Temanggung, TABAYUNA.com – Pengurus Bidang Diklat dan Litbang LP Ma’arif PWNU Jawa Tengah Hamidulloh Ibda, didapuk menjadi pembicara materi public speaking dalam Pelatihan Kepemimpinan Dasar (PKD) Himpunan Mahasiswa Jurusan (HMJ) Syariah STAINU Temanggung, Kamis (10/10/2019).

Dalam kesempatan itu, peraih Juara 1 Lomba Artikel Tingkat Nasional Kemdikbud 2018 ini menyampaikan tiga hal pokok dalam retorika, orasi, public speaking atau pidato. “Aristoles, memiliki konsep orasi atau retorika yang sangat terkenal. Yaitu logos, pathos, dan etos, konsep ini lebih saya pilih daripada konsep public speaking modern,” kata dia di hadapan peserta.

Pertama adalah logos, atau ilmu pengetahuan, bahan yang akan disampaikan dalam berorasi. “Dalam pidato, paling inti adalah bahan yang akan disampaikan, atau untuk mempersuai pendengar atau audiens. Logos hal-hal logis yang disampaikan oleh pembicara. Bagaimana pembicara membangun argumentasi yang logis, rasional, dan mengumandangkan wacana itu ke hadapan publik secara sistematis dan berbobot,” tegas penulis buku Bahasa Indonesia Tingkat Lanjut untuk Mahasiswa tersebut.

Kedua adalah patos. “Setelah menguasai materi, seorang orator harus memberikan passion, emosi, spirit, ruh, dari apa yang akan ia sampaikan. Patos lebih mudahnya berupa emosi, yang dibawakan orator di hadapan pendengar,” kata pria kelahiran Pati tersebut.

Ketiga adalah etos. “Ketika sudah ada bahannya, ada emosi atau spiritnya, maka seorang orator harus juga mengindahkan yang namanya etos, karakter, atau sebuah etika dalam berorasi,” lanjut penulis buku Media Literasi Sekolah tersebut.

Saya mencontohkan Arteria Dahlan, kata dia, seorang politisi yang menjadi tokoh masyarakat, namun ia dalam berbicara tidak mengindahkan etos. “Maka, Anda sebagai calon orang besar harus mengomparasikan semua pilar orasi di atas agar apa yang Anda sampaikan mendapat pujian, bukan makian dan kritikan,” tegas Kaprodi PGMI STAINU Temanggung tersebut.

Selain itu, ia menambahkan, untuk menjadi orator ulung, perlu juga menambah poin humor dan joke-joke menarik agar apa yang disampaikan tidak garing. “Kita dapat meniru gaya Sukarno, Gus Dur, Emha Ainun Nadjib, dan sosok-sosok lain yang saya anggap sudah menjadi orator ulung dengan kecirian yang dimiliki,” lanjut dia.

Untuk menjadi orator, tentu perlu pembiasaan seperti dalam teori berbahasa, bahwa seorang untuk pandai menyimak, membaca, menulis atau berbicara membutuhkan pembiasaan. “Pintar berbicara itu bukan gawan bayi, namun membutuhkan latihan. Intinya, kalau sudah pintar berbicara, kita harus berlatih berbicara yang pintar agar apa yang akan kita sampaikan itu benar-benar tepat sasaran, mengena, membuat orang tertawa lepas, bahagia, dan tidak menyakiti hati orang lain. Maka selain joke, perlu kita berinteraksi, tanya-tanya atau menyapa pendengar, atau diselingi dengan pantuan atau puisi agar mendatangan impresi yang baik,” papar Pimred Majalah Ma’arif tersebut. (tb99/Kis).
Bagikan :

Tambahkan Komentar