Oleh: Ghaida Mutmainnah

Langit sore itu seperti kanvas yang disengaja dilukis dengan warna jingga, merah, dan ungu yang berpadu indah. Burung-burung pulang ke sarang, dan angin sore menyapa lembut wajahku yang sedikit lelah setelah seharian bekerja. Aku duduk di bangku taman, hanya ingin menikmati sisa waktu sebelum malam menutup hari.


Taman kota ini selalu jadi tempat favoritku untuk mencari ketenangan. Suasana yang tidak terlalu ramai, aroma rumput basah, dan suara gemericik air dari kolam kecil di tengah taman. Aku menatap lurus ke langit senja, berharap ada yang menarik perhatianku selain sepi yang selalu setia menemani.


Tapi sore itu berbeda. Seseorang berdiri di ujung jalan setapak, tampak ragu-ragu. Dia membawa buku di tangannya, dengan rambut panjang yang diikat asal-asalan. Pakaian sederhananya kemeja krem dan celana jeans justru membuatnya terlihat hangat di bawah cahaya senja.


Aku tak tahu kenapa mataku tak bisa lepas darinya. Dan saat dia akhirnya mengangkat kepala, pandangan kita bertemu. Tatapannya—yang sedikit terkejut—membuat dadaku berdegup aneh.


Dia berjalan pelan mendekat, lalu duduk di bangku sebelahku. Taman ini cukup sepi, jadi kehadirannya terasa begitu nyata. Sesaat kita hanya diam, seolah tak ingin merusak keindahan senja.


“Hari ini senjanya cantik, ya,” katanya tiba-tiba. Suaranya lembut, seperti nada gitar yang dipetik pelan.


Aku tersenyum, sedikit kaku. “Iya, cantik sekali. Rasanya sayang kalau dilewatkan.”


Dia mengangguk, menatap langit yang mulai kehilangan cahaya jingganya. “Aku sering datang ke sini, tapi biasanya nggak ada yang duduk di bangku ini. Kamu sering ke sini juga?”


“Cukup sering. Tempat ini semacam pelarian dari sibuknya dunia.”


Dia tertawa kecil. “Sama. Kadang aku bawa buku, kadang cuma duduk aja kayak sekarang. Namaku Aira.”


“Raka,” jawabku, sambil mengulurkan tangan. Dia menyambutnya dengan hangat. Dan entah kenapa, aku merasa berjabat tangan dengannya seperti membuka pintu ke dunia yang baru.


Kita berbicara banyak hal. Tentang pekerjaan, tentang hobi, tentang alasan kenapa kami berdua sama-sama senang duduk di taman sore hari. Aira bercerita dia seorang penulis lepas yang mencari inspirasi di mana saja, sedangkan aku seorang pegawai kantor yang diam-diam memimpikan hidup lebih sederhana.


“Kadang aku berpikir, hidup terlalu cepat berlalu. Kita terlalu sibuk mengejar sesuatu sampai lupa menikmati hal-hal kecil seperti ini,” katanya sambil menunjuk ke langit yang mulai temaram.


Aku mengangguk. “Mungkin itu sebabnya Tuhan menciptakan senja. Supaya kita berhenti sejenak, melihat langit, dan bersyukur masih bisa bernapas.”


Aira tersenyum. Senyum yang hangat, sederhana, tapi entah kenapa membuat dadaku terasa penuh.


Waktu berjalan begitu cepat. Matahari sudah hampir tenggelam, dan udara mulai dingin. Aira mengecek jam tangannya, lalu berkata dengan nada sedikit berat, “Sepertinya aku harus pulang. Besok aku ada deadline tulisan.”


Aku mengangguk, meski sebenarnya enggan. “Boleh aku… berharap kita bertemu lagi di sini?” tanyaku dengan ragu.


Dia tersenyum, kali ini lebih lebar. “Tentu. Kalau semesta mengizinkan, kita pasti bertemu lagi.”


Dia bangkit, melangkah pergi. Tapi sebelum benar-benar menjauh, dia menoleh dan melambaikan tangan. “Sampai jumpa, Raka.”


“Sampai jumpa, Aira.”


Dan sore itu, di ujung senja, aku tahu aku baru saja menemukan seseorang yang akan selalu memenuhi pikiranku.


Sejak sore itu, aku kembali ke taman setiap hari di jam yang sama. Tapi Aira tak kunjung muncul. Setiap bangku kosong di taman membuat dadaku terasa makin berat.


Hingga pada hari ketiga, saat aku hampir putus asa, dia datang. Dengan buku di tangan dan senyum yang sama.


“Kukira kamu sudah bosan menunggu,” katanya sambil duduk di sampingku.


“Mana mungkin,” jawabku. “Senja nggak pernah membosankan. Apalagi kalau ada kamu.”


Wajahnya memerah, dan aku tahu pertemuan ini akan jadi awal cerita yang tak bisa lagi kuceritakan dengan kata-kata biasa.

Bagikan :

Tambahkan Komentar