Oleh: Audia Widyaningrum
Sejak kecil, bagi Risa, menyanyi bukanlah sekadar hobi, melainkan napas kedua. Di usianya yang baru menginjak tujuh tahun, ia sudah sering memanjat kursi tamu, menjadikan remote televisi sebagai mikrofon, dan berimajinasi di depan ribuan penonton yang hanya ada di kepalanya. Suaranya mungkin belum merdu sempurna, kadang melenceng, tapi semangatnya tak pernah padam.
Orang tuanya, meski kadang tersenyum geli melihat tingkah polah Risa, tak pernah melarang. Mereka justru membelikannya karaoke set mini saat ulang tahunnya yang kesepuluh. Sejak itu, kamar Risa berubah menjadi panggung. Teman-teman sekolah sering berkumpul, bukan untuk mengerjakan PR, melainkan untuk sesi sing-along dadakan yang dipimpin oleh Risa.
Memasuki masa SMA, suara Risa semakin matang. Ia mulai belajar teknik vokal secara otodidak dari YouTube, menirukan penyanyi idolanya, dan menemukan gaya bernyanyinya sendiri. Tak butuh waktu lama, bakatnya tercium oleh guru kesenian. Risa diminta bergabung dengan paduan suara sekolah dan tak jarang menjadi vokalis utama di acara-acara pentas seni. Perasaan gugup selalu menyerangnya sesaat sebelum naik panggung, namun begitu nada pertama meluncur dari bibirnya, semua kegelisahan itu lenyap ditelan alunan melodi. Di atas panggung, ia merasa menjadi dirinya yang paling otentik.
Namun, hidup tak selalu semerdu lagu favoritnya. Setelah lulus kuliah, Risa bekerja di sebuah perusahaan swasta. Jam kerja yang panjang, tuntutan pekerjaan yang tinggi, dan hiruk pikuk Jakarta perlahan mengikis waktu dan energinya untuk bernyanyi. Mikrofon di kamarnya mulai berdebu, senar gitarnya mengendur, dan buku-buku lagu kesayangannya tersimpan rapi di rak. Sesekali ia mencoba bersenandung saat mandi atau dalam perjalanan pulang, tapi rasanya berbeda. Ada sesuatu yang hilang, sesuatu yang terasa hambar.
Suatu malam, setelah seharian penuh dengan rapat dan tenggat waktu, Risa merasa sangat lelah. Ia duduk di sofa, menatap kosong layar televisi. Tiba-tiba, sebuah melodi yang familiar terlintas di benaknya. Melodi lagu lama yang sering ia nyanyikan saat remaja. Tanpa sadar, bibirnya mulai mengikuti. Perlahan, satu demi satu kata terucap, membentuk lirik yang sempurna. Suara yang sempat meredup itu kini kembali bergema, meski hanya di dalam kamarnya yang sunyi.
Rasanya seperti meminum air setelah berhari-hari kehausan. Lega, menyegarkan, dan mengembalikan semangat yang sempat hilang. Malam itu, Risa memutuskan untuk tidak membiarkan kesibukan merenggut passion-nya. Ia mulai menyisihkan waktu, entah itu hanya 15 menit sebelum tidur atau saat istirahat makan siang, untuk bernyanyi. Ia bahkan mulai mengikuti kelas vokal lagi di akhir pekan.
Menyanyi bukan lagi sekadar penampilan di atas panggung atau pujian dari orang lain. Bagi Risa, menyanyi adalah cara untuk melepaskan penat, mengungkapkan perasaan yang tak bisa diucapkan dengan kata-kata, dan yang paling penting, menjadi dirinya sendiri. Setiap nada yang ia lantunkan adalah pengingat bahwa di tengah segala kesibukan dan tuntutan hidup, ada satu hal yang akan selalu ada untuknya: nada-nada yang membebaskan jiwanya.
Tambahkan Komentar