Oleh: Ghaida Mutmainnah
Di sebuah taman bunga di pinggir desa, hiduplah seekor ulat kecil bernama Lilo. Tubuhnya hijau dengan garis-garis kuning, dan antenanya selalu bergerak penasaran ke segala arah. Lilo berbeda dari ulat-ulat lainnya. Ia suka melamun di malam hari, menatap langit.
“Kenapa kamu sering menatap bulan?” tanya Kiko, seekor kumbang ramah yang sering bermain dengan Lilo.
“Aku ingin terbang ke sana, Kiko. Ke Bulan!” jawab Lilo dengan mata berbinar.
Kiko tertawa hingga sayapnya bergetar. “Ulat tak bisa terbang. Kita hanya merayap. Kalau pun nanti kamu jadi kupu-kupu, sayapmu kecil. Bulan itu jauh sekali.”
“Tapi aku ingin mencoba!” kata Lilo. “Aku yakin ada caranya.”
Setiap malam, Lilo menatap Bulan. Bulannya besar, bulat, dan terlihat seperti bola keju putih. Ia membayangkan berjalan di atas permukaannya, melihat bumi dari atas sana.
“Kenapa harus Bulan?” bisik Lilo pada dirinya sendiri.
Karena Bulan tampak sepi. Lilo ingin menjadi teman pertama Bulan.
Pagi harinya, Lilo mulai membuat rencana. Ia menggambar Bulan dengan tongkat di tanah.
“Aku butuh sayap besar,” gumamnya. Kiko melihat gambar itu. “Sayap sebesar itu? Dari mana kamu dapat?”
“Kalau aku mengumpulkan daun-daun besar, lalu menjahitnya, mungkin bisa?” jawab Lilo.
Kiko lagi-lagi tertawa, tapi ia menyukai semangat sahabatnya itu.
Lilo bekerja keras. Ia mengumpulkan daun-daun lebar dari pohon talas. Dengan bantuan Tara si Laba-Laba, ia mengikat daun-daun itu dengan benang-benang sutra yang kuat.
“Aku belum pernah membuat sayap, tapi kita coba saja,” kata Tara sambil memintal benangnya.
Kiko ikut membantu dengan mengumpulkan batang rumput untuk rangka sayap.
Dua hari kemudian, Lilo berdiri dengan sayap besar buatan sendiri. Ia mencoba mengepakkan sayapnya.
“Bagaimana? Apakah aku terlihat seperti kupu-kupu raksasa?” tanya Lilo bangga.
“Lebih mirip… ulat yang terjebak di keranjang daun,” celetuk Tara sambil tertawa.
“Coba lompat!” seru Kiko.
Lilo berdiri di ujung batu besar, mengepakkan sayapnya, lalu… brak! Ia jatuh menimpa bunga-bunga liar.
“Aduh!” keluh Lilo.
Sayapnya terlalu berat. Ulat kecil itu terdiam, tapi tidak menyerah.
“Aku akan cari cara lain,” katanya sambil menatap Bulan.
Keesokan harinya, Lilo mendengar kabar dari Burung Pipit tentang biji kapuk yang ringan seperti awan.
“Kalau biji kapuk bisa terbang di udara, mungkin aku bisa membuat balon dari kapuk dan terbang dengan itu!” seru Lilo.
Dengan bantuan teman-temannya, ia mengumpulkan biji kapuk putih lembut. Tara menenun kantong besar dari daun-daun pisang, dan Kiko mengumpulkan batang bambu kecil untuk keranjang.
Setelah berhari-hari bekerja, jadilah sebuah balon udara mini.
“Siap terbang ke Bulan?” tanya Kiko.
“Siap!” jawab Lilo bersemangat.
Mereka menyalakan api kecil di bawah balon untuk membuat udara panas. Balon itu mulai naik perlahan… dan Lilo melambai pada teman-temannya.
