Peringatan Haul Sunan Kuning di komplek Jalan Sri Kuncoro 1 RT 6 RW 2 Kelurahan Kalibanteng Kulon, Kecamatan Semarang Barat, Kota Semarang, Jawa Tengah. (Foto: rappler.idntimes.com).
TABAYUNA.com - Ketika mendengarkan nama Sunan Kuning, pasti dalam benak kita adalah lokalisasi, tempak nakal, dan tempat jajan lelaki hidung belang. Sunan Kuning, selama ini dipahami sebagai lokalisasi terbesar di Jawa Tengah.

Selain ada makam Mbah Soleh Darat di Bergota, lalu ada Sunan Pandanaran, di Kota Semarang juga ada makam Sunan Kuning yang sangat dekat dengan Bandara Ahmad Yani Semarang. Alamat Makam Sunan Kuning ini sangat dekat dengan alamat lokalisasi Sunan Kuning Semarang atau sekarang sudah menjadi Resosialisasi Argorejo Semarang.

Yang menjadi permasalahan, ada dua makam Sunan Kuning, yaitu di Kota Semarang, Jawa Tengah dan di Tulungagung, Jawa Timur. Misteri ini yang menjadikan Tabayuna.com kewalahan karena harus mencari data-data ilmiah dan faktual.

Padahal, Sunan Kuning, penamaan itu, berasal dari ulama besar asli Tionghoa, namanya Soen An Ing. Karena orang Jawa Susah menyebut Soen An Ing, maka dengan simpel menyebut Sunan Kuning.

Sunan Kuning, makamnya ada di Semarang, ada juga di Tulungagung. Selain melakat nama Sunan Kuning, atau Kanjeng Sunan Kuning, Soen An Ing juga memiliki nama lain Raden Mas Garendi, Zaenal Abidin, dan lainnya.

Dalam buku Geger Pacinan 1740-1743, Persekutuan Tionghoa-Jawa Melawan VOC, RM Daradjadi menyebut Raden Mas Garendi bersama Kapitan Sepanjang (Khe Panjang) dan Raden Mas Said (Pangeran Sambernyawa) mengobarkan perlawan sengit terhadap VOC di wilayah kekuasaan Mataram. Perlawanan itu disebut sebagai pemberontakan terbesar yang dihadapi VOC selama berkuasa di Nusantara.

Para pemberontak Jawa-Tionghoa menobatkan Raden Mas Garendi atau Sunan Kuning sebagai raja Mataram bergelar Sunan Amangkurat V Senopati Ing Alaga Abdurahman Sayidin Panatagama pada 6 April 1742 di Kabupaten Pati, Jawa Tengah. Kala itu, cucu Amangkurat III yang dibuang VOC baru berumur 16 tahun--sumber lain menyebut 12 tahun. Dia pun dianggap sebagai raja orang Jawa dan Tionghoa.

Kesalahan Sejarah Pelacuran di Sunan Kuning
Sejarah Resosialisasi Argorejo atau lokalisasi Sunan Kuning harus diluruskan. Sebab, pada aslinya Sunan Kuning adalah ulama Islam asal Tionghoa bernama asli Soen An Ing atau dikenal juga dengan sebutan Kanjeng Sunan Kuning atau Raden Mas Garendi.

Sunan Kuning, tiap kali diucapkan memang tak lepas dari tempat nakal. Fitria (2012: 70) menyebut, prostitusi menjadi fenomena sosial yang tidak mengenal tempat dan suasana. Ia akan senantiasa hadir selama ada yang membutuhkan, ia merupakan bagian dari institusi sosial yang akan tetap lestari dan berkembang selama masih dibutuhkan. Kenyatannya, pelacuran memiliki power sebagai institusi yang selalu dibutuhkan. Selama ada nafsu seksual, maka selama itu pula akan ada institusi yang menyediakan. Karena itu, permasalahan dalam prostitusi tidak hanya soal pelacuran akan tetapi pelanggan yang juga menikmati jasa pelacuran

Sedangkan Lokollo (2009: 41) menjelaskan, dalam praktiknya, pelacuran terbagi atas beberapa varian. Pertama, Prostitusi yang terdaftar dan terorganisir. Pelakunya diawasi oleh bagian vice control dari kepolisian, yang dibantu dan bekerjasama dengan Dinas Sosial dan Dinas Kesehatan. Pada umumnya dilokalisasi dalam satu daerah tertentu. Penghuninya secara periodic harus memeriksa dari pada dokter atau petugas kesehatan dan mendapatkan suntikan dan pengbatan sebagai tindakan kesehatan dan keamanan umum.

Kedua, Prostitusi yang tidak terdaftar. Termasuk dalam kelompok ini adalah mereka yang melakukan prostitusi secara gelap dan liar, baik secara perorangan maupun kelompok. Perbuatannya tidak terorganisir, tempatnya tidak tentu, bisa disembarang tempat,  baik mencari klien sendiri, maupun melalui calocalo dan panggilan. Mereka tidak mencatatkan
diri kepada yang berwajib, sehingga kesehatannya sangat diragukan, karena belum tentu mereka itu mau memeriksakan kesehatannya kepada dokter.

