Dian Sastrowardoyo Membacakan Puisi Chairil Anwar (Derai-Derai Cemara, 1949) - YouTube
Oleh M. Yudhie Haryono
Direktur Eksekutif Nusantara Centre, Indonesia

Apa obat selain ideologi untuk negara yang alpa? Kujawab tegas: sastra. Tentu bukan sastra hari ini yang bergerak menuju sebuah dunia utopia, dunia ilusi, ketikan yang tak lagi menjejakan kakinya di bumi, tak lagi lahir dari tanah, tak dibaui oleh udara, dan tak terbakar api Indonesia.

Melainkan sastra yang revolusioner; menghentak dan menggugat realitas yang tak pantas. Sebab, di negara miskin, kita menjadi minus ide. Defisit kapasitas. Tak punya solusi.

Malah jadi pencipta masalah, penjumlah luka, terbalut duka. Maka, yang dibagi hanya sembako. Yang diributkan hanya kaos. Yang dipertontonkan cuma utang. Yang dibanggakan “bangun badan, bukan bangun jiwa.”

Melampaui itu semua, satralah yang mengetik kata dan problema. Sastralah pembentuk sebuah harapan, impian, cita-cita dan keidealan. Maka, sajak-sajak itu mulai lantang terdengar; puisi-puisi itu mulai tumbuh dan bergelora; novel-novel itu menawarkan dunia alternatif; lagu-lagu itu menggiring pada kesadaran.

Sastra ini memberi aksiologi kita dalam berbangsa-bernegara untuk memproklamasikan bahwa kita bukan pewaris (SDA), melainkan peminjam dari generasi berikutnya. Karena itu pendekatannya adalah resiprokal-kritis dan kesalingtergantungan antara ekologis (lingkungan), antroposentris (manusia) dan theocentris (Tuhan).

Keselarasan itu menghasilkan tata-krama, tata-kelola, tata-negara dan tata-surya yang dinamis dan setimbang (mizan) menjadi theo-antro-eco-centrism.

Tentu terdengar sangat sepele namun dampak yang ditimbulkan begitu dahsyatnya yang biasa kita sebut dengan nama revolusi. Kita semai sastra yang melahirkan trias revolusi: nalar, mental dan konstitusional. Ini terlihat biasa tetapi bisa dan mampu menggerakan manusia dari kegelapan ke kemerdekaan; dari kemiskinan ke gotong-royong; dari ketimpangan ke keadilan semesta plus kesejahteraan abadi.

Itulah sastra; inilah kata; itulah karya; inilah energi bahasa. Semua menjadi senjata yang tidak kenal jaman. Itulah sastra magis, yang biasa digunakan oleh mereka sebagai senjata, ketika sebuah rezim dungu berkuasa.

Sastra ini bicara problema dan solusi berbangsa, bernegara dan berwarganegara. Ketikan soal-soal penting, genting dan runcing. Soal yang kita setujui untuk menembak mati semua koruptor dan nasionalisasi asetnya ke APBN. Juga menembak mati semua komprador asing-aseng dan menyita kekayaannya ke APBN.

Sastra yang mendukung dengan tegas untuk kita menembak mati semua neokolonialis (lokal dan asing) dan rebut kembali harta rampokannya ke APBN. Juga menembak mati semua elite predatoris, kartelis, oligarkis, kleptokratis dan sita kekayaannya ke APBN. Sastra yang menembak mati semua birokrasi yang fasis, agamawan teroris plus rakyat apatis dan sita semua harta miliknya ke APBN.

Inilah sastra realis yang membebaskan Indonesia. Inilah indonesia yang merevolusikan sastra. Bukan sastra langit, walau tak bisa kita ingkari pesonanya: bintang dan galaksi. Sadar dari pesona, amalkan Pancasila dan gemakan sastra revolusioner.

Dan, jika itu pekerjaan menyejahterakan indonesia maka tiba waktunya untuk bertarung. Menumpas angkara. Melawan musuh lama. Menggilas musuh masa kini. Mengantisipasi musuh masa depan. Merekalah penjarah. Para penghasut dalam hati, pikiran dan perbuatan.

Kesadaran ini penting sebab sejak sastra revolusioner tak berkuasa, buku tak dibaca, pengetahuan tak dibeli, hikmah tak ditradisi. Sejak sastra tak menjadi bendera revolusi, semua berhenti mati. Lalu, semua musnah dalam dua kata: pencitraan dan blusukan.

Engkaulah kini sastra satu-satunya yang kita butuhkan untuk hidup bermartabat dan terus melawan. Demi bumi, rumah dan masa depan kedaulatan. Sastra yang bisa membuat jiwa kita bergairah kembali. Samudra kita yang pernah mati, hidup kembali semilyar waktu.

Pada sosok WR Supratman, Chairil Anwar, Pramoedya Ananta Toer, Rendra, Hamka dan Wiji Tukul kita bisa belajar. Satra mereka membuat bulan kita menjadi berarti setiap waktu. Setelah bertrilyun waktu membatu. Matahari kita yang sempat menghilang bagaikan ditelan takdir akhir, kembali bersinar ikhlas.

Sastra ilusif anti revolusi yang sempat menjadikan Pancasila dan Indonesia tinggal sisa dan onggokan sampah yang menyerah: kalah, kembali gairah. Sastra revolusionerlah obat dan jawabannya.(*)
Bagikan :

Tambahkan Komentar