“Selamat tinggal! Aku akan kirim kabar dari Bulan!” teriak Lilo.
Balon naik… dan naik… tapi tiba-tiba angin kencang datang.
Whoooshhh!
Balon terombang-ambing, lalu menabrak cabang pohon besar. POK! Kantong daun robek, dan biji kapuk beterbangan seperti salju.
Lilo jatuh berguling-guling ke tanah.
“Lilo!” Kiko berlari menghampiri.
“Aku… baik-baik saja,” kata Lilo pelan. Matanya masih menatap Bulan.
Hari-hari berlalu. Lilo tampak murung. Ia duduk di atas batang kayu, antenanya tak lagi menari riang.
“Aku sudah mencoba dua cara… dan gagal,” bisiknya.
Tapi Tara mendekat. “Lilo, mungkin kamu tidak gagal. Mungkin ini hanya bukan saatnya.”
Saat itu, Lilo merasa tubuhnya berat. Kepalanya pusing, matanya mengantuk.
“Aku… lelah sekali…” katanya.
“Lilo? Kamu kenapa?” tanya Kiko cemas.
Tubuh Lilo tiba-tiba mulai terbungkus benang tipis berkilau. Tara dan Kiko terkejut. Dalam beberapa menit, Lilo sudah terbungkus kokon lembut.
“Dia… berubah?” bisik Kiko.
Tara mengangguk. “Ini bukan akhir, ini awal. Tunggu saja.”
Hari demi hari berlalu. Kiko dan Tara menunggui kokon Lilo. Sampai suatu pagi, terdengar suara retakan lembut.
Crack… Crack…
Kokon itu pecah, dan keluar seekor kupu-kupu dengan sayap besar berwarna hijau-kuning yang indah.
“Lilo? Kamu Lilo?” seru Kiko.
“Ya… aku… aku punya sayap!” seru Lilo dengan mata berkilau.
Ia mengepakkan sayapnya yang masih lembap, lalu perlahan terbang.
“Waaaah! Aku benar-benar terbang!”
“Lihat dirimu! Kau lebih cantik dari yang pernah kau bayangkan!” kata Tara.
Lilo menari di udara. Kini ia bisa melihat Bulan lebih tinggi daripada sebelumnya.
Malam itu, Lilo terbang lebih tinggi lagi. Ia ingin mendekati Bulan. Sayapnya kuat, tetapi udara makin dingin dan tipis.
“Aku… harus terus…” gumamnya.
Tiba-tiba, seekor burung hantu terbang mendekat.
“Kamu mau ke Bulan?” tanya Burung Hantu.
“Ya! Apakah itu mungkin?”
“Dengan sayap kecilmu, Bulan masih terlalu jauh. Tapi… apakah kau tahu? Bulan selalu melihatmu. Ia menyukai cahaya yang kau bawa.”
“Cahaya?” tanya Lilo bingung.
“Iya. Cahaya keberanianmu, mimpimu, itulah yang Bulan lihat.”
Lilo tersenyum. Ia menatap Bulan.
“Mungkin aku tak bisa sampai ke sana… tapi aku akan terus terbang setinggi yang aku bisa, dan menerangi jalanku.”
Lilo pulang ke taman dengan hati ringan. Kini ia sering terbang malam hari, sayapnya memantulkan sinar Bulan sehingga terlihat seperti bintang kecil.
Anak-anak ulat memandangnya kagum.
“Lilo, ceritakan tentang petualanganmu!” seru seekor ulat kecil.
“Bulan itu indah,” kata Lilo sambil tersenyum. “Tapi yang terpenting, aku belajar: untuk mencapai mimpimu, kamu harus berani mencoba, meski gagal berkali-kali.”
Tara dan Kiko tersenyum bangga pada sahabat mereka.
Dan malam itu, dari kejauhan, Bulan tampak bersinar lebih terang, seolah tersenyum pada si ulat kecil yang akhirnya bisa terbang.
Tambahkan Komentar