Oleh Miftaf Pradika Putra

Akhir-akhir ini seakan suasana Indonesia mulai mistis, keadaan mulai mencekam dengan adanya wabah Virus Corona atau Covid-19. Virus ini lahir di Kota Wuhan, Negeri China, waduh!! Pantas saja dunia mengucilkan kota tersebut. Bahkan semua negara dilarang berkunjung ke negeri China, lebih parahnya lagi semua negara menolak barang impor dari China.

Berbagai kegiatan umum banyak yang dihentikan sampai batas waktu yang telah ditentukan pemerintah. Dunia pendidikan pun juga menerima dampak dari wabah virus tersebut. Lima belas negara telah menyuruh untuk menutup sekolahan secara nasional. Ada 14 negara yang sudah menerapkan penutupan lokal, misal Eropa, Asia, Amerika Utara dan Timur Tengah.

Berdasarkan berita yang dimuat di Liputan6.com pada 18 Maret 2020 lalu, BNPB (Badan Nasional Penanggulangan Bencana) Indonesia memperpanjang masa darurat Covid-19 dari tanggal 29 Maret 2020 sampai 29 Mei 2020 karena skala penyebaran virus semakin besar dan belum ada daerah atau nasional yang menetapkan keadaan darurat maka BNPB perlu memperpanjang masa darurat tersebut. Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkannya. Yaitu, tanggal 17 Maret 2020.

Semua sekolahan di Indonesia dari tingkat SD/sederajat, SMP/sederajat, SMA/sederajat, bahkan sampai perguruan tinggi mulai melakukan pembelajaran secara tidak langsung, secara jarak jauh, pembelajaran secara Online dan meniadakan pembelajaran secara langsung atau tatap muka untuk sementara waktu. Selain itu, aktivitas yang memerlukan massa yang banyak pun sudah tidak diperbolehkan lagi. Apakah hal ini juga berlaku untuk wakil rakyat kita yang berada di gedung megah sambil duduk santai di kursi?.

Virus Corona atau Covid-19 kian hari kian merajalela, dan tak dipungkiri lagi lama kelamaan akan merusak tatanan agama. Di mana melakukan iktikaf di masjid tak dianjurkan lagi, bersilaturahmi harus dihindari, bersalam-salaman harus dicegah. Tapi mengapa semua ini bisa terjadi? Bukannya melakukan hal tersebut mendapatkan pahala? Apa kita harus menghindari pahala? Bukan seperti itu maksudnya. Dibalik hal yang dianggap menyeleweng dari tatanan agama tersebut, itu guna menjaga diri kita agar tetap sehat, aman dan terhindar dari pandemi Covid-19.

Kebanyakan masyarakat menempatkan virus ini sebagai penjajah tanpa batas, menjadikan sebagai raja kejam yang membinasakan siapa pun tanpa memandang usia, suku, ras, dan agama. Tiap hari terus dibahas, terus diceritakan, terus di posting. Bahkan, eksistensi virus tersebut telah merusak sendi kehidupan, dan terus menerus akan di ekspose para pengguna ponsel seluruh dunia.

Tidak hanya itu. Sekarang mulai banyak orang yang mendadak jadi Dokter, jadi ahli medis, ahli kesehatan, ahli virus, pejabat dinas kesehatan, dan mereka semua itu merasa berhak membeberkan isu-isu, mengumumkan berita tentang wabah Corona ini. Kita tidak sadar,  kalau virusnya ini sebenernya tertawa, mereka besar kepala, merasa dirinya sudah menang.

Corona makin berkuasa, makin menjadi raja. Raja yang menguasai segalanya. Raja yang menghantui semua orang, baik yang beragama maupun tidak, bahkan menghantui orang-orang yang suka beribadah. Kini setan pun melakukan pesta pora, setan dan balatentaranya bahagia, karena senang targetnya berhasil ditaklukkan. Loh, kenapa bisa gitu? Karena faktanya, banyak orang-orang lebih takut kepada Corona daripada kepada tuhannya.

Sudahlah, semua info tentang Corona biar berhenti di Hp kita saja, saring dan filter info-info seputar Corona, jangan teruskan posting-posting Corona. Mulai sekarang stop posting Corona, jangan ikut-ikutan posting tentang Corona, kita bukan ahlinya, biarkan info tentang Corona hanya di media Online atau di media elektronik saja, agar masyarakat tidak menyebar informasi yang membuat orang lain cemas dan akan memperkeruh suasana.

Pandemi Covid-19 kini menjadi isu terhangat di kalangan masyarakat Indonesia, pembicaraan yang kerap dibahas di media, dan semua elemen masyarakat ikut membahasnya. Padahal, sebelumnya Indonesia masih digegerkan dengan pengajuan draft RUU Omnibua Law Cipta Kerja.

