Ilustrasi foto detak.co
Oleh M. Yudhie Haryono
Direktur Eksekutif Nusantara Centre, Indonesia

Berulang. Tak belajar dari sejarah. Kini, puluhan ribu jemaah yang tertipu biro umroh mirip jutaan warganegara yang tertipu pesta pilpres dan pilkadal. Dan, kedua korban sama-sama dalam keadaannya: negara tak hadir untuk menegakkan hukum (the basic law of survival). Kini korban-korban itu tak punya tempat mengadu. Sebab negara dan elitelah pelaku tipu-tipu tersebut.

Itulah nasib terbaik dan terkeren hidup di negara yang defisit negarawan. Adanya pimpinan agama penjual ayat dan petugas partai pembawa batok utang mengemis ke penjuru dunia. Dalam kesempitan pikiran dan tindakan para pemimpin kita yang dua itu (penjual ayat dan pengemis batok) hilanglah kemakmuran bersama (a commonwealth) dan kebahagiaan bersama (a common happines).

Bagaimana mengatasi defisit gagasan dan tindakan besar di negara plural seperti Indonesia? Dengan dua cara. Pertama, dengan menciptakan secara terus menerus diskursus guna mencapai konsensus. Kedua, dengan menghadirkan agensi jenius dan bermental merdeka, mandiri, modern dan martabatif.

Tetapi, untuk mencapai konsensus rasional yang diterima secara nasional, kita harus mencipta lima prasyarat dialogis yang keren.

Pertama, kemampuan untuk terbuka pada penguasaan masa lalu dan masa kini dari para warganegara. Kelas filosof dan para ariflah yang tepat dalam keikutsertaan ini.

Kedua, partisipasi dalam diskursus hanya mungkin, jika orang mempergunakan bahasa yang sama dan secara konsisten mematuhi aturan-aturan logis dan semantis dari bahasa tersebut.

Ketiga, seluruh hasil dari diskusi dan perdebatan rasional itu digerakkan demi terciptanya masa depan yang lebih baik dan bermartabat dengan kerelaan masing-masing pihak meninggalkan “wajah buruk masa lalunya.”

Keempat, setiap warganegara yang memiliki maksud untuk mencapai konsensus harus independen dan imparsial serta memandang para peserta lainnya sebagai pribadi-pribadi otonom yang tulus, bertanggungjawab, sejajar dan penghayat sekaligus pengamal konstitusi.

Kelima, hadirnya hukum yang dipatuhi secara umum guna mengamankan proses diskusi dari tekanan dan diskriminasi. Hukum tersebut harus memastikan bahwa orang mencapai konsensus berkat “paksaan tidak memaksa dari argumen yang lebih baik.”

Inilah rezim ide. Satu pola kehidupan yang dipimpin oleh ide terbaik. Dari sini, kehidupan kita adalah epistema dari kalimat, “lihat isi perkataannya, bukan lihat siapa yang berkata-kata.” Demokrasi kita menjadi ruang jual beli ide bukan uang dan barang. Aksiologi idenya adalah kesetaraan manusia dalam bernegara.

Tiap manusia bernilai karena ide dan gagasannya bukan berapa uangnya, anak siapa dan apa agamanya. Ini soal hidup bersama; adil, berdaulat, bermartabat dan sejahtera bersama. Tentu bukan soal hidup berbasis sara.

Soekarno dalam pidato-pidatonya menegaskan bahwa Demokrasi Terpimpin ialah demokrasi atau menurut istilah Undang- Undang dasar 1945 “kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan.”

Demokrasi terpimpin bukanlah bentuk dari totalisme dan kediktatoran, bukan juga bentuk demokrasi liberal ala negara-negara barat. Namun, suatu sistem demokrasi yang sesuai dengan alamnya Indonesia. Demokrasi yang dijalankan dengan bermusyawarah dan dipimpin oleh kebijaksanaan (wisdom).

Dalam demokrasi ini, rumah besarnya bernama Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Ini merupakan konsep bernegara dalam pencarian tiang-tiangnya, setelah nilai, id, dasar dan cita-citanya ditemukan dan menjadi konsensus bersama.

Menurut Soepomo (1945), konsep Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) merupakan penjelmaan seluruh rakyat Indonesia, yang mana anggotanya terdiri atas seluruh wakil rakyat, seluruh wakil daerah, seluruh wakil golongan dan seluruh wakil kerajaan/kesultanan/adat/cendekia.

Konsepsi Majelis Permusyawaratan Rakyat inilah yang akhirnya ditetapkan dalam Sidang PPKI pada acara pengesahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. MPR kemudian menjadi lembaga tertinggi negara yang bertugas menyusun tafsir konstitusi dalam ipoleksosbudhankam secara serius, massif, terukur, terencana, terstruktur, rasional, progresif, adaptif dan menzaman.

MPR kemudian diisi oleh tiga cluster yang mewakili tiga model pengisiannya: via keterpilihan atau pemilu (untuk warga umum); keterwakilan atau hikmah (untuk suku, kerajaan dan golongan/profesi); ketercerdasan atau modernitas (untuk warga cendekia).

Karenanya, dalam politik Pancasila diatur tentang kewajiban dan hak individu (liberal) yang diselaraskan dengan kewajiban dan hak komunal (utusan golongan) plus kewajiban dan hak teritorial (utusan daerah). Jika hari ini cuma dua (liberal dan komunal rasa liberal—DPR dan DPD) maka politik kita rabun konstitusi dan khianat cita-cita proklamasi.

Dus, alasan kita menyusun MPR berdimensi konstitusi dengan membuat sistem trikameral (tiga kamar) adalah: Pertama, untuk membangun mekanisme pengawasan dan keseimbangan (checks and balances). Kedua, untuk menghilangkan dominasi kelas tertentu dalam bernegara. Ketiga, untuk membentuk perwakilan yang mampu menampung kepentingan tertentu yang biasanya tidak terwakili secara subtantif.

Secara khusus, trikameralisme dapat digunakan untuk menjamin perwakilan yang memadai bagi semua wilayah dan kepentingan (keterpilihan/pasar; kebijaksanaan/raja dan suku; kejeniusan/sekolah) dalam lembaga legislatif-representatif.

Inilah inti demokrasi terpimpin atau disebut demokrasi terkelola. Tentu ini istilah untuk sebuah pemerintahan demokrasi yang berbasis pada kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah guna menghasilkan kebijaksanaan dalam permusyawaratan dan perwakilan. Demokrasi ini pernah juga menjadi bagian dari perkembangan demokrasi di Indonesia.(*)
Bagikan :

Tambahkan Komentar