Oleh Farid Ahmadi, Ph.D
Dosen dan Sekretaris Jurusan PGSD Universitas Negeri Semarang

Bulan Mei merupakan bulan kebangkitan pendidikan nasional. Pasalnya, selain merayakan Hardiknas pada 2 Mei, pada 20 Mei ini kita juga memperingati Hari Kebangkitan Nasional (Harkitnas). Dua momentum besar ini harus menjadikan Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) bangkit. Sebab, bangkitnya pendidikan kuncinya ada pada LPTK sebagai pencetak guru, baik dari segi kuantitas dan kualitas.

Dari tahun ke tahun, jumlah LPTK makin bertambah, baik itu Perguruan Tinggi Negeri (PTN) dan Perguruan Tinggi Swasta (PTS). Jumlah kampus di bawah Kemenristek Dikti dan Kemenag di Indonesia kini mencapai 4.525 (Republika, 10/3/2017). Dengan kuantitas itu, kita memiliki posisi strategis untuk melahirkan jutaan guru yang profesional berkarakter.

Istilah knowledge is worth as much as gold (pengetahuan lebih berharga daripada emas) harus menjadi motivasi kebangkitan pendidikan. Dengan pengetahuan luas, Indonesia bisa memiliki SDM berkualitas bertaraf nasional dan internasional. Hal itu tidak bisa berjalan maksimal dan tersistem tanpa kualitas dan pemerataan guru-guru di daerah. Sebab, selama ini yang disoroti adalah gaji guru honorer yang “tidak humanis”.

Problem Guru Honorer
Kualitas dan pengabdian guru honorer tidak bisa maksimal tanpa kesejahteraan maksimal. Apalagi di Indonesia, ada dikotomi antara guru PNS dan swasta, baik di sekolah negeri maupun sekolah swasta di bawah yayasan. Kemendikbud mencatat sampai tahun 2017 ini ada 674.775 guru honorer di sekolah negeri (Kompas, 20/3/2017).

Jumlah itu tidak sebanding dengan jumlah guru PNS yang pensiun tiap tahunnya. Keberadaan guru honorer sangat membantu operasional dan kegiatan belajar mengajar di sekolah negeri, dari jenjang SD sampai SMA. Tanpa guru honorer, pembelajaran akan pincang. Namun gaji guru honorer juga masih sengkarut, sebab penggajian guru wiyata tersebut ada yang dari dana bantuan operasional sekolah (BOS), komite sekolah, dan anggaran daerah.

Gaji guru di daerah perkotaan, sudah banyak yang disesuaikan dengan upah minimum kabupaten/kota (UMK). Akan tetapi di daerah, masih banyak gaji guru honorer di bawah “manusiawi” karena sebulan sekitar Rp 100 ribu sampai Rp 500 ribu. Penggajian ini tidak bisa diatasi tanpa adanya perubahan sistem.

Meskipun mereka bilang “ikhlas”, namun dalam hati pasti berbeda. Apalagi, menjadi guru tidak sekadar panggilan hati, melainkan juga berkaitan dengan kesejahteraan dan tanggung jawab ekonomi terhadap keluarga. Tidak mungkin guru selamanya “berjihad” tanpa gaji manusiawi.

Kemendikbud memproyeksikan dalam kurun 2016-2020, guru yang pensiun sebanyak 316.535 atau rata-rata 62.000 orang per tahun. Sementara pengangkatan guru profesional lewat pendidikan profesi guru (PPG) sebagai guru yang memenuhi syarat Undang-Undang Guru dan Dosen tahun 2005 hanya 3.000-5.000 orang per tahun.

Adanya moratorium PNS dari tahun 2014-2019 juga mengacaukan rasio jumlah guru. Meskipun banyak inisiatif pengangkatan guru honorer yang bertahap, namun rasio guru pensiun dengan pengangkatan guru PNS tidak reliabel. Perbaikan dalam hal ini tidak hanya urusan gaji dan pengangkatan guru, namun yang lebih mendasar sebenarnya perbaikan LPTK sebagai pencetak guru.


Kebijakan Revolusioner
Pemerataan guru di daerah memang sudah dilaksanakan dengan program SM3T. Namun formula ini juga belum mencukupi kebutuhan guru di daerah. Solusi nyata sebenarnya adalah pengangkatan guru honorer menjadi PNS. Perlu ada kebijakan revolusioner yang itu berasal dari Kemendikbud yang mampu menjawab tantangan di atas.

Secara bertahap, sebenarnya guru honorer memang diangkat pemerintah. Pada tahap pertama, pengangkatan guru honorer menjadi guru PNS diutamakan bagi guru honorer atau guru tidak tetap (GTT) di sekolah negeri yang digaji dari APBN dan APBD. Sampai saat ini, guru honorer di sekolah negeri masih menunggu kepastian pengangkatan guru honorer kategori K2 untuk menjadi guru PNS.

Pada awal pendataan guru honorer K2 terdata 430.000 guru. Setelah verifikasi, yang memenuhi syarat hanya 297.000 orang. Pemerintah berjanji mengangkat guru honorer kategori K2, yakni guru honorer di sekolah negeri yang tidak dibiayai APBN ataupun APBD akan diangkat secara bertahap pada 2016-2019. Akan tetapi, ternyata realisasinya belum signifikan.

