Oleh: Audia Widyaningrum
Sarah selalu percaya, jawaban terbaik untuk setiap pertanyaan hidup yang rumit adalah jalan-jalan. Bukan sekadar liburan mewah, tapi perjalanan yang spontan, yang membawanya jauh dari hiruk pikuk kota dan rutinitas yang menjemukan. Hari itu, dengan ransel favorit dan sepasang sepatu hiking usang, ia siap sekali lagi membuktikannya.
Pagi itu, tiket kereta ekonomi menuju suatu tempat di Jawa Timur, yang namanya pun ia baru tahu semalam, sudah ada di tangannya. Tujuannya? Ia tidak punya tujuan pasti. Ia hanya ingin mengikuti ke mana angin membawanya, seperti daun kering yang menari.
Perjalanan dimulai dengan deru kereta yang menenangkan. Pemandangan di luar jendela berubah perlahan, dari gedung-gedung tinggi menjadi hamparan sawah hijau yang diselingi bukit-bukit kokoh. Di sampingnya, seorang ibu tua dengan senyum ramah menawarkan sepotong ubi rebus. Percakapan singkat itu terasa lebih akrab daripada obrolan panjang dengan rekan kerja.
Setibanya di stasiun yang sepi, Sarah melihat papan petunjuk arah ke sebuah desa kecil di lereng gunung. Tanpa ragu, ia memutuskan untuk berjalan kaki. Matahari mulai condong, memancarkan cahaya keemasan yang menghangatkan. Setiap langkah di jalan setapak berbatu terasa seperti membuang beban dari pundaknya. Udara bersih, suara burung berkicau, dan aroma tanah basah adalah simfoni yang sempurna.
Di desa itu, ia menemukan sebuah penginapan sederhana yang dikelola sepasang suami istri paruh baya. Mereka menyambutnya hangat, seolah ia adalah keluarga yang pulang kampung. Malamnya, sambil menyesap teh hangat, Sarah mendengarkan cerita-cerita penduduk lokal tentang legenda gunung dan kearifan hidup. Ia menyadari, setiap tempat memiliki jiwanya sendiri, dan jiwa itu terungkap melalui orang-orangnya.
Esok paginya, ia memutuskan mendaki bukit terdekat. Jalurnya curam, sesekali ia terpeleset, namun semangatnya tak padam. Semakin tinggi ia melangkah, semakin luas pemandangan yang terhampar di bawahnya. Dari puncak, ia melihat desa yang tadi malam menampungnya, sawah-sawah yang seperti permadani hijau, dan langit biru tanpa batas.
Di sana, di ketinggian itu, Sarah merasa sepertinya ia bisa menyentuh awan. Pertanyaan-pertanyaan yang mengganjal di benaknya—tentang karier, tentang masa depan, tentang arah hidupnya—seolah mengecil dan larut dalam keagungan alam. Ia menyadari, terkadang, kita hanya perlu menjauh sejenak, melihat gambaran besar dari ketinggian, untuk menemukan perspektif baru.
Perjalanan pulang terasa berbeda. Sepatu hikingnya kini menyimpan lebih banyak debu, ranselnya terasa lebih ringan, dan hatinya... hatinya penuh dengan rasa syukur dan inspirasi baru. Jalan-jalan bukan lagi sekadar pelarian, melainkan sebuah penemuan. Penemuan akan keindahan dunia, kebaikan hati orang-orang asing, dan yang terpenting, penemuan akan dirinya sendiri.
Sarah tersenyum. Ia tahu, petualangan tak pernah benar-benar berakhir. Selama sepasang sepatu dan dunia masih menanti, ia akan terus berjalan.
Tambahkan Komentar