Oleh : Fitria Agustin Indah Yulianti
Suasana rumah tua di Jalan Melati 15 terasa tegang pagi itu. Keluarga besar Pak Darmo berkumpul untuk pertama kalinya dalam lima tahun terakhir. Bukan untuk reuni keluarga yang hangat, melainkan untuk pembagian warisan setelah sang kepala keluarga meninggal seminggu lalu.
"Bapak sudah tiada, sekarang kita harus realistis soal pembagian harta," kata Bambang, anak sulung yang datang dari Jakarta dengan mobil mewah dan setelan jas mahal. "Rumah ini dan tanah 2000 meter persegi di belakangnya pasti bernilai miliaran."
Sari, anak kedua yang berprofesi sebagai dokter di Surabaya, mengangguk setuju. "Iya, Bang. Kita jual saja rumah dan tanahnya, lalu bagi rata. Toh, tidak ada yang tinggal di sini lagi."
"Setuju!" sahut Andi, anak ketiga yang bekerja sebagai pengusaha properti. "Lokasi strategis begini, pasti laku mahal. Kita bisa dapat sekitar 3 miliar, dibagi empat dapat 750 juta masing-masing."
Hanya Rina, anak bungsu yang bekerja sebagai guru di kampung sebelah, yang diam saja sambil memeluk foto ayahnya. Ia masih ingat bagaimana Pak Darmo selalu berpesan, "Rumah ini bukan hanya bangunan, tapi tempat berkumpulnya keluarga."
"Ri, kamu setuju kan?" tanya Bambang. "Daripada rumah kosong tidak terurus."
Rina menggeleng pelan. "Bapak pasti tidak mau rumah ini dijual. Ini tempat kita semua tumbuh besar."
"Ah, Rina masih sentimentil," kata Sari sambil berkacak pinggang. "Zaman sekarang harus praktis. Uang lebih berguna daripada rumah tua yang pemeliharaannya mahal."
Perdebatan semakin panas. Bambang dan Sari sudah menghitung-hitung keuntungan, Andi bahkan sudah menghubungi makelar. Hanya Rina yang tetap mempertahankan pendapatnya bahwa rumah keluarga tidak boleh dijual.
"Kalau begitu, kamu tebus bagian kami," tantang Bambang. "Bayar 2,25 miliar untuk bagian kami bertiga."
Rina terdiam. Dengan gaji guru, tidak mungkin ia punya uang sebanyak itu.
Saat suasana semakin memanas, Pak Hasan, sahabat lama Pak Darmo yang juga saksi pembuatan surat wasiat, berdehem. "Maaf mengganggu. Sebenarnya ada surat wasiat yang harus dibacakan terlebih dahulu."
"Surat wasiat?" Bambang mengerutkan dahi. "Kenapa baru bilang sekarang?"
Pak Hasan membuka amplop tua dengan hati-hati. "Pak Darmo meminta surat ini dibacakan hanya jika kalian bertengkar soal harta."
Semua terdiam. Pak Hasan mulai membacakan:
"Untuk anak-anakku tersayang,
Jika kalian mendengar surat ini, berarti kalian sudah mulai bertengkar soal warisan Bapak. Bapak sedih, tapi tidak terkejut. Zaman sekarang memang serba materi.
Bapak sudah menduga ini akan terjadi. Makanya, Bapak menyembunyikan warisan yang sesungguhnya. Rumah dan tanah boleh kalian atur sesuka hati. Tapi warisan Bapak yang paling berharga bukan itu.
Coba lihat di bawah pohon mangga di halaman belakang. Di sana ada kotak besi yang Bapak kubur 10 tahun lalu. Itulah warisan sejati untuk kalian."
Keempat anak Pak Darmo saling bertatapan. Tanpa bicara, mereka bergegas ke halaman belakang. Di bawah pohon mangga tua yang rindang, mereka mulai menggali dengan cangkul yang ada di gudang.
Setelah menggali sedalam satu meter, mereka menemukan kotak besi bersize sedang yang sudah berkarat. Dengan susah payah, mereka membuka kotak itu.
Di dalamnya bukan emas atau uang, melainkan tumpukan foto-foto keluarga dari masa ke masa. Foto-foto ketika mereka masih kecil bermain di halaman rumah, foto lebaran, foto ulang tahun, foto wisuda, foto pernikahan. Ada juga rekaman video lama dalam kaset, dan sebuah surat panjang tulisan tangan Pak Darmo.
Bambang mengambil surat itu dengan tangan bergetar:
"Hartaku yang sesungguhnya adalah keluarga yang harmonis. Foto-foto dan video ini adalah bukti kebahagiaan kita bersama. Kalian pernah sangat bahagia di rumah sederhana ini.
