Oleh : Indah Kurnia Sari


Aku masih ingat betul, hari pertama kita duduk sebangku di kelas sebelas. Kamu datang terlambat, rambutmu basah karena hujan, dan aku menahan tawa melihat sepatumu belepotan lumpur. Sejak hari itu, kamu selalu duduk di sebelahku, dan sejak saat itu pula, pelan-pelan aku tahu apa arti kata "berjuang" yang sesungguhnya.


Kamu sering bercerita soal cita-citamu: ingin jadi TNI. Katamu, ingin membanggakan orang tua, ingin menjadi pelindung negeri. Matamu selalu berbinar kalau membicarakan itu. Aku ikut larut, ikut menenun harapan bersamamu. Kita belajar bareng, lari pagi bareng, bahkan aku ikut bantu menyusun berkas pendaftaranmu sambil deg-degan menunggu pengumuman.


Saat kamu gagal di percobaan pertama, kamu sempat ingin menyerah. Tapi aku yang menarikmu kembali, memaksamu untuk mencoba lagi. Kataku, “Mungkin belum sekarang, tapi suatu saat kamu pasti berhasil.” Kamu menatapku lama, lalu mengangguk pelan, dan menggenggam tanganku seerat mungkin. Hari itu kamu janji, kalau suatu hari nanti berhasil, aku orang pertama yang akan kamu kabari.


Tahun berganti. Kamu lulus. Kamu ikut pelatihan, kursus fisik, dan tes-tes lainnya. Sementara aku, tetap di sini, menjaga semangatmu, meski jarak mulai merenggang. Kita tak sesering dulu bertukar kabar, tapi setiap ada waktu, kamu tetap bilang bahwa aku adalah satu-satunya yang kamu percaya.


Lalu, satu hari datang kabar dari teman kita: kamu lolos. Kamu resmi menjadi TNI. Aku terdiam. Bukan karena tak senang, tapi karena bukan dari kamu aku mendengarnya. Bukan dari pesan, bukan dari telepon, bahkan bukan dari bibirmu sendiri.


Aku menunggu—seminggu, dua minggu, sebulan—tapi tak ada kabar. Pesanku hanya dibaca, teleponku tak pernah dijawab. Aku berpikir, mungkin kamu sibuk. Tapi diam-diam, hatiku tahu: kamu telah memilih untuk pergi.


Lucu, ya. Aku yang menanam, menyiram, menjaga akar mimpi itu tumbuh, tapi ketika bunga itu mekar, aku bukan siapa-siapa.


Kini, aku melihat fotomu di media sosial. Seragam gagah itu telah menjadi milikmu. Kamu tersenyum, berdiri tegap di antara rekan-rekanmu. Dan aku, hanya bisa menatap dari layar, dengan hati yang menggigil.


Bukan karena dingin, tapi karena akhirnya aku sadar: kamu tidak benar-benar menghilang, kamu hanya tidak ingin aku ada lagi di ceritamu yang baru.


Aku bukan marah. Hanya sedih. Sebab, ternyata, dalam perjuangan menuju cita-citamu, aku hanya persinggahan.

Bagikan :

Tambahkan Komentar