Oleh: Ghaida Mutmainnah
Langit sore mulai merona jingga ketika Aksa meletakkan tablet-nya dan menarik napas panjang. Di balik layar 10 inci itu, ia baru saja menyelesaikan petualangan dalam gim favoritnya, Cyber Dreamers. Di dunia virtual itu, ia adalah pahlawan masa depan yang menyelamatkan bumi dari kehancuran. Tapi di dunia nyata? Ia hanya anak kelas enam yang jarang bicara, lebih suka duduk di pojok kelas, dan... nyaris tak punya teman.
“Aksa, ayo mandi sore!” suara Mama terdengar dari dapur.
“Iya, Ma...” jawab Aksa malas.
Sejak pandemi dua tahun lalu, Aksa semakin tenggelam dalam dunia digital. Sekolah online, game online, teman online. Dunia nyata terasa asing, terlalu penuh tekanan dan sering mengecewakan. Di game, Aksa bisa jadi siapa saja. Di dunia nyata, ia hanya anak biasa yang tak terlalu menonjol.
Namun, semuanya mulai berubah sejak hari itu.
Pagi itu, sekolah mengumumkan program baru: Virtual Connect. Sebuah kegiatan belajar dan bermain lintas sekolah se-Indonesia melalui aplikasi dunia virtual 3D. Siswa bisa membuat avatar sendiri, mengikuti kelas, berdiskusi, hingga bermain bersama, seperti dunia game tapi khusus untuk belajar dan bersosialisasi.
Aksa tertarik.
Saat pertama kali login ke Virtual Connect, ia membuat avatar bernama Sky_07. Rambut biru, jaket hoodie, dan sepatu neon. Tidak seperti Aksa di dunia nyata, Sky_07 tampak percaya diri dan penuh gaya.
Di tengah aula virtual, ia bertemu banyak siswa dari berbagai daerah. Tapi yang menarik perhatiannya adalah seorang avatar bernama Zya_Rain. Rambut ungu, ekspresif, dan suka melempar candaan. Zya berbeda. Ia tidak hanya jago dalam kuis-kuis virtual, tapi juga suka mengajak berdiskusi dan menyapa duluan.
“Sky_07, kamu sering main sendiri ya?” tanya Zya suatu sore.
“Iya, udah biasa,” jawab Aksa datar, sambil mengontrol avatarnya duduk di bangku taman virtual.
“Kayaknya kamu anak pintar, tapi suka ngumpet dari dunia,” balas Zya.
Aksa diam. Tapi kata-kata itu menempel di pikirannya.
Hari-hari berlalu. Aksa dan Zya makin sering bermain bersama di Virtual Connect. Mereka membuat proyek bersama, menjelajahi ruang-ruang baru, bahkan menciptakan dunia kecil mereka sendiri: pulau terapung dengan langit senja abadi.
Zya tidak pernah bertanya tentang dunia nyata. Ia hanya ada menemani, tertawa, mendengar, dan mendukung. Untuk pertama kalinya, Aksa merasa punya sahabat.
Namun dunia maya tak selamanya aman.
Suatu hari, Zya menghilang.
Tak ada jejak login, tak ada pesan, tak ada kabar. Avatar-nya tak terlihat di dunia virtual.
Aksa gelisah. Ia mencari ke mana-mana, bertanya di forum, menghubungi moderator. Tapi nihil.
Hari-hari terasa hampa. Ia tetap masuk ke Virtual Connect, tapi tak ada lagi suara tawa Zya, tak ada obrolan tengah malam, tak ada petualangan dadakan.
“Kenapa kamu pergi?” bisik Aksa pada avatar kosong Zya yang kini hanya berdiri diam di galeri kenangan.
Tiga minggu kemudian, sebuah notifikasi masuk ke layar Aksa:
“Zya_Rain mengundangmu ke ruang pribadi: Sky Island Rebooted.”
Klik untuk masuk.”
Jantung Aksa berdebar. Ia segera masuk.
Pulau terapung itu masih sama langit senja, suara ombak, dan bunga-bunga bercahaya. Di tengah pulau, berdiri avatar Zya.
“Hai, Sky...”
Aksa hampir menangis. “Zya! Ke mana aja? Aku cari kamu terus!”
Zya tersenyum. “Maaf... aku sakit. Sempat harus dirawat dan nggak boleh buka apa pun. Tapi aku janji, aku kembali. Dunia ini terlalu indah untuk ditinggalkan begitu saja.”
Aksa terdiam. Sesuatu terasa hangat di dadanya.
“Zya... kamu nyata, kan?”
Zya tertawa. “Kamu juga. Meski kita tak pernah bertemu, aku tahu kamu nyata. Perasaan itu... tidak bisa dipalsukan.”
Malam itu, mereka duduk lama di tepi pulau digital. Tidak bicara banyak. Hanya menikmati keberadaan satu sama lain.
Beberapa bulan kemudian, Virtual Connect mengadakan pertemuan nasional di Jakarta. Semua siswa diundang untuk bertemu secara langsung mengenal teman-teman yang selama ini hanya hadir dalam bentuk avatar.
Aksa sempat ragu.
Bagaimana jika dunia nyata tak seindah dunia virtual?
Bagaimana jika Zya ternyata tidak seperti yang ia bayangkan?
Tapi Mama berkata, “Kadang kita harus berani keluar dari layar, Nak. Dunia nyata mungkin tidak sempurna, tapi di situlah kita tumbuh.”
Dengan hati berdebar, Aksa berangkat ke Jakarta.
Ratusan siswa hadir. Aula penuh warna, senyum, dan keramaian.
Di sudut aula, Aksa melihat seorang gadis berambut pendek dengan pin ungu bertuliskan “Zya”.
Zya.
Bukan avatar. Bukan karakter game. Tapi Zya yang nyata.
Mereka saling tatap.
“Sky_07?” tanya Zya dengan senyum khasnya.
Aksa mengangguk. “Zya_Rain?”
Dan mereka pun tertawa. Dunia nyata tak terasa sesempurna dunia virtual. Tapi senyuman itu... sungguh nyata.
Sejak saat itu, Aksa belajar membuka diri. Ia masih bermain di Virtual Connect, tapi kini juga aktif di dunia nyata. Ia ikut klub robotika, mulai berani menyapa duluan, bahkan membantu teman yang kesulitan belajar.
Ia tidak lagi merasa sendiri. Karena ia tahu di balik layar, di balik sinyal dan piksel ada perasaan-perasaan tulus yang tak bisa digantikan. Sahabat sejati tak selalu harus bersentuhan tangan. Kadang, cukup saling mendengar, saling hadir, dan saling percaya.
Tambahkan Komentar