Oleh: Audia Widyaningrum
Di sebuah desa kecil yang selalu diselimuti kabut pagi dan aroma tanah basah, ada sebuah warung kopi sederhana bernama Warung Kopi Mbok Tinah. Letaknya di pojok pertigaan jalan, beratap seng tua, dan ditemani kursi-kursi kayu yang sudah miring sebelah. Tapi jangan salah—warung itu adalah pusat informasi, gosip, dan patah hati.
Pagi itu, langit mendung sejak subuh. Burung pun enggan berkicau. Mbok Tinah yang sudah 30 tahun jualan kopi, berdiri sambil menatap awan.
"Hmm, bau-bau hujan," gumamnya, sambil membalik pisang goreng.
Tak lama kemudian, datanglah pelanggan setia: Pak Darto, duda tiga kali yang selalu datang dengan sandal jepit dan cerita absurd. Ia duduk sambil menaruh helm setengah pecahnya di meja.
“Mbok, kopi satu. Manis kayak kenangan pertama,” katanya sambil senyum-senyum sendiri.
Mbok Tinah hanya geleng-geleng. “Kenangan pertama yang mana, to, Pak? Yang ditinggal atau yang ninggalin?”
Belum sempat Pak Darto menjawab, DRAAAK! — hujan turun. Deras sekali. Hujan deras itu jatuh di atap seng seperti irama gendang dangdut. Warung seketika penuh oleh pengendara motor yang berteduh, lengkap dengan bau jas hujan basah dan suara sandal lecak.
Di pojok warung, duduk seorang pemuda asing. Namanya Galang, anak kota yang sedang liburan ke desa. Ia sibuk merekam suara hujan dengan ponselnya.
“Mas, rekam apa to?” tanya Mbok Tinah penasaran.
“Suara hujan, Mbok. Buat relaxing sound, biar bisa tidur.”
Pak Darto menimpali, “Halah, zaman saya dulu, cukup denger cicak jatuh aja langsung merem!”
Semua tertawa. Galang ikut tertawa, meskipun dia tak begitu paham kenapa cicak bisa jadi patokan tidur.
Tiba-tiba, dari balik hujan, muncul sosok perempuan muda mengenakan jas hujan warna kuning cerah. Ia masuk warung dengan senyum malu-malu.
“Eh, itu kan Lala!” teriak Pak Darto, semangat seperti anak muda.
Lala, gadis desa yang baru pulang kuliah dari kota, tersipu. Ia memesan teh manis dan duduk di dekat Galang. Hujan masih deras, dan suasana warung berubah jadi romantis.
Seketika, Mbok Tinah bergumam ke Pak Darto, “Lha, cocok to mereka? Yang satu rekam hujan, yang satu datang pas hujan.”
Pak Darto mengangguk, “Hujan memang selalu bawa jodoh, Mbok. Kalau nggak jodoh, ya paling banter bawa masuk angin.”
Semua kembali tertawa.
Hujan pun reda perlahan. Satu per satu orang pergi. Galang dan Lala masih duduk, mengobrol pelan tentang kota, kampung, dan suara hujan yang ternyata sama indahnya di mana pun.
Dan Mbok Tinah? Ia hanya tersenyum, menyeduh kopi baru, sambil bergumam, “Warung tua ini, saksi hujan… dan mungkin juga saksi cinta.”
Tambahkan Komentar