Oleh Ikhsan Salafudin

Sebuah pertanyaan aneh pernah ditanyakan teman saya saat mengaji “pak? kenapa orang yang naik haji mereka dipanggil pak haji, sedangkan orang yang zakat tidak dipanggil pak zakat, padahal sama-sama rukun Islam?”. Pak ustaz tersenyum, saya dan teman-teman yang lain tertawa, kami pikir ini bercanda. “naik haji kemudian dipanggil pak haji wajar mas, kalau dipanggil pak mentri baru tidak wajar, karena mereka naik haji bukan naik mentri” jawab pak ustaz dengan nada bercanda, dan kami kembali tertawa. Kemudian pak ustaz menyambung dengan penjelasan terkait pertanyaan dengan mengacu pada sejarah.

Ketika kita melihat dari sudut pandang agama, haji merupakan ibadah yang agung, akan tetapi haji masih kalah utama dibanding syahadat dan salat, zakat dan puasa juga jauh lebih utama dibanding haji. Akan tetapi seandainya gelar haji disyariatkan oleh agama, kenapa hanya menggunakan “haji” tetapi tidak dengan yang lain?. Misalnya dikatakan haji Ikhsan, kenapa tidak  dikatakan salat Ikhsan padahal salat lebih utama dibanding haji, begitupun dengan rukun Islam lainya?.

Nabi Muhammad shallahu’alaihi wa sallam juga tidak menambahkan gelar haji pada namanya, begitupun dengan shahabat dan tabi’ut tabi’in yang tidak menambahkan gelar haji pada namanya. Maka dari penjelasan tersebut jelas, pemberian gelar haji bukan merupakan hal yang disyariatkan oleh agama. Lalu bagaimana dengan gelar yang diberikan kepada seorang yang pulang haji di Indonesia?.

Gelar Haji di Indonesia
Tidak banyak yang tahu mengenai sejarah pemberian gelar haji di Indonesia. Pemberian gelar haji di Indonesia pertama kali diberikan oleh pemerintah kolonial Belanda kala masih menduduki Indonesia. Saat itu, gerakan peribadahan organisasi-organisasi Islam tengah jadi musuh besar pemerintah kolonial Belanda. Mereka menganggap seorang yang pulang dari Ibadah haji akan mendapatkan pengalaman spiritual yang kemudian bisa mekokohkan jiwa beragama mereka. Pemerintah kolonial Belanda juga menganggap orang yang menjalankan ibadah haji akan pulang dengan semangat nasionalisme yang lebih tinggi dan akan semakin memperkokoh organisasi Islam, bahkan tidak menutup kemungkinan akan menambah organisasi Islam di Indonesia.

Menyusul kegelisahan tersebut, kemudian pemerintah kolonial Belanda membuat peraturan yaitu bagi orang-orang yang menjalankan ibadah haji mereka harus menambahkan gelar haji didepan nama mereka yaitu gelar H (haji) untuk laki-laki dan Hj (hajjah) untuk perempuan, hal tersebut supaya Belanda lebih mudah dalam memantau pergerakan mereka. Kala itu Belanda juga mulai membatasi jumlah orang yang boleh pergi haji

K.H Hasyim Asy’ari dan K.H Ahmad Dahlan seakan menjawab kegelisahan pemerintah kolonial Belanda. Kedua Ulama bergelar haji tersebut sukses mendirikan dua organisasi Islam terbesar di Indonesia yang sangat mengancam keberadaan pemerintahan kolonial Belanda yaitu K.H Hasyim Asy’ari yang mendirikan Nahdlatul Ulama pada tahun 1926 dan K.H Ahmad Dahlan yang telah lebih dulu mendirikan Muhammadiyah pada tahun 1912, yang kemudian kedua organisasi besar ini juga ikut mengantarkan Indonesia menuju negara yang merdeka.

Peraturan ini telah berlangsung lama, dari sebelum berdirinya Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah hingga masa penjajahan Belanda berakhir. Namun setelah bangsa Indonesia merdeka, nyatanya masih banyak umat Islam di Indonesia yang menggunakan gelar haji di depan nama mereka sepulangnya dari ibadah haji. Kebiasaan yang tertanam sejak lama ini tentu tidak akan mudah dihapuskan begitu saja. Hingga kini, sudah jadi semacam tradisi di mana mereka yang telah menunaikan ibadah haji akan dipanggil dengan sebutan “Pak Haji” atau “Bu Hajjah”.

Dalam hal ini banyak ulama yang berbeda pendapat, ada yang menganggap bahwa pemberian gelar haji adalah hal yang tidak perlu dilakukan karena dapat memicu riya’, bahkan bisa membelokan niat seorang yang menjalankan ibadah haji yaitu untuk mendapatkan gelar semata bukan karena ingin mendapat ridho Allah. Akan tetapi ada juga sebagian ulama yang berpendapat bahwa hal tersebut bukanlah sebuah masalah. Ustaz saya juga mengatakan bahwa hal tersebut justru menjadi hal yang unik yang menjadi ciri khas untuk jamaah haji Indonesia, mengingat pemberian gelar “haji” ini hanya ada di Indonesia.

Memang tidak ada yang salah dengan pemberian gelar haji maupun hajjah. Tidak ada hadis maupun ayat Alquran yang menyatakan melarang penambahan gelar setelah menunaikan ibadah haji ini. Namun, yang menjadikannya keliru adalah saat timbul perasaan riya’ dalam diri seseorang karena merasa dirinya lebih tinggi dibanding orang yang belum menunaikan ibadah haji. Mengingat, haji merupakan ibadah yang menuntut seseorang ikhlas dalam menjalankanya. Seseorang yang menunaikan ibadah haji hendaknya menyadari bahwa tujuan utama mereka adalah mencari ridho Allah SWT, bukan mencari gelar semata, misalnya, ketika mereka disebut namanya tanpa ada sebutan “haji” didepan namanya, maka mereka akan merasa tidak enak, mereka akan merasa kecewa, bahkan mereka akan merasa benci dengan orang tersebut.

Terlepas dari itu semua, kita boleh saja berbeda pendapat, karena pada dasarnya semua orang mempunyai hak untuk berpendapat. Kita hanya perlu menghormati perbedaan supaya tidak terjadi perpecahan. Dunia yang Tuhan ciptakan adalah dunia yang beragam dengan segala perbedaan, dan itu merupakan anugrah bagi bumi milik kita.

Mari kita belajar semakin banyak tentang perbedaan. Semakin berbudaya dan beradab kita, maka akan semakin mudah bagi kita untuk menghargai orang lain. Menghargai dan mencintai budaya dan tradisi yang lahir di bumi Nusantara kita ini adalah penting. Akan tetapi, perpecahan hanya karena perbedaan pendapat adalah hal yang harus dihindari.

Lantas, bagaimana menurut pembaca? Apakah menganggapnya sebagai hal yang unik, atau menganggap hal ini akan menumbuhkan sifat riya’ dalam diri seseorang?

-Penulis adalah Mahasiswa STAINU Temanggung

Bagikan :

Tambahkan Komentar