Dari data PGRI (2017), secara nasional ada kelebihan 155.048 guru, tetapi jika dilihat lebih mikro hingga ke tingkat sekolah, terjadi kekurangan guru tetap. Berdasarkan Dapodik 2016, di jenjang SD, SMP, dan SMA terjadi kekurangan 550.604 guru tetap. Di SMK ada kekurangan sekitar 91.000 guru. Setelah UUGD tahun 2005, terjadi pengangkatan 1.061.500 guru. Sekitar 40 persen tidak berkualifikasi pendidikan minimal sarjana.

Keberadaan guru tidak bisa maksimal tanpa adanya bekal dari LPTK yang memenuhi Standar Nasional Pendidikan Tinggi (SNPT). Artinya, kualitas bisa diatasi dengan banyak LPTK, namun semua itu tidak akan bermutu jika LPTK tidak berkualitas.

Kebangkitan LPTK
Perbaikan LTPK tidak sekadar urusan teknis kuantitas calon guru. Namun harus mendasar dari awal sampai akhir. Pertama, penentuan kurikulum dan sistem pembelajaran di LTPK harus merujuk UU Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi. Hal itu juga disesuaikan dengan Perpres No. 08 tahun 2012 tentang Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia (KKNI) dan Pemenristek Dikti Nomor 44 Tahun 2015 tentang Standar Nasional Pendidikan Tinggi (SNPT).

Meski kampus memiliki “statuta” sendiri, namun harus sesuai ruh Tri Darma Perguruan Tinggi. Jangan sampai LPTK menentukan kurikulum “asal-asalan” dan melenceng dari ruh KKNI dan SNPT.

Kedua, perumusan sistem pembelajaran juga harus mengacu aspek eksternal, mulai dari tantangan dan persaingan global serta ratifikasi Indonesia di berbagai konvensi. Kemudian aspek internal yaitu kesenjangan mutu relevansi lulusan, beragam kualifikasi, dan beragam pendidikan.

Ketiga, percepatan dosen untuk studi lanjut S3 (doktor). Jumlah dosen kita yang sudah profesor sampai 2015 sekitar 5.097 orang dan 75.000 orang doktor (Forlap Dikti, 2015). Jumlah ini tentu masih belum sesuai dengan jumlah LPTK. Jika dibandingkan dengan Negara yang pendidikannya maju seperti Finlandia, Cina, Jepang. Maka, melalui program beasiswa dari pemerintah maupun swasta, bahkan melalui program mandiri, LTPK harus menggenjot dosen untuk studi lanjut.

Kebanyakan dosen yang bergelar S3 dan mencapai guru besar didominasi dari fakultas sains dan teknologi, matematik dan IPA, serta fakultas bahasa. Sementara rasio dosen doktor di fakultas ilmu pendidikan masih sedikit.

Ketiga, pengembangan riset dan inovasi merupakan kunci dalam membangun daya saing bangsa. Oleh karena itu, LPTK harus menggonjot riset bidang pendidikan dari jenjang SD-SMA. Apalagi, tahun 2016 publikasi riset Indonesia berada di angka 11.406 (Kompas, 7/3/2017). Jumlah itu jauh di bawah Malaysia sebanyak 25 ribu. Namun, Kemenristek Dikti optimis ke depan Indonesia mampu menduduki posisi atas dalam publikasi riset di ASEAN.

Dalam setahun, Indonesia hanya menghasilkan 6.260 riset. Padahal Malaysia membuat 25.000 riset, Singapura 18.000 riset, dan Thailand 12.000-13.000 riset (Kopertis 12, 2016). Jumlah riset Indonesia sudah sangat sedikit yang masuk Scopus, DOAJ, Google Scholar, Thomson Reuters dan lainnya. Namun hal itu sudah dijembatani Kemenristek Dikti dengan digitalisasi publikasi jurnal ilmiah menggunakan Science And Technology Index (Sinta).

Kemenristekdikti juga menyiapkan instrumen Permenristekdikti Nomor 20 Tahun 2017 tentang Pemberian Tunjangan Profesi Dosen dan tunjangan Kehormatan Profesor untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas publikasi lektor kepala dan guru besar.  ada pula Permenristekdikti Nomor 44 Tahun 2015 yang mengatur secara khusus tentang kewajiban publikasi mahasiswa program magister dan doktor.

Kita berharap LPTK bisa menjadi juara ASEAN. Hal ini jika dikaji sangat logis dikejar dengan adanya dua instrumen Permenristekdikti yang mendorong publikasi ilmiah, apalagi Kemenristek Dikti mencatat ada potensi 151 ribuan penelitian yang bisa dipublikasikan.

LPTK di dunia akademik memang bukan segalanya, namun sebagai pencetak guru, LPTL adalah “segalanya”. Tanpa LPTK berkualitas, apakah mungkin lahir guru berkualitas?

Bagikan :

Tambahkan Komentar