (3,4 juta orang).

Artinya, dari 23 provinsi sudah berada di bawah angka nasional masyarakat buta aksara sudah terselesaikan meskipun belum maksimal. Angka buta aksara usia 15-59 tahun di Indonesia dilihat dari provinsi masing-masing masih ada 11 provinsi memiliki angka buta huruf di atas angka nasional. Di antaranya Papua (28,75 persen), NTB (7,91 persen), NTT (5,15 persen), Sulawesi Barat (4,58 persen), Kalimantan Barat (4,50 peren), Sulawesi Selatan (4,49 persen), Bali (3,57 persen), Jatim (3,47 persen), Kalimantan Utara (2,90 persen), Sulawesi Tenggara (2,74 persen), dan Jateng (2,20 persen).

Sedangkan 23 provinsi lainnya di bawah angka nasional. Jika dilihat dari perbedaan gender, perempuan memiliki angka buta aksara lebih besar dibandingkan laki-laki dengan jumlah 1.157.703 laki-laki, dan 2.258.990 perempuan (Tribun, 6/9/2017).

Buta aksara di sini bukan hanya masalah kesempatan belajar dan membaca buku serta adanya perpustakaan. Akan tetapi, akses internet harus diperluas dengan mempermudah masyarakat pelosok untuk “melek internet” dan memanfaatkannya untuk kebutuhan membaca.

Akselerasi Literasi
Indonesia membutuhkan program percepatan literasi yang bisa dimulai dari lingkup terkecil. Gagasan pemerintah tentang gerakan literasi dalam keluarga, sekolah dan gerakan literasi nasional harus diwujudkan dari kegiatan paling kecil.

Subiakto (2017) mencatat 135 juta orang Indonesia menjadi pengguna aktif internet. Perilaku berinternet menjadikan masyarakat memiliki pola hidup instan, semua serba cepat dan mudah. Maka percepatan literasi tak boleh lemot, karena dunia bergeser menjadi serba digital dan cepat saji.

Program akselerasi literasi harus diimplementasikan dengan beberapa langkah. Pertama, pemenuhan kebutuhan internet dan edukasi digital di seluruh wilayah. Lewat internet, masyarakat bisa mengakses semua informasi dan pengetahuan yang serba cepat dan murah. Lewat program wifi gratis, misalnya, tiap lembaga atau dinas di daerah bisa mengatur sistem internet ramah kesehatan bermedsos dan kejahatan berbau SARA maupun pornografi.

Kedua, pemenuhan bahan bacaan di internet berbasis ilmu pengetahuan. Pemerintah melalui Perpusnas, Perpusda maupun Dinas Pendidikan bisa memfasilitasi sebuah website yang berisi e-book, e-journal, e-paper dan lainnya yang bisa diunduh gratis. Lewat media ini, masyarakat bisa menjadi “agen literasi” karena pasti menyebar media itu ke rekan atau keluarganya.

Ketiga, pemenuhan bahan bacaan murah, gratis dan melakukan distribusi massal ke perpustakaan desa, rumah baca dan Taman Baca Masyarakat (TBM). Masyarakat selama ini masih berada di zona “malas beli buku” dan lebih memilih membeli pulsa kuota internet. Artinya, pemenuhan akses dipenuhi, namun pemenuhan bahan bacaan cetak juga dipenuhi.

Keempat, menumbuhkan budaya baca sebagai “kebutuhan” bukan sekadar keinginan. Jika membaca menjadi basic need (kebutuhan dasar) masyarakat, maka era literasi pasti tercapai. Kelima, mengubah stigma bahwa membaca bukan tugas “kaum akademik” saja. Namun, semua orang “wajib membaca”. Sebab, membaca itu fitrah manusia dan perintah Tuhan pertama kali kepada Nabi Muhammad adalah “membaca”, bukan menulis, ngopi, kuliah apalagi demo.

Tahun 2017 ini, Kemendikbud membuat program penuntasan buta aksara dengan “gerakan 5M”. Di antaranya, mendesain kebijakan keaksaraan yang terintegrasi kesetaraan, memperoleh data valid. Lalu membagi tanggung jawab sumber daya pemerintah dan pemerintah daerah, mendiversifikasikan layanan program, dan memangkas birokrasi layanan program melalui aplikasi daring sibopaksara.kemdikbud.go.id.

Di lembaga pendidikan, guru dan dosen memiliki peran strategis karena menjadi sumber literasi bagi pelajar. Jika guru “buta literasi”, maka sangat susah mendesian pembelajaran dan mengedukasi pelajar “melek literasi”. Literasi tidak sekadar berkaitan kemampuan berbahasa. Namun juga kemampuan memilih informasi valid, tidak hoax (bohong) dan fake (palsu) serta segala upaya untuk mendapatkan pengetahuan. Demikianlah salah satu substansi literasi digital.

Banyaknya kasus kekerasan di dunia pendidikan, disebabkan karena guru dan siswa masih “buta literasi”. Apalagi, fakta terbaru menyebutkan kejahatan SARA dijadikan bisnis dan disebar melalui internet dan medsos.

Tak kalah penting, guru, pengelola perpustakaan, TBM, penjual buku, harus menjadi contoh dan “kiblat literasi”. Sangat lucu jika mereka menganjurkan orang lain membaca namun mereka sendiri tidak membaca. Jika mereka tidak membaca, maka sama saja seperti menjual es di musim hujan.

Program akselerasi literasi ini menjadi urgen karena tidak ada bangsa berkualitas tanpa budaya baca yang serius dan berkualitas. Literasi digital makin mudah karena internet menjadi kebutuhan dasar masyarakat kita. Membaca memang bukan segalanya, namun segalanya bisa berawal dari membaca!
Bagikan :

Tambahkan Komentar