Oleh: Ghaida Mutmainnah

Hujan turun pelan-pelan, menyisakan aroma tanah basah yang menusuk hidung. Di dalam kamar berukuran sempit itu, Aira duduk bersandar di kursi rotan, menatap kosong ke arah jendela yang berembun. Tangan kanannya menggenggam cangkir kopi yang sudah mendingin.


Di luar, suara tetesan hujan seperti berdialog dengan sepi di dalam hatinya. Sudah berapa lama ia menyimpan rasa itu? Rasa yang awalnya ia kira hanya angan-angan, sekadar kagum yang tak akan pernah berani diungkapkan.


Dia: Revan.

Sahabat masa SMA yang kini entah mengapa semakin sering hadir dalam pikirannya, bahkan saat ia mencoba sibuk sekalipun.


“Aira, kamu masih suka menulis?” pesan suara dari Revan tiga minggu lalu kembali terngiang. Ia menemukan Aira di Instagram setelah lima tahun tanpa kabar.


Aira tersenyum getir. Revan selalu seperti itu muncul tiba-tiba, memberi tanda kecil, lalu hilang lagi seperti kabut pagi yang menguap saat matahari meninggi. Namun, kali ini berbeda. Pesan singkat itu menjadi percikan di lautan sunyi hatinya.


Awalnya ia hanya membalas sekadarnya, menjaga jarak seperti yang selalu ia lakukan. Tapi lama-lama mereka sering bertukar cerita, membahas masa lalu, pekerjaan, bahkan hujan yang sama-sama mereka sukai.


Dan tanpa sadar, Aira mulai berharap.


Malam itu, ponsel Aira bergetar. Nama Revan muncul di layar.


“Lagi apa?”


 “Menulis… sambil dengar hujan.”


“Kamu masih suka hujan, ya? Sama. Besok ketemu, yuk? Ada hal yang mau aku bicarain.”


Jantung Aira berdetak tak karuan. Ini pertama kalinya Revan mengajak bertemu setelah lama hanya menjadi teks dan suara. Ia menatap layar, jemarinya kaku di atas keyboard ponsel.


 “Besok? Di mana?”

 “Kafe dekat SMA kita dulu. Jam 4 sore.”


Aira menatap jam di dinding. Pukul 22.07. Malam terasa panjang.


Keesokan harinya, Aira berdiri di depan cermin, mematut-matut dirinya. Gaun sederhana warna biru pastel yang dipakainya terasa pas. Ia menarik napas dalam.


“Tenang, Aira… ini hanya pertemuan biasa,” bisiknya pada diri sendiri. Namun, hatinya menolak percaya.


Saat ia tiba di kafe, Revan sudah duduk di sudut ruangan, mengenakan kemeja putih dengan lengan digulung. Senyumnya yang dulu hanya ada dalam ingatan kini nyata di hadapan mata.


“Hey,” sapa Revan, berdiri sambil sedikit gugup.


“Hey,” Aira membalas dengan suara pelan.


Mereka duduk. Hening sejenak, hanya ada suara musik instrumental dari pengeras suara.


“Sudah lama, ya?” Revan membuka percakapan.


Aira mengangguk. “Lima tahun bukan waktu yang sebentar.”


“Dan lima tahun itu aku selalu penasaran… apa kabar kamu. Tapi aku terlalu pengecut untuk mencari tahu,” kata Revan, menatap matanya lekat-lekat.


Aira tertegun. Kata-kata itu seperti menyeretnya kembali ke masa lalu—ke saat-saat ia hanya berani memandang Revan dari jauh, saat hati kecilnya selalu berbisik, "kalau saja aku cukup berani…."


Revan mengambil napas panjang. “Aira, aku harus jujur. Dulu aku bodoh. Ada seseorang yang diam-diam peduli padaku, tapi aku terlalu sibuk mengejar yang lain. Aku tahu sekarang… ternyata itu kamu, ya?”


Dada Aira sesak. Ia ingin tertawa, menangis, sekaligus marah. Namun bibirnya hanya mampu berkata, “Aku… iya. Tapi itu sudah lama sekali.”


Revan menggenggam tangannya di atas meja. Hangat.


“Kalau aku minta kesempatan… untuk menebus waktu yang hilang, kamu mau?” tanya Revan dengan mata penuh kesungguhan.


Aira terdiam. Angan-angan yang dulu ia anggap mustahil kini terpampang nyata. Ia pernah berharap, pernah berdoa diam-diam, pernah menulis namanya di setiap halaman buku harian. Dan sekarang Revan duduk di depannya, memintanya untuk memberikan kesempatan.


Air mata Aira menitik. Ia tersenyum dalam haru. “Aku sudah terlalu lama belajar melepaskan… tapi hati ini ternyata belum benar-benar berhenti menunggu.”


Revan mengeratkan genggamannya. “Maka biarkan aku jadi jawaban dari penantian itu.”


Hujan masih turun saat mereka keluar dari kafe. Payung kecil milik Revan menutupi mereka berdua.


Aira menatap jalanan basah yang memantulkan cahaya lampu. Ia sadar, rindu yang mulanya hanya angan kini tumbuh menjadi ingin, dan ingin itu kini di hadapannya hidup, nyata, hangat.


Malam itu, Aira menulis di buku hariannya:

“Aku tak lagi menulis tentangmu sebagai sebuah khayal. Kini, kau ada di sini. Rindu yang dulu kuanggap mustahil kini kembali sebagai hadiah semesta. Terima kasih sudah pulang, Revan.”

Bagikan :

Tambahkan Komentar