Ilustrasi foto Mulpix
Oleh M. Yudhie Haryono
Direktur Eksekutif Nusantara Centre

Di banyak kampus, sudah banyak sekali ilmuwan yang berkata bahwa “kita tidak tahu ke mana negara ini mengarah.” Sebab, apa acuannya makin tidak konsisten. Jika acuannya pasar, kita hanya pasar segmented. Jika acuannya konstitusi, kita hanya mengkhianati.

Jika acuannya klasik (PDB, Rasio Gini, Pertumbuhan, Kemajuan dan Utang), praktis angka-angkanya tidak mengorgasmekan. Jadi, apa sesungguhnya yang dipakai elite hari ini dalam “mengelola pemerintahan” dan menjalankan “mandat kemenangan pemilu?” Satu-satunya jawaban yang pas adalah “indeks kekuasaan diri dan segmentasinya.”
Dengan indeks itu, praktis semua sesat pikir, perbuatan setan, buta-tuli-bisu nasib warganegara, terjelaskan dengan sendirinya.

Sebab seluruh hal-ikhwal perbuatannya ternyata hanya untuk diri dan kelompoknya saja. Maka, ilustrasi yang meminjam tulisan Khalil Gibran (sastrawan besar yang lahir di Libanon, 1883) menjadi relevan bahkan penting. “Betapa kasihan, bangsa yang mengenakan pakaian tetapi tidak ditenunnya sendiri; memakan roti dari gandum yang tidak ia panen sendiri, dan meminum susu yang ia tidak memerasnya sendiri.

Kasihan bangsa yang menjadikan orang dungu sebagai pahlawan dan menganggap penindasan penjajah sebagai hadiah. Kasihan bangsa yang meremehkan nafsu dalam mimpi-mimpinya ketika tidur, sementara menyerah padanya ketika bangun. Kasihan bangsa yang tidak pernah angkat senjata kecuali jika sedang berjalan di atas kuburan, tidak sesumbar kecuali di reruntuhan, dan tidak memberontak kecuali ketika lehernya sudah berada di antara pedang dan landasan.

Kasihan bangsa yang negarawannya serigala, filosofnya gentong nasi, dan senimannya tukang tambal plus tukang contek. Kasihan bangsa yang menyambut penguasa barunya dengan terompet kehormatan, namun melepasnya dengan cacian, hanya untuk menyambut penguasa baru lain dengan terompet lagi.

Kasihan bangsa yang orang sucinya dungu menghitung tahun-tahun berlalu; sedang orang kuatnya masih dalam gendongan. Kasihan bangsa yang terpecah-pecah, dan masing-masing pecahan menganggap dirinya sebagai bangsa merdeka padahal dijajah.

Kasihan bangsa yang alamnya indah, sawahnya hijau sepanjang masa, tapi banyak penjahat dan orang bodoh dan lugu dijadikan elite negara. Kasihan bangsa yang hasil laut, tambang dan hutannya seperti sorga di dunia tapi banyak rakyatnya menderita karena kejujuran dan keadilan telah sirna.

Kasihan bangsa karena tempat-tempat ibadahnya penuh puja dan puji selalu menggema; dibangun dari hasil korupsi, sehingga para pencuri tertawa-tawa karena mereka bebas semaunya. Kasihan negara itu. Ya. Kasihan warganegaranya.”

Lalu, bagaimana agar bangsa itu tak terjerumus jadi bangsat; aparatnya tak jadi keparat; pejabatnya tak jadi penjahat? Tentu tak cukup bertobat. Terlebih, pengetahuan tidaklah cukup, sebab kita harus mengamalkannya. Niat tidaklah cukup, sebab kita harus melakukannya.

Kita memerlukan lompatan kesadaran dan proyeksi kecerdasan serta realisasi kejeniusan di atas rata-rata. Sebab, kini siapa yang berharap bahwa demokrasi liberal membawa kesejahteraan, mereka bermimpi. Siapa yang beriman bahwa arabisme membawa keadilan, mereka berkhayal. Siapa bersikeras bahwa neoliberalisme menciptakan kemandirian, mereka sedang mabok.

Demokrasi liberal, arabisme dan neoliberalisme ini setali tiga uang: candu dan nikotin kehidupan; penyakit kaum lemah nalar; janji para durja; alat pengisapan tersempurna.

Dengan trias-revolusi yang berdentum, kita wajib menjawab problema negara maling ini dengan membuat indeks kemakmuran negara-warga yang implementasinya terukur dan terstruktur.

Makmur karena sembilan kategori (kebebasan, kesehatan, pendidikan, lingkungan, lapangan kerja, kesejahteraan, sosialitas, kemerataan dan kemandirian) berada pada ekuitas dan likuiditas terbaik.

Indeks kemakmuran dengan demikian adalah hitungan keadaan di mana kita mampu memenuhi kebutuhan primer, sekunder dan tersier dengan mudah.

Kemakmuran berarti mendapatkan semua kebutuhan tersebut tanpa adanya tekanan; kita mampu mengatur keadaan finansial, waktu dan tenaganya; memiliki ketiganya untuk bersosialisasi, menjalankan hobi dan rekreasi. Jika hidup makmur maka kita akan lebih mudah dalam meraih kebahagiaan dan kesenangan hidup plus prestasi.

Tetapi, indeks ini akan jadi barang mati jika kita semua tak mengimplementasikan. Sebaliknya, indeks ini akan bermakna jika kita mematrialisasikan di lapangan.

Tentu ini pekerjaan raksasa. Yang hanya bisa dikerjakan oleh pemikir dan pemimpin raksasa. Siapkah kita semua mengerjakannya? Harus. Ayo kita praktekkan segera.(*)

Bagikan :

Tambahkan Komentar