Oleh: Ghaida Mutmainnah
Hujan selalu datang di saat-saat seperti ini. Menyapa jendela kamar Hana dengan ketukan lembut, seolah tahu ada hati yang sedang sibuk menyembunyikan sesak. Aroma tanah basah merambat masuk, bersatu dengan segelas kopi yang sudah dingin di meja. Hana menatap layar ponselnya yang sudah gelap. Tidak ada pesan masuk. Tidak ada notifikasi apapun darinya.
“Kenapa aku masih berharap?” gumamnya lirih.
Dari kejauhan, suara radio tua memutar lagu lawas yang semakin menambah sendu suasana. Liriknya tentang seseorang yang merindu pada kekasih yang tak akan pernah kembali. Hana tersenyum pahit. Lagu itu seperti menertawakannya.
Sudah dua tahun sejak terakhir kali ia melihat Arga. Dua tahun sejak lelaki itu berdiri di depan pintu bandara, hanya menatapnya tanpa berani mengucap kata perpisahan. Waktu itu, Hana tak bisa menangis. Ia terlalu sibuk meyakinkan diri bahwa semua akan baik-baik saja. Bahwa jarak hanya soal waktu, bukan soal hati.
Nyatanya, waktu tidak pernah berpihak pada mereka.
“Hana… aku tidak bisa lagi.”
Pesan itu datang beberapa bulan setelah kepergian Arga ke negeri seberang. Hanya satu kalimat pendek yang memutuskan semuanya. Tidak ada penjelasan. Tidak ada alasan. Hanya sebuah akhir yang dingin.
Sejak saat itu, Hana mencoba keras melupakan. Ia menghapus semua foto, memblokir media sosial Arga, bahkan membuang segala benda pemberian lelaki itu. Tapi anehnya, rindu tak ikut hilang. Rindu justru menjadi seperti luka lama yang menganga setiap kali hujan datang.
“Kenapa harus kamu?” Hana kembali bertanya pada diri sendiri. Pertanyaan yang tak pernah mendapat jawaban.
Di luar, hujan mulai reda. Hana menarik hoodie abu-abunya dan memutuskan keluar. Ia berjalan tanpa tujuan menyusuri jalanan kota yang masih basah. Lampu-lampu jalan memantulkan bayangannya di aspal. Sejak kecil, ia selalu menyukai berjalan di bawah langit mendung. Rasanya seperti dunia ikut bersedih bersamanya.
Tiba-tiba langkahnya terhenti. Di seberang jalan, ia melihat sosok yang begitu familiar. Seorang lelaki dengan postur yang tak berubah, berdiri di depan toko buku yang dulu sering mereka kunjungi.
Hana mematung. Dadanya seakan diremas.
“Arga…” bisiknya hampir tak terdengar.
Lelaki itu juga menoleh, seolah merasakan tatapan Hana. Mata mereka bertemu. Ada keheningan aneh di antara keramaian. Seperti hanya ada mereka berdua di dunia ini.
Hana ingin berlari. Ingin mendekap Arga, ingin bertanya mengapa semua harus berakhir seperti itu. Tapi kakinya seakan tertancap di tanah. Bibirnya kelu. Arga hanya diam, menatapnya dengan mata yang sama mata yang pernah membuat Hana jatuh cinta.
Satu… dua… tiga detik berlalu.
Arga tersenyum kecil. Senyum yang tak lagi hangat seperti dulu, tapi cukup untuk menyayat hati Hana.
Di samping Arga, seorang perempuan muncul. Cantik. Rambut panjang terurai. Ia menggandeng tangan Arga dengan penuh kepemilikan. Hana melihatnya jelas ada cincin di jari manis perempuan itu.
Dunia Hana runtuh dalam hening.
Arga mengangguk kecil, seperti salam perpisahan yang tak pernah sempat ia ucapkan dulu. Lalu ia berbalik, berjalan pergi bersama perempuan itu.
Hana masih berdiri di tempat. Matanya memanas, tapi air mata tak mau jatuh.
“Jadi memang hanya sampai di sini…” katanya pada dirinya sendiri.
Ia memejamkan mata, mencoba menghapus bayangan Arga. Tapi rindu itu terlalu kuat.
Rindu yang tak lagi punya tujuan. Rindu yang hanya bisa ia simpan sampai kapan pun.
Hana pulang dengan langkah gontai. Di kamar, ia menulis di buku hariannya:
"Aku mencintaimu, bahkan ketika kau sudah bukan lagi milikku. Aku merindukanmu, bahkan ketika aku tahu rindu ini tak akan pernah sampai. Hanya sampai di ujung tatapan kita yang tadi, aku sudah tahu… kita selesai."
Hujan turun lagi malam itu. Dan Hana tahu, hujan akan selalu mengingatkan dirinya pada Arga pada rindu yang mustahil untuk dimiliki.
Tambahkan Komentar