Ilustrasi: Foto Novel Baswedan. (Foto: merdeka.com).
Oleh Sunardian Wirodono

Pada akhirnya, yang terjadi adalah mengorbankan Novel Baswedan. Menyembelih penyidik senior KPK itu, setelah matanya menjadi cacat, disiram air-keras oleh entah siapa.

Bagaimana sampai pada kesimpulan itu? Ketika kepolisian terus mengulur-ulur waktu pemeriksaan, atas tindak kriminal yang menimpa Novel Baswedan (karena konon ada jenderal di lingkungan Polri yang diduga terlibat), pihak kepolisian mulai bermain mata. Bahkan ketika Jokowi mendesak Kapolri agar segera menuntaskan kasus itu, hampir sebulan berlalu tanpa progres.

Bagaimana kepolisian bisa bermain mata? Kepolisian awalnya menolak diundang ke Senayan oleh Pansus KPK. Namun ketika didatangi, tak lama kemudian kepolisian membentuk Satgas Korupsi, dan mendukung Angket KPK. 

Setelah nasib Novel Baswedan diambangkan kepolisian, Pansus Angket KPK kemudian menyerang KPK dari dalam. Mereka mengundang Dirdik KPK (Kombes Aris Budiman, yang berasal dari kepolisian) berkicau di depan Pansus KPK. Sebagian dari 19 anggota pansus itu, bermasalah dengan kasus yang disidiknya, yakni soal korupsi e-KTP.

Senyampang itu, Kepolisian ternyata jauh lebih sigap memproses laporan Aris Budiman, soal 'pencemaran nama baik' yang dituduhkan pada Novel Baswedan. Meski tak secara terbuka menyatakan Novel sebagai tersangka, pemrosesan kasus itu tinggal satu kata saja untuk menjadikannya tersangka. 

Kita bisa bayangkan, Novel Baswedan cacat mata dalam menjalankan tugas (setidaknya sedang memproses kasus besar korupsi e-KTP), karena tindak kejahatan orang yang menciderainya. Masih dalam proses penyembuhan yang berat, tapi justeru dibalik begitu cepat, (bakal) jadi tersangka untuk kasus pencemaran nama baik. 

Sementara, kasus penyiraman mata Novel, terkatung-katung lebih 5 bulan. Digantung hanya karena mendengar nama seorang jenderal. Bahkan, para anggota Pansus KPK menebar hoax; bahwa di Singapura, Novel Baswedan bukannya berobat, tapi jalan-jalan. Darimana anggota pansus bisa bekoar sejahat itu? Dimana nurani mereka?

Novel Baswedan tampaknya hendak disembelih habis. Baik oleh kepolisian dan anggota parlemen. Kenapa? Dia orang berbahaya. Penyidikannya soal e-KTP, bisa menyeret sebagian besar penjahat Senayan. Demikian pula pernyataan Novel di episode akhir Mata Najwa, juga mengancam karir seorang jenderal polisi. Tentunya itu mengancam pula keutuhan lembaga bhayangkari negara. Padahal, sulitkah menyebut nama jenderal itu? Tidak. Efeknya yang sulit diduga.

Ujung dari masalah, sesungguhnya bukan membela orang-perorang. Namun kita melihat jelas, beberapa anggota parlemen hendak memperlemah KPK, dengan mengubah UU agar bisa mengawasi langsung, tapi sekaligus meringkus Novel Baswedan yang mengancam keselamatan mereka. Senyampang itu, kepolisian menumpang, dengan memasukkan Aris Budiman sebagai sekoci penyelamat sang jenderal. Mereka bersama-sama memukul balik Novel Baswedan. Jadi? Selamat merayakan korban!

-Sunardian Wirodono, Menulis di media komersial (koran) sejak SMP kelas 2, dan pernah menjadi redaktur surat kabar di Harian Berita Nasional, Yogyakarta (1979-1980). Kemudian ke Jakarta menjadi reporter dan kemudian redaktur di beberapa majalah dan koran (1980 - 1994). Bekerja di stasiun televisi Jakarta (1994 - 1998). Menjadi script-editor di beberapa production house Jakarta (2000 - 2012). Bergabung dengan XMal Sindikasi Jakarta (2000 - sekarang). Juga menekuni dunia penulisan kreatif, dengan telah menerbitkan beberapa novel; Anonim My Hero (2004), Matikan Televisimu (non fiksi, 2006), Syahie Panyang Aceh (2009), Centhini 40 Malam Mengintip Sang Pengantin (2009), Menuju Bantul (2009), Serat Centhini Dwi Lingua (penerjemah versi teks lengkap Jawa - Indonesia, 2010 hingga kini, 12 jilid), Jokowi Undercover (novel politik, 2014).


Sumber: Di Sini
Bagikan :

Tambahkan Komentar