Kelompok saracen saat ditangkap polisi. (Foto: merdeka.com).
Tabayun, pengertiaannya tidak sekadar klarifikasi. Namun juga detiksi bahkan dalam kacamata jurnalistik dan literasi, tabayun itu bagian dan kontrol dan kemampuan untuk waspasa pada suatu berita.

Ingat, tidak semua yang dimuat di media online itu berita. Di sini, berita jelas berbeda dengan opini dan tulisan tanpa kelamin. Artinya, tidak semua tulisan itu berita, namun tidak semua berita itu juga memenuhi standar berita dan jurnalistik yang taat pada kode etik dan regulasi.


Selama ini, mudahnya membuat media online sendiri, menjadikan masyarakat makin bebas, sebebas dan bebasnya menyuarakan aspirasi. Ya kalau menyuarakan kritik yang konstruktif, kalau itu bernada fitnah, pemalsuan data dan informasi? Kan hoax namanya.

Maka keharusan untuk tabayun itu menjadi mutlak. Mutlak seperti Anda ingin membuktikan sang kekasih, pacara, cinta nggak pada Anda. Kan tidak bisa hanya sekadar asumsi, Anda harus membuktikannya sendiri dengan cara wawancara, tanya, klarifikasi langsung.

"Kamu cinta padaku nggak?" misalnya demikian. Kalau jawabannya oke, ya, berarti rumor cinta itu tidak hoax. Tapi kalau "Tidak, Mas, saya sudah ada yang punya," nah berarti itu hoax.

Sama kayak berita pada umumnya, benar terjadi nggak? Kapan, di mana, jam berapa, siapa saja yang di lokasi, kejadiannya apa? Ini harus menjadi instrumen untuk bertabayun.

Dalam sejarah pemberitaan, hoax itu dosa yang paling kejam dari pada pembunuhan. Mengapa? Kan sama saja fitnah. Sedangkan Anda tahu, fitnah itu lebih kejam daripada pembunuhan.

Banyaknya pembuat berita palsu, misal seperti kasus Saracen, menjadi bukti bahwa berita hoax sudah menjadi komuditas bisnis. Benar adanya mereka yang membuat berita palsu tersebut. 

Di sinilah, tabayuna.com resah dan harus mendidik masyarakat agar tidak meyakini, mengimani berita-berita, informasi, gambar, video hoax.


Baca juga: Kelompok SARACEN Dedengkot Penyebar Kebencian Dibekuk Polisi, Waspadai Ulahnya!
Bagikan :

Tambahkan Komentar