Oleh: Anisa Rejeki

Namaku Dika, kelas 5 SD. Aku anak yang cukup rajin… kalau tugasnya tentang menggambar atau bermain peran. Tapi kalau sudah soal Matematika, otakku langsung panas kayak wajan goreng tempe.


Hari Senin kemarin, Bu Rina, guru Matematika kami, memberikan PR tentang pecahan. Katanya, "Ini gampang, ya. Cuma 5 soal."


Gampang buat beliau, tapi buat aku? Itu sama aja kayak disuruh ngitung bintang di langit.


Di rumah, aku duduk di depan buku tugas selama satu jam, tapi halaman itu tetap kosong seperti perutku pas belum sarapan. Jadi aku punya ide cemerlang: besok pagi aku akan mengintip tugas teman. Tapi harus rahasia!


Targetku sudah jelas: Tama.

Dia anak paling pintar di kelas, selalu dapat nilai 100, dan... dia baik. Tapi kalau soal tugas, dia suka bilang, "Kerjakan sendiri, biar tambah pintar."


Aku mulai menyusun Rencana Misi Rahasia Mengintip Tugas Tama.


Hari H: Selasa Pagi


Aku datang ke sekolah lebih awal. Aku bawa kaca pembesar mainan dan buku catatan kecil. Aku bahkan pakai topi bulu-bulu milik adik bayiku buat penyamaran. Pokoknya serius!


Di kelas, Tama duduk di bangku depan dekat jendela. Buku tugasnya selalu dia keluarkan sambil menunggu bel masuk. Nah, di situlah aku akan beraksi.


Aku duduk di belakangnya, pura-pura baca buku. Tapi sebenarnya, aku sedang intip ke bawah mejanya.


Masalahnya, Tama menaruh buku tugasnya... di dalam tas.


Waduh! Gimana dong?


Aku bisik-bisik, "Tama, kamu udah ngerjain PR belum?"


Tama menoleh. "Udah dong. Kamu?"


Aku senyum canggung. "Iya… tinggal sedikit." (Padahal belum nulis satu angka pun!)


"Hebat," kata Tama sambil senyum. Ih, kenapa dia baik banget sih? Jadi nggak enak mau ngintip.


Tapi misi adalah misi. Aku harus bertindak.


Saat Tama berdiri mau buang sampah ke tempat sampah di pojok kelas, aku cepat-cepat nyelongok ke dalam tasnya. Nah, ketemu! Buku tugasnya di sana, terbuka di halaman PR.


Aku langsung catat cepat—pecahan satu per dua ditambah satu per tiga sama dengan (duh, ini gimana caranya?)


Pas aku lagi sibuk menyalin, tiba-tiba


“Dika, kamu ngapain lihat tas orang?”


Suara itu.... BU RINA!

Tiba-tiba beliau sudah berdiri di pintu, melihat aku yang lagi setengah jongkok dengan ekspresi kayak ketangkep basah nyuri kue lebaran.


Aku langsung berdiri tegap. “Saya.....saya.... lihat semut, Bu.”


“Semut?” tanya Bu Rina sambil menaikkan alis.


“Iya Bu, semutnya masuk ke tas Tama. Saya mau selamatkan,” jawabku cepat.


Bu Rina mendekat. “Jadi kamu penyelamat semut sekarang?”


Aku senyum malu-malu. “Iya, Bu... semacam pahlawan kecil...”


Teman-teman di kelas mulai cekikikan. Tama datang dan kebingungan, “Lho, ada apa?”

“Gak apa-apa, Tama. Semutnya sudah aman,” kataku, mencoba tetap keren.

Akhirnya, Bu Rina menyuruhku duduk. Tapi beliau tidak marah. Malah, beliau bilang,

“Kalau kamu belum bisa, tanya ke teman atau ke Bu Guru, jangan mengintip. Tugas itu buat belajar, bukan buat lomba mencontek.”

Aku manggut-manggut. Malu sih, tapi aku lega nggak dihukum. Dan lebih lega lagi… Tama gak marah!

Malah waktu istirahat, Tama datang dan ngajarin aku cara ngerjain pecahan. Ternyata gampang banget kalau dia yang jelasin.

Hari itu aku belajar dua hal penting:

1. Pecahan itu tidak seseram yang kupikir.

2. Mengintip itu bukan cara yang tepat, apalagi kalau ada guru di belakangmu.

Sejak saat itu, aku gak pernah bikin misi rahasia mengintip tugas lagi. Tapi, aku tetap pakai topi bulu-bulu itu kadang-kadang. Biar gaya.

Bagikan :

Tambahkan Komentar