Hampir seluruh masyarakat Indonesia fokus pada satu isu penolakan RUU Cilaka tersebut. Namun sayangnya, isu penolakan RUU tersebut dilengserkan dengan adanya isu-isu Virus Corona. Berita seputar penolakan RUU Omnibus Law seakan sudah diabaikan lagi, tidak lagi menjadi perhatian pertama.

Semua perlawanan rakyat yang menolak disahkannya RUU Omnibus Law yang digelar di berbagai daerah di Indonesia waktu lalu sulit untuk dilakukan lagi, karena dengan adanya isu tentang Virus Corona menghimbau agar tidak melakukan aktivitas yang memerlukan masa yang banyak Masih berlaku hingga DPR-RI melakukan pengesahan RUU Omnibus Law pada 23 Maret 2020 mendatang.
Ini akan menjadi tantangan tersendiri bagi para lapisan masyarakat yang menolak  pengesahan RUU Ciptaker tersebut. Padahal, banyak demonstran yang batal menyuarakan aspirasi masyarakat terhadap penolakan akibat tidak diperbolehkan lagi mengumpulkan masa. Akan tetapi, penolakan undang-undang penindas rakyat tersebut harus terus dikawal sampai RUU tersebut benar-benar batal disahkan!.

Kenapa sih, Omnibus Law harus ditolak? 
Omnibus Law merupakan regulasi dengan membuat undang-undang baru yang mengamendemen beberapa undang-undang sekaligus. Munculnya Omnibus Law ini ketika penyelenggara pemerintahan ingin berinovasi kemudian berbenturan dengan undang-undang yang lain yang mengakibatkan regulasi bertumpang tindih. RUU Cipta Lapangan Kerja memiliki Pasal yang menabrak bahkan melanggar konstitusi. Yaitu pasal 170 RUU Ciptaker yang mengatur bahwa peraturan pemerintah dapat digunakan untuk mengubah Undang-undang. Hal tersebut sangat bertentangan dengan pasal 7 ayat 1 dan 2 UU No. 12/2011 yang mengatur bahwa peraturan pemerintah memiliki kedudukan lebih rendah dibandingkan Undang-undang sehingga tidak bisa membatalkan maupun mengubah Undang-undang.

Isi RUU Omnibus Law juga bertentangan dengan UUD No. 13 tentang Ketenagakerjaan  yang dianggap merugikan buruh. Misal, soal status kerja kontrak dan outsourcing yang akan belaku seumur hidup dan hak pesangon seperti yang telah diatur  dalam pasal 59 UU Ketenagakerjaan akan dihapus.

Kemudian, para investor, pengusaha akan dimudahkan untuk melakukan PHK (Pemutusan Kerja Sepihak) kepada buruh karena menghapus pasal 151 UU Ketenagakerjaan. Apalagi RUU Ciptaker bakal memudahkan tenaga kerja asing masuk ke Indonesia, dan lebih tragisnya, hak-hak cuti buruh yang semula ada akan dihapus.

Kemudian, para investor, pengusaha akan dimudahkan untuk melakukan PHK (Pemutusan Kerja Sepihak) kepada buruh karena menghapus pasal 151 UU Ketenagakerjaan. Apalagi RUU Ciptaker bakal memudahkan tenaga kerja asing masuk ke Indonesia, dan lebih tragisnya, hak-hak cuti buruh yang semula ada akan dihapus.

Selain itu, RUU Omnibus Law juga menghilangkan hak atas kesehatan. Padahal hak memperoleh kesehatan merupakan Hak Asasi Manusia yang wajib diperoleh dan dijaga semua manusia tanpa terkecuali.

Yang menjadi terpenting pada bagian ini adalah, hak atas kesehatan terdapat pada UUD 1945. Dimana UUD 1945 tersebut merupakan atap tertinggi  dalam tingkatan perundang-undangan yang ada di Indonesia. Oleh karenanya, semua peraturan yang berada dibawah-Nya harus sesuai dan tidak boleh melenceng jauh dari atapnya (UUD 1945).

Dengan melihat semua ini. Pemerintah harus menyetop pengesahan RUU Omnibus Law yang terjadwal akan disahkan pada 23 Maret mendatang. Mengingat pandemi Covid-19 yang menghimbau agar semua masyarakat tidak melakukan aktivitas di luar rumah srharusnya juga berlaku untuk DPR-RI yang terhormat.

Sampai sini muncul sebuah pertanyaan. Apakah isu tentang Virus Corona merupakan tameng pemerintah untuk melakukan pengesahan RUU Omnibus Law? Bisa jadi! Bila mana himbauan untuk tidak melakukan aktivitas di luar rumah memiliki arti himbauan untuk melakukan kegiatan di dalam ruangan saja, maka para DPR-RI akan mengesahkan RUU Omnibus Law secara diam-diam. Karena perkerjaannya pun sudah jelas di dalam ruangan yang megah.
Bagikan :

Tambahkan Komentar