Oleh : Khansa Aisyatul Nabilla

Raka bukan siapa-siapa di sekolah. Ia bukan ketua kelas, bukan juara lomba cerdas cermat, bahkan bukan anggota ekskul apa pun. Tapi semua orang mengenalnya sebagai “anak yang pernah jatuh dari panggung saat lomba senam massal." Satu kejadian yang cukup untuk menjatuhkan harga diri dan membangkitkan meme di seluruh grup kelas. Namun, siapa sangka di balik reputasi memalukannya, Raka menyimpan rasa suka yang cukup dalam terhadap Naya ketua OSIS yang selalu tampil sempurna, pintar, ramah, dan wangi seperti tisu basah rasa lemon. Setiap kali Raka melihat Naya berjalan melewati lorong sekolah, seakan waktu memperlambat langkahnya dan angin bertiup hanya untuknya. Masalahnya, Naya akan pindah sekolah bulan depan karena orang tuanya pindah tugas ke luar kota. Itu berarti Raka hanya punya waktu tiga minggu untuk menyatakan cinta, atau menyesal seumur hidup.


Setelah melalui diskusi panjang penuh strategi bersama dua sahabatnya Ucup dan Beni, yang sama-sama tidak ahli cinta tapi sok bijak bak konsultan kehidupan. Lahirlah ide gila yaitu menyatakan cinta saat upacara bendera. “Upacara itu momen nasionalis. Kalau kamu berani menyatakan cinta saat itu, dia pasti kagum,” kata Ucup sambil menggambar sketsa posisi tiang bendera dan area tembak pandangan ke Naya. “Lu harus jadi petugas pembaca Pancasila. Biar setelah sila kelima, langsung disisipin ‘Dan saya juga cinta kamu, Naya!’” tambah Beni, sambil ketawa-ketiwi membayangkan ekspresi guru-guru. Raka yang setengah waras, setengah nekat, mengangguk mantap. Ia pun menyuap Pak Jajang selaku guru olahraga yang juga pembina upacara dengan dua kotak nasi padang dan teh botol cap ulat pucuk kesukaannya demi mendapat posisi pembaca Pancasila hari Senin.


Hari Senin datang. Raka berdiri di lapangan dengan tangan gemetar. Seragamnya rapi, rambut disisir, dan keringat dingin menetes di pelipis. Saat giliran membaca tiba, ia melangkah ke podium dengan degupan jantung seperti bedug takbir. “Sila pertama… Ketuhanan Yang Maha… Cint—eh… Maha Esa!” Suara cekikikan terdengar dari berbagai penjuru. Tapi Raka lanjut. Sampai sila kelima, ia menguatkan diri dan menambahkan, “Dan saya juga cinta kamu, Naya.” Seketika lapangan sekolah meledak oleh tawa dan sorak-sorai. Pak Jajang nyaris menjatuhkan topi. Naya yang berdiri tak jauh dari tiang bendera tampak kaget sekaligus bingung. Dan Raka? Ia hanya ingin tanah terbuka dan menelannya saat itu juga. Setelah upacara, ia dipanggil ke ruang BK. Bu Yeni, guru BK yang terkenal lembut, hanya menghela napas sambil menahan senyum. “Kamu tahu, Raka. Sekolah ini bukan panggung sinetron.” Tapi entah mengapa, beliau tak terlalu marah. Mungkin karena melihat niat Raka yang begitu tulus.


Ketika Raka keluar dari ruang BK, ia terkejut melihat Naya sudah menunggunya di taman depan. “Kamu tahu nggak?” kata Naya sambil tersenyum kecil. “Itu... pengakuan cinta paling absurd yang pernah aku terima. Tapi juga paling jujur.” Raka hanya bisa tersenyum kaku, tak percaya Naya tidak marah atau menjauhinya. “Aku pindah minggu depan. Tapi kalau kamu nggak sibuk, aku pengin makan siang bareng kamu sebelum pergi,” lanjutnya pelan. Raka terdiam, lalu mengangguk seperti robot kehabisan baterai. Seminggu kemudian, sebelum Naya benar-benar pindah, ia meninggalkan sebuah surat kecil di dalam loker Raka. Isinya singkat tapi manis “Terima kasih sudah bikin Senin pagiku jadi luar biasa. Kalau nanti kamu jadi guru atau presiden, jangan lupa tetap absurd, ya. – Naya” Sejak hari itu, Raka bukan lagi “Senam Boy”. Ia dikenal sebagai “Pahlawan Cinta Pancasila” bukti bahwa kadang, cinta yang disampaikan dengan cara paling konyol pun bisa sampai ke hati.

Bagikan :

Tambahkan Komentar