Oleh: Ghaida Mutmainnah
Di sudut-sudut kampung yang dulu riuh oleh suara anak-anak, kini yang terdengar hanya kesunyian. Lapangan yang biasanya menjadi arena gobak sodor, engklek, atau petak umpet, berubah menjadi lahan kosong yang tak lagi dipijak kaki-kaki kecil yang berlari sambil tertawa. Zaman telah bergeser. Anak-anak masa kini lebih betah duduk berjam-jam menatap layar gadget daripada berlarian di bawah terik matahari atau hujan gerimis.
Kehadiran gadget dalam kehidupan anak-anak membawa perubahan besar yang tak terelakkan. Dari usia balita hingga remaja, hampir semua memiliki akses ke ponsel pintar, tablet, atau perangkat elektronik lainnya. Mereka mengenal dunia melalui layar, bermain game dengan lawan yang tak pernah mereka temui, dan tertawa sendiri saat menonton video animasi. Sementara itu, permainan tradisional yang pernah menjadi warisan budaya bangsa mulai terkikis, perlahan-lahan menghilang dari ingatan dan pengalaman.
Dulu, permainan tradisional bukan sekadar hiburan. Ia adalah ruang belajar yang kaya nilai sosial, di mana anak-anak belajar bekerja sama, menyusun strategi, bahkan menyelesaikan konflik kecil secara langsung. Ketika bermain kelereng, mereka mengasah ketelitian dan ketangkasan tangan. Saat bermain lompat tali, mereka melatih keseimbangan dan kekompakan. Semua itu dilakukan dengan interaksi tatap muka, penuh gelak tawa yang menular dan kadang diselingi tangis karena kalah bermain.
Kini, interaksi semacam itu semakin jarang ditemukan. Anak-anak yang terlalu asyik dengan gadget lebih memilih dunia virtual. Mereka bisa menjadi “pahlawan” dalam game favorit, membangun kota di dunia maya, atau menjelajah semesta tanpa harus keluar rumah. Namun, di balik keseruan itu, ada harga yang harus dibayar. Aktivitas fisik yang minim membuat tubuh mereka kurang bergerak, mata lelah karena paparan layar berlebihan, dan kemampuan bersosialisasi yang perlahan tergerus.
Orang tua sering beralasan bahwa gadget adalah solusi praktis untuk membuat anak tenang. Di sisi lain, mereka lupa bahwa terlalu lama bermain gadget bisa menumbuhkan kecanduan. Rasa ingin tahu anak terhadap lingkungan sekitar pun berkurang. Mereka lebih mengenal karakter-karakter game daripada teman-temannya sendiri di lingkungan rumah.
Permainan tradisional, yang seharusnya menjadi jembatan untuk menumbuhkan rasa kebersamaan dan melestarikan budaya, kini terancam hilang. Banyak anak zaman sekarang yang bahkan tidak tahu cara bermain congklak, tak pernah merasakan serunya petak umpet, atau tidak mengerti aturan main bentengan. Jika ini terus dibiarkan, mungkin permainan tersebut hanya akan tinggal dalam buku sejarah atau dokumentasi video yang diunggah di media sosial oleh generasi yang merindukan masa kecilnya.
Tentu saja teknologi tidak bisa dihindari. Ia adalah bagian dari kemajuan yang membawa banyak manfaat, termasuk dalam pendidikan dan komunikasi. Namun, keseimbangan adalah kunci. Mengembalikan ruang bagi permainan tradisional bukan berarti menolak gadget, tetapi mengajarkan anak-anak untuk menikmati dunia nyata yang penuh warna dan pengalaman yang tak bisa diberikan oleh layar.
Di beberapa daerah, ada komunitas yang mencoba menghidupkan kembali permainan tradisional dengan mengadakan festival atau lomba di sekolah-sekolah. Sayangnya, upaya ini belum cukup untuk melawan dominasi gadget yang semakin kuat. Perlu peran semua pihak—orang tua, guru, hingga masyarakat—untuk memastikan bahwa permainan tradisional tetap hidup dan bisa dikenang oleh generasi berikutnya, bukan sekadar menjadi cerita nostalgia orang tua kepada anaknya.
Gadget memang telah mengubah cara anak-anak bermain. Tapi kita masih punya pilihan: membiarkan warisan permainan tradisional terkubur oleh layar, atau menyelamatkannya agar anak-anak merasakan kebahagiaan sederhana yang pernah kita alami dulu.
Tambahkan Komentar