Oleh Anggun Nadya

Mahasiswa STAINU Temanggung 

Masuknya Islam ke Indonesia dimulai dari daerah pesisir seperti Pasai, Gresik, Goa, talo, Cirebon, Banten dan Demak. Hal ini terjadi karena pelabuhan sebagai pusat perdagangan dan interaksi antar kawasan realitas ini mencerminkan bahwa masyarakat Islam periode awal adalah masyarakat kosmopolit. Sebagaiman Islam didaerah lain, Islam di Jawa juga berangkat dari daerah pesisir. Proses pergeseran menuju pedalaman, ditengarai oleh Kuntowijoyo sebagai pergeseran Islam kosmopolit menuju Islam agraris dan Islam yang mistik.

Sebagai pendapat  ada empat hal disampaikan histiografi tradisional. Pertama, Islam di Nusantara dibawa langsung dari Tanah Arab. Kedua, Islam diperkenalkan oleh para guru atau juru dakwah profesional. Ketiga, orang-orang yang pertama kali masuk Islam adalah penguasa. Keempat, sebagaian besar para juru dakwah profesional datang di Nusantara pada abad ke-12 dan ke-13

Melihat proses masuknya Islam di Indonesia dari perspektif perkembangan nampaknya dapat dikompromikan bahwa Islam di Jawa mengalami tiga tahap. Pertama, masa awal masuknya Islam ke Wilayah Indonesia terjadi pada abad VII M. Kedua, masa penyebaran keberbagai pelosok dilaksanakan pada abad VII sampai XIII M. Ketiga, masa perkembangan yang terjadi mulai abad XIII M dan seterusnya. Sedangkan sejarah Jawa akhir abad ke 15 hingga awal abad ke 16 mempunyai arti penting bagi perkembangan Islam. Setidaknya hal ini bisa dilihat dari dua sisi. Pertama, sebagai masa peralihan dari sistem politik HinduBudha yang berpusat dipedalaman Jawa Timur ke sistem sosial politik Islam yang berpusat di pesisir utara Jawa tengah. Kedua, sebagai puncak islamisasi di Jawa yang dilakukan oleh para wali.

Walisongo pada masa pelembagaan Islam menggunakan beberapa tahapan, yaitu pertama mendirikan masjid. Dalam proses penyebaran Islam masjid tidak hanya berfungsi untuk tempat beribadah tetapi juga tempat pengajian, dan dari majidlah proses penyebaran Islam di mulai. Masa-masa awal proses islamisasi, masjid menjadi tempat ritual, masjid juga sebagai pusat tumbuh dan berkembangnya kebudayaan Islam. Di dalam masjid segala aktifitas pengembangan Islam berlangsung. Banyak masjid yang diyakini sebagai peninggalan Wali dan dinamakan Wali yang bersangkutan. Seperti masjid yang didirikan oleh Raden Rahmat yang diberi nama Laqab sebagaimana tradisi Timur Tengah – Sunan Ampel, sehingga masjidnya dinamakan Masjid Ampel, masjid Giri didirikan oleh Sunan Giri, Masjid Drajat yang didirikan oleh Sunan Drajat dan sebagainya.

Seperti yang telah di jelaskan di atas bahwa peran walisongo di pulau jawa kususnya sebagai penyebar agama islam, datangnya walisongo ke jawa pastinya berperan yang sangat besar dalam kemajuan islam nusantara. Tidak hanya mengaji dan mengaji namun dengan pendekatan yang tidak meningalkan tradisi sebelumya pada waktu itu mereka hanya merubah sedikit tradisi yang sekiranya kurang baik ke lebih baik lagi. Mislnya dalam tradisi sadrana pada zaman dulu orang-orang jawa mengunakan ingkung manusia untuk memeriahan acara sadranan ini.

Madang geden kata milenialis yang tengah viral di kalangan masyarakan kini. Madang geden ini adalah suatu kegiatan remaja milenialis makan-makan bersama teman akrabnya. Madang geden ala walisongo yang di maksud adalah acara sadranan. Seperti yang kita tahu Salah satu yang khas dan pasti ada di setiap Nyadran, adalah acara makan bersama . Prosesi ini menjadi salah satu yang ditunggu oleh warga. Setiap keluarga membawa masakan hasil bumi. tradisi ini adalah hasil akulturasi budaya Jawa dengan Islam. Kata Nyadran berasal dari kata 'Sraddha' yang bermakna keyakinan.

Masyarakat yang melakukan tradisi Nyadran percaya, membersihkan makam adalah simbol dari pembersihan diri menjelang Bulan Suci. Kerukunan serta hangatnya persaudaraan sangat terasa setiap kali tradisi Nyadran berlangsung. Tujuan Nyadran mengajarkan untuk mengenang dan mengenal para leluhur, silsilah keluarga, serta memetik ajaran baik dari para pendahulu. Seperti pepatah Jawa kuno yang mengatakan "Mikul dhuwur mendem jero" yang kurang lebih memiliki makna “ajaran-ajaran yang baik kita junjung tinggi, yang dianggap kurang baik kita tanam-dalam".

 

Bagikan :

Tambahkan Komentar