Oleh: Audia Widyaningrum
Senja selalu menjadi waktu favorit Reno. Dari jendela kamarnya yang kecil, ia bisa melihat langit perlahan berubah warna, dari biru cerah menjadi jingga keunguan, lalu dihiasi bintang-bintang yang satu per satu muncul. Reno, si bungsu dari empat bersaudara, merasa seperti bintang kecil di tengah galaksi keluarganya. Kakak-kakaknya adalah bintang-bintang yang jauh lebih terang.
Ada Kak Bayu, si sulung yang gagah dan berwibawa, selalu menjadi kebanggaan orang tua dengan prestasinya di kampus. Lalu Kak Citra, si tengah yang cantik dan lembut, punya bakat melukis yang luar biasa. Dan Kak Doni, si nomor tiga yang ceria dan jago olahraga, selalu jadi pusat perhatian dengan tingkah lucunya. Sementara Reno? Ia sering merasa tak punya keistimewaan.
"Reno, tolong ambilkan handuk!" suara Kak Bayu sering terdengar.
"Reno, bantu Kakak mencari pensil warna!" pinta Kak Citra.
"Reno, passing bolanya ke sini!" teriak Kak Doni.
Ia memang selalu ada, selalu siap membantu, tapi perannya terasa seperti bayangan. Tak ada yang benar-benar fokus padanya. Orang tua sibuk dengan urusan Kak Bayu yang akan lulus, atau Kak Citra yang ikut pameran, atau Kak Doni yang akan bertanding. Reno sering menghabiskan waktu sendiri, membaca buku-buku lama atau menggambar di buku catatannya.
Suatu sore, saat semua kakaknya sibuk dengan urusan masing-masing, Reno mendengar percakapan kedua orang tuanya di ruang tamu.
"Kasihan Reno ya, Bu. Dia sering sendirian," kata Ayah.
"Iya, Yah. Kakak-kakaknya memang punya kelebihan masing-masing. Reno belum terlihat menonjol," sahut Ibu.
Hati Reno mencelos. Ia selalu tahu itu, tapi mendengarnya langsung membuat dadanya sesak. Ia berlari ke kamarnya, matanya berkaca-kaca. Benarkah ia tak punya kelebihan? Apa sebenarnya bakat Reno?
Malam itu, Reno tak bisa tidur. Ia bangkit, mengambil buku gambarnya, dan mulai mencoret-coret. Ia menggambar sebuah pemandangan senja, sama seperti yang ia lihat dari jendelanya. Dengan setiap goresan pensil, ia menumpahkan perasaannya. Kesepian, kerinduan akan perhatian, dan sedikit harapan.
Pagi harinya, Ibu masuk ke kamar Reno untuk membangunkannya. Matanya menangkap buku gambar yang terbuka di meja. Ia mengambilnya, dan napasnya tertahan. Gambar senja itu begitu hidup, dengan gradasi warna yang halus dan detail yang menakjubkan. Ada pohon-pohon kecil, sebuah rumah mungil, dan bintang-bintang yang mulai berkelip.
"Reno... ini kamu yang gambar?" tanya Ibu pelan, suaranya sedikit bergetar.
Reno mengangguk malu-malu.
Sejak hari itu, ada yang berbeda. Ibu sering meminta Reno menggambar untuknya, entah itu pemandangan, bunga, atau potret keluarga. Perlahan, perhatian kecil itu mulai tumbuh. Kak Citra, yang dulunya tak begitu memperhatikan, kini sering datang dan mengagumi gambar-gambar Reno, bahkan memberinya tips dan trik melukis. Kak Bayu sering memuji karyanya, dan Kak Doni sesekali meminta Reno menggambar karakter kartun favoritnya.
Reno mulai ikut lomba menggambar di sekolah, awalnya hanya untuk iseng. Tapi ia memenangkannya! Gambarnya dipajang di mading sekolah, dan teman-temannya mulai mengenal Reno bukan hanya sebagai "adiknya Kak Bayu", tapi sebagai "Reno si pelukis".
Perjalanan Reno sebagai anak bungsu mengajarkannya sesuatu yang berharga. Ia mungkin tak lahir dengan bakat yang langsung terlihat mencolok seperti kakak-kakaknya. Ia mungkin harus menemukan jalannya sendiri, di tengah bayang-bayang mereka. Namun, justru dari kesendirian dan usahanya menemukan jati diri, ia berhasil memancarkan cahayanya sendiri. Ia adalah bintang kecil yang tak perlu bersaing, karena ia punya keindahan cahayanya sendiri.
Dan seperti senja yang selalu berbeda setiap harinya, Reno tahu bahwa ia akan terus tumbuh, terus melukis, dan terus menunjukkan pada dunia bahwa setiap bintang, sekecil apa pun itu, memiliki tempatnya sendiri di galaksi yang luas.
Tambahkan Komentar