Oleh: Ghaida Mutmainnah

Hujan turun deras di luar jendela, membenturkan dirinya ke kaca seperti ingin menyampaikan sesuatu. Di dalam kafe kecil itu, aroma kopi pekat bercampur dengan wangi kayu basah. Aku duduk di sudut, menatap layar ponsel yang kosong, menunggu pesan darimu yang entah akan datang atau tidak.


Kita pernah duduk di sini persis di meja ini tertawa begitu keras sampai barista harus menegur. Dulu, kau bilang, “Kalau nanti kita tua, kita akan tetap datang ke sini, ya? Pesan menu yang sama, duduk di sudut yang sama.”


Aku tersenyum pahit. Menu yang sama masih ada, sudut yang sama masih ada, hanya kau yang tidak ada.


Aku ingat pertemuan kita pertama kali di halte bus. Aku sedang menulis di buku catatan, kau tiba-tiba duduk di sebelahku dan dengan santai berkata, “Kamu tahu nggak, kenapa orang yang kita tunggu selalu terasa lebih lama datangnya daripada bus?”


Aku menoleh, heran dengan pertanyaan random itu. Kau tersenyum, dan aku tak bisa menahan tawa. Entah sejak kapan, kau mulai duduk di sebelahku setiap sore, bercerita tentang film, buku, bahkan tentang anjing tetanggamu yang suka menggonggong tengah malam.


“Kita kayak orang asing yang nggak asing,” katamu suatu hari. Dan kalimat itu melekat di kepalaku sampai sekarang.


Setelah berminggu-minggu, kita akhirnya jadi “kita.” Bukan lagi dua orang asing di halte. Malam itu, di bawah lampu jalan, kau mengatakannya sambil gemetar, “Kalau aku nggak bilang sekarang, aku takut menyesal. Mau nggak, jadi bagian dari hidupku?”


Aku menjawab dengan senyum yang lebih besar daripada kata “iya” yang keluar. Malam itu, kata ‘kita’ resmi dilahirkan.


Kita menulis cerita bersama. Pergi ke pasar malam, mencoba semua wahana sampai pusing, makan mi ayam di warung kecil langgananmu, hingga berbagi mimpi-mimpi kecil yang terlihat mustahil tapi selalu kau buat terasa mungkin.


Kau selalu berkata, “Kalau ada kamu, mustahil pun jadi mungkin.”


Namun, kata ‘kita’ mulai retak pelan-pelan. Kita sibuk. Aku sibuk dengan kerjaan yang menumpuk, kau sibuk mengejar karier di kota lain. Kita bilang akan berjuang, tapi jarak selalu punya cara membuat segalanya berubah.


Pesan-pesanmu semakin jarang. Telepon yang dulu kita lakukan sampai tertidur kini hanya sekadar formalitas. Aku sering duduk dengan ponsel di tangan, berharap ada chat darimu.


Suatu malam, kau hanya menulis:


 “Maaf, aku terlalu lelah. Besok kita ngobrol, ya.”


Besok itu tak pernah benar-benar datang.


Dan akhirnya hari itu tiba. Hari di mana kita duduk berhadapan di kafe ini, hanya untuk membicarakan tentang “akhir.” Kau terlihat lelah, matamu sayu, senyummu yang dulu hangat kini terasa dipaksakan.


“Aku nggak mau kita terus begini, saling menunggu tanpa kepastian,” katamu.

“Apa maksudmu?” tanyaku, walau aku tahu apa yang kau maksud.

“Kita… sudah nggak sama lagi. Mungkin kita harus…”

“Berhenti?” potongku, dengan suara yang hampir pecah.


Kau mengangguk. Hanya itu. Tak ada kata panjang, tak ada drama. Hanya anggukan dan tatapan yang memohon maaf.


Kini aku di sini lagi, di sudut yang sama, dengan kopi yang sama, sendirian. Semua terasa kosong tanpa tawa dan ceritamu.


Aku menulis pesan panjang di ponsel:


 “Apa kabar? Kadang aku masih berharap kita bisa kembali jadi kita. Tapi mungkin sekarang kita hanyalah dua orang asing lagi kali ini tanpa halte.”


Tapi aku tak pernah menekan tombol kirim. Karena aku tahu, sebelum kata kita jadi kenangan, kau sudah memilih untuk jadi masa lalu.


Hujan masih turun di luar. Aku menyeruput kopi yang sudah dingin, menatap kursi kosong di depanku, dan dalam hati berkata:


 “Terima kasih sudah jadi ‘kita’, walau sebentar. Semoga bahagia, di mana pun kamu sekarang.”

Bagikan :

Tambahkan Komentar