Ingatkah kalian dulu sering bermain kejar-kejaran di halaman? Bambang yang selalu melindungi adik-adiknya, Sari yang rajin mengajari Andi dan Rina belajar, Andi yang selalu bikin lelucon sampai semua tertawa, dan Rina yang selalu manja tapi paling perhatian sama Bapak dan Mama.
Kalian dulu tidak peduli rumah ini tidak mewah. Yang penting, kita bersama. Sekarang kalian sudah sukses semua, tapi malah lupa bahwa kebersamaan adalah harta yang tidak bisa dibeli.
Jika kalian masih bisa berkumpul dengan damai seperti dulu, maka kalian sudah mewarisi harta terbesar dari Bapak. Rumah ini akan bermakna jika masih menjadi tempat berkumpul keluarga. Jika tidak, silakan jual saja.
Bapak tidak akan marah. Tapi Bapak berharap, kalian ingat bahwa di sinilah kalian belajar saling menyayangi. Di sinilah awal dari semua kesuksesan kalian.
Maafkan Bapak jika selama ini tidak bisa memberikan harta berlimpah. Tapi Bapak bangga karena berhasil membesarkan empat anak yang baik hati, meskipun sekarang kalian agak lupa.
Salam rindu, Bapak"
Keempat anak itu terdiam. Sari mulai menangis sambil memegang foto mereka berempat di ayunan halaman. Andi menyeka mata sambil melihat video lama mereka bermain bola di halaman yang sama tempat mereka sekarang berdiri.
"Gue... gue jadi ingat," kata Bambang dengan suara serak. "Dulu kita main petak umpet sampai Mama marah karena baju kotor semua."
"Iya," sahut Sari sambil terisak. "Waktu itu kita bahagia banget padahal cuma main sama kardus bekas."
Rina memeluk kakak-kakaknya. "Bapak pasti sedih lihat kita bertengkar gara-gara uang."
Mereka duduk melingkar di bawah pohon mangga, melihat satu per satu foto-foto kenangan. Dalam keheningan itu, mereka menyadari betapa egoisnya mereka. Yang mereka pikirkan hanya uang, bukan kenangan indah yang tidak ternilai harganya.
"Maafin aku ya," kata Bambang sambil merangkul adik-adiknya. "Aku terlalu fokus sama duit, sampai lupa yang penting."
"Kita semua salah, Bang," jawab Sari. "Harusnya kita mikirin gimana caranya rumah ini tetap jadi tempat kumpul keluarga."
Andi mengangguk. "Gimana kalau kita jadiin rumah ini sebagai basecamp keluarga? Setiap lebaran, ulang tahun, atau acara penting, kita kumpul di sini."
"Ide bagus!" kata Rina bersemangat. "Aku bisa yang ngurus rumahnya sehari-hari. Toh aku tinggal dekat."
Sore itu, alih-alih bertengkar soal pembagian warisan, mereka memasak bersama di dapur rumah tua. Mereka bercerita tentang karier masing-masing, anak-anak mereka, dan rencana masa depan. Seperti dulu, saat mereka masih kecil dan tidak peduli soal harta.
"Bapak pasti seneng lihat kita masak bareng lagi," kata Sari sambil mengiris bawang.
"Iya, dulu Bapak selalu bilang, masakan paling enak itu yang dimasak rame-rame," kenang Andi.
Mereka makan malam bersama di meja makan yang sama tempat mereka dulu belajar dan mengerjakan PR. Rasanya seperti kembali ke masa kecil, penuh kehangatan dan tawa.
"Besok aku mau bawa anak-anak ke sini," kata Bambang. "Biar mereka main di halaman yang sama tempat kita dulu main."
"Rumah ini memang harus diisi anak cucu," setuju Sari. "Biar tradisi keluarga tetap lanjut."
Sebelum pulang, mereka bersepakat: rumah akan tetap milik bersama, digunakan sebagai tempat berkumpul keluarga. Biaya perawatan ditanggung bersama sesuai kemampuan masing-masing. Yang terpenting, mereka akan rutin berkumpul setiap bulan.
"Ternyata warisan terbesar Bapak bukan rumah atau tanah," kata Rina sambil mengunci pintu rumah. "Tapi pelajaran bahwa keluarga adalah harta yang tidak bisa dibeli."
Bambang memeluk adik-adiknya. "Dan kita hampir kehilangan harta itu gara-gara keserakahan."
Mereka berpisah dengan hati lega dan berjanji akan bertemu lagi bulan depan untuk merayakan ulang tahun mendiang ibu mereka. Rumah tua itu kembali sunyi, tapi kini dengan kehangatan yang tersimpan, menunggu keluarga berkumpul kembali.
Warisan terakhir Pak Darmo bukan berupa materi, melainkan pengingat bahwa cinta keluarga adalah harta yang paling berharga, harta yang akan hilang jika tidak dijaga dengan baik.
Tambahkan Komentar