Oleh: Zahra Agid Tsabitah
Angin sore bertiup lembut di desa kecil tempat Hafidz tinggal. Suasana masjid semakin ramai, menandakan waktu Maghrib hampir tiba. Hari itu adalah awal Muharram, bulan pertama dalam kalender Hijriah. Di bulan yang dimuliakan Allah ini, Hafidz merasakan getaran yang berbeda dalam hatinya.
Usai salat berjamaah, Ustaz Ridwan naik ke mimbar kecil dan memulai ceramahnya.
“Anak-anak sekalian,” katanya, “Bulan Muharram adalah salah satu dari empat bulan haram yang dimuliakan Allah. Di bulan ini, segala amal kebaikan dilipatgandakan, dan dosa pun lebih berat timbangannya.”
Hafidz menyimak dengan serius. Ustaz Ridwan lalu menyampaikan tentang keutamaan puasa Asyura, yaitu pada tanggal 10 Muharram, yang bisa menghapus dosa setahun yang lalu.
Di rumah, Hafidz termenung. Ia bukan anak yang buruk, tapi belakangan ia sering lalai: menunda salat, malas mengaji, dan lebih sibuk bermain game. Ceramah tadi seolah mengetuk hatinya.
Keesokan paginya, Hafidz bangun lebih awal dari biasanya. Ia salat Subuh tepat waktu, lalu membuka Al-Qur’an dan mulai mengaji. Sang ibu, yang melihat perubahan itu, menatapnya dengan mata berkaca-kaca.
“Ada angin apa, Nak?” tanya ibunya lembut.
“Aku ingin hijrah, Bu. Bukan pindah tempat, tapi hijrah hati. Aku ingin lebih dekat dengan Allah. Ustaz bilang, Muharram adalah waktu yang tepat untuk memulai.”
Hari-hari berikutnya, Hafidz semakin giat beribadah. Ia mengajak teman-temannya berpuasa pada tanggal 9 dan 10 Muharram, menjelaskan keutamaannya dengan semangat. Mereka pun ikut, terinspirasi oleh perubahan Hafidz.
Bulan Muharram itu menjadi titik balik bagi Hafidz dan teman-temannya. Di bulan mulia itu, mereka belajar bahwa hijrah bukan hanya kisah masa lalu Nabi, tapi juga perjalanan batin setiap insan menuju kebaikan.
Tambahkan Komentar