Prof Sumanto Al Qurtuby Profesor Antropologi di King Fahd University di Dhahran, Arab Saudi saat diskusi publik di Unwahas, Kamis (9/11/2017).
Semarang, TABAYUNA.com - Dalam Diskusi Publik FISIP Unwahas yang bertema “Konstelasi Agama Dan Politik di Timur Tengah” dan peluncuran buku Era Baru Fiqih Indonesia yang bertempat di kampus Universitas Wahid Hasyim (Unwahas) Semarang, Kamis (9/11/2017), Prof Sumanto Al Qurtuby Profesor Antropologi di King Fahd University di Dhahran, Arab Saudi, mengatakan ada kekeliruan mendasar pada pemahaman muslim Indonesia tentang Arab Saudi, terutama masalah mayoritas tingkat keagamaan di sana.

Dalam kesempatan itu, Prof Sumanto Al Qurtuby menegaskan bahwa di Arab Saudi tidak semuanya beragama Islam, namun yang ateis alias tidak bertuhan juga banyak. “Di Arab tidak hanya Islam saja, namun yang ateis juga banyak,” papar Prof Sumanto dalam Diskusi Publik FISIP Unwahas yang bertema “Konstelasi Agama Dan Politik di Timur Tengah” dan peluncuran buku Era Baru Fiqih Indonesia yang bertempat di kampus Universitas Wahid Hasyim (Unwahas) Semarang, Kamis (9/11/2017).

Menurut dia, kebanyakan umat Islam di Indonesia mengimpor wadah Islam, bukan isi atau substansinya.”Beberapa tahun terakhir ada fenomena sebagian muslim kita begitu heroik ingin menjadi bagian kebudayaan Arab. “Dalam antropologi wajar sebuah proses perubahan sosial, karena itu gejala global,” beber pria lulusan S1 UIN Walisongo Semarang tersebut.

Dilanjutkannya bahwa proses pengaraban muslim di Indonesia sudah lama, yang jadi pertanyaan adalah boleh saja menjadi bagian budaya lain. “Hanya jadi masalah penyakit orang Indonesia lebih tertarik daripada casing (wadah) daripada isi. Yang diimpor ke sini adalah wadah,” papar dia.

Apa spiritnya? Belajar keras, kata dia, pengalaman di Amerika luar biasa. “Tradisi membaca luar biasa. Membaca di barat sudah menjadi etos. Bahasa Inggris sebagai medium untuk membaca. Ada orang yang semangat meniru Arab hanya wadah,” lanjut profesor berkacamata itu.

Sekarang, kata dia, Arab sudah bosan dengan konservatisme kekolotan. “Mereka berlomba menuju kemajuan di segala ini. Bahkan wacana keagamaan berkembang luar biasa. Spirit itu tidak terimpor di sini,” katanya di hadapan peserta diskusi.

Saya tidak mengatakan bercadar itu buruk, kata dia, saya hanya ingin mengatakan persepsi kita di sini keliru tentang Arab dan Timur Tengah. Misal persepsi masyarakat Arab konservatif. “Arab sangat modern dalam segala hal. Imej kita menganggap Arab yang begitu kuat agamanya. Padahal tidak,” katanya.

Masalah kesukuan juga faktor penting, kata dia, melihat Arab dari agama jelas sangat keliru. “Masalah kesukuan sangat penting. Dalam praktik sehari lebih banyak ditentukan non agama,” lanjut dia.

“Islam tidak mengatur kawin dengan suku yang sama. Mereka kawin karena suku yang sama. Suku seperti kasta. Masyarakat Arab antiperempuan. Ada 22 negara anggota liga Arab. Arab Saudi hanya sebagian dari masyarakat Arab. Oman adalah menarik, dinamis.  Hanya Arab Saudi yang cukup membatasi perempuan,” lanjut dia.

Tapi sekarang beda, kata dia, Raja Abdullah memelopori perempuan sebagai anggota konsul. “Mereka banyak menelurkan kebijakan publik. Banyak CEO. Pengacara, pemred juga banyak dari perempuan,” lanjut dia.

Sebelum Diskusi Publik FISIP Unwahas yang bertema “Konstelasi Agama Dan Politik di Timur Tengah” dan peluncuran buku Era Baru Fiqih Indonesia itu, diawali dengan sambutan  Prof Mahmutarom Rektor Unwahas.

Usai penyampaian materi, banyak peserta yang datang dari berbagai daerah bertanya soal eskalasi politik di Arab. Mereka tidak hanya datang dari Unwahas, namun juga dari UNNES, Undip, Udinus, dari Kendal, Demak, Pekalongan dan beberapa daerah yang lain. (TB44/Jun).

Bagikan :

Tambahkan Komentar