Oleh : Fitria Agustin Indah Yulianti
Rian duduk di bangku taman, menatap riuhnya orang-orang di sekelilingnya. Di antara tawa dan canda, pandangannya terfokus pada sosok seorang gadis yang sedang tertawa bersama teman-temannya. Nama gadis itu adalah Mira, dan dalam beberapa bulan terakhir, dia menjadi obsesi Rian. Setiap kali Rian melihat senyum manisnya, hatinya bergetar. Namun, seperti fatamorgana, Mira selalu tampak menjauh, tak pernah bisa dijangkau.
Mereka tidak pernah berbicara lebih dari sepatah dua kata. Rian selalu merasa terjebak dalam dunia khayal, merasakan cinta yang semu. “Seandainya aku bisa mendekatinya,” pikirnya, menginginkan momen di mana dia bisa mengungkapkan perasaannya. Namun, setiap kali dia mencoba, rasa malu dan ketakutan selalu menghalanginya.
Suatu sore, Rian memutuskan untuk mengambil langkah berani. Dia melihat Mira duduk sendirian di bawah pohon besar, membaca buku. Dengan jantung berdebar, dia melangkah mendekat. “Hai, Mira,” sapanya, suaranya sedikit bergetar.
Mira menatapnya, senyumnya merekah. “Hai, Rian! Apa kabar?”
Percakapan itu mulai mengalir, dan Rian merasa seolah dunia hanya milik mereka berdua. Namun, saat dia hendak mengungkapkan perasaannya, suara dari kerumunan mengalihkan perhatiannya. Mira tampak terpesona oleh teman-temannya yang datang menghampiri. Senyumnya tak lagi ditujukan untuk Rian, dan dia merasa seolah bayangan itu kembali menjauh.
Hari-hari berlalu, dan rasa sakit itu semakin dalam. Rian merasa seperti berlari di atas pasir panas, mengejar sesuatu yang tidak akan pernah bisa dimiliki. Setiap kali dia melihat Mira, hatinya teriris. Dia hanya bisa mengagumi dari jauh, seperti fatamorgana yang menggodanya untuk mendekat, tetapi selalu menghilang saat dia hampir mencapai.
Suatu sore, Rian berjalan sendirian di taman, merasakan kelelahan yang mendalam. Dia menemukan dirinya duduk di tepi kolam kecil, menatap air yang tenang. “Mengapa aku terus mengejar sesuatu yang tidak nyata?” bisiknya pada diri sendiri.
Di saat itulah, dia melihat bayangannya di permukaan air, dan sosok Mira tiba-tiba muncul dalam pikirannya. “Kau harus mencintai dirimu sendiri sebelum mencintai orang lain,” suara lembut itu bergema di telinganya, membuatnya tersentak. Rian menyadari bahwa pencariannya tidak hanya tentang Mira, tetapi tentang menerima dirinya sendiri.
Dengan tekad baru, Rian bangkit. Dia tidak akan lagi terjebak dalam bayangan cinta yang semu. Dia akan belajar untuk mencintai dirinya, menemukan kebahagiaan di dalam diri sebelum mengejar cinta di luar. Saat dia melangkah pergi dari kolam itu, dia merasa lebih ringan, seolah beban di hatinya terangkat.
Rian menyadari bahwa cinta sejati tidak hanya tentang menemukan seseorang, tetapi juga tentang memahami diri sendiri. Dalam perjalanan pulang, dia tersenyum, merasakan angin sejuk yang membelai wajahnya. Dia tahu, keindahan hidup tidak hanya ada dalam cinta yang dicari, tetapi dalam setiap langkah yang diambil untuk mencintai diri sendiri.
Tambahkan Komentar