Praktik Pelacuran di Sunan Kuning, memang praktik pelacuran dalam arti “cara-cara kerja” para pelacur dalam menghadapi langganannya, banya pola-pola dan liku-likunya. Secara garis besar dapat disebut beberapa pola.

Pertama, Pelacur Bordil. Yaitu praktik pelacuran, dimana para pelacur dapat dijumpai di tempat-tempat tertentu, berupa rumah-rumah yang dinamakan bordil, yang mana umunya ditiap bordil dimiliki oleh seorang yang namanya germo.

Kedua, pelacur panggilan dalam pelacuran (Call Girl Prostitution). Praktik pelacuran di mana si pelacur dipanggil oleh si pemesan ke tempat lain yang telah ditentukan, mungkin di hotel atau di wisma daerah pariwisata.

Ketiga, pelacur jalanan (Sreet Prostitution). Ini merupakan bentuk prostitusi yang menyolok. Di kota-kota besar kerap kali orang dengan mudah dapat menjumpai wanita yang berdandan dan rias yang mencolok, seolah menjajakan diri, untuk dibawa oleh yang meghendakinya. Biasanya pelacur yang berada di jalanan dibawa ke hotel-hotel murahan, atau berbordil atau kemana saja yang membawa (Soedjono, 1977: 70-74)

Mustaqim (2016: 73) menyebut, data terakhir yang disebutkan oleh pengurus Resosialisasi Argorejo, anak asuh yang terdaftar di sana sebanyak 569. Status anak asuh ini terbagi menjadi tiga di antaranya: a. 103 Belum kawin. b. 38 Menikah. c. 428 Janda

Anak asuh adalah istilah yang digunakan untuk panggilan wanitawanita yang bekerja di Resosialisasi Argorejo Sunan Kuning Semarang. Meskipun banyak istilah lain seperti Wanita Pekerja seks (WPS), Wanita Tuna Susila (WTS), Pekerja Seks Komersial (PSK), pelacur, dan lain-lain. Begitu juga dengan istilah-istilah baru seperti bispak, wanita penghibur, jablai, kimcil dan lain-lain. 

Istilah anak asuh ini digunakan karena berhubungan dengan tempat mereka bekerja yaitu resosialisasi yang aktifitas di dalamnya bukan hanya tempat hiburan dan prostitusi, melainkan terdapat program bimbingan dan pengentasan bagi anak asuh itu sendiri. Selain itu penggunaan nama anak asuh lebih diutamakan di Resosialisasi Argorejo dibandingkan dengan penggunaan nama panggilan yang lain (Mustaqim, 2016: 6).

Terlepas dari kondisi ini, Sunan Kuning tetaplah Sunan Kuning, seorang waliyullah yang menyebar Islam dan melawan VOC Belanda kala itu. Dari penelusuran Tabayuna.com, ada dua makam atau kuburan Sunan Kuning. Pertama di Kota Semarang, lokasinya di bukit pekayangan, atau bukit argorejo, sekitar 50-70 meter dari Resosialisasi Argorejo.  Kedua di Tulungagung. Makam di Tulungagung ini masih sedikit orang yang tahu, khususnya warga Semarang sendiri. Sebab, kuburan Sunan Kuning hanya dianggap di bukit pekayangan saja yang dulu ditemukan oleh Mbah Sabirin.

Makam Sunan Kuning di Semarang
Kebesaran nama Sunan Kuning, ulama dan pejuang di Tanah Jawa yang tercoreng lokalisasi tentu wajib hukumnya untuk diluruskan. 
Komplek makam Sunan Kuning di  Jalan Sri Kuncoro 1 RT 6 RW 2 Kelurahan Kalibanteng Kulon, Kecamatan Semarang Barat, Kota Semarang, Jawa Tengah. (Foto: rappler.idntimes.com).
Meski kenyataannya, makam Sunan Kuning berada hanya berjarak 50 meter dari kompleks Resosialisasi Argorejo. 

Tepatnya berada di sebuah bukit di Jalan Sri Kuncoro 1 RT 6 RW 2 Kelurahan Kalibanteng Kulon, Kecamatan Semarang Barat, Kota Semarang, Jawa Tengah. Orang menyebut bukit mini itu sebagai Gunung Pekayangan.



Makam Sunan Kuning di Tulungagung
Sejarah Sunan Kuning di Semarang, dengan Sunan Kuning di Tulungagung ternyata ada persamaan dan perbedaan. Persamaannya, ia sama-sama Tionghoa, sama-sama dikisahkan ulama yang melawan VOC Belanda, dan bernama lain Mas Garenda, Soen An Ing.
Makam Sunan Kuning di Dusun Krajan, Desa Macanbang, Kecamatan Gondang, Kabupaten Tulungagung, Jawa Timur. (Foto: Penerbit Menara Madinah).

Dari sejarah yang dituturkan pemuka agama di Tulungagung, Zainal Abidin atau yang biasa disebut Sunan Kuning.

Lokasi makam Zainal Abidin atau yang biasa disebut Sunan Kuning, dimakamkan di Dusun Krajan, Desa Macanbang, Kecamatan Gondang, Kabupaten Tulungagung, Jawa Timur.

Selama menjalankan tugas, banyak halangan yang dihadapi. Makam Sunan Kuning memang sudah menjadi salah satu tempat yang ramai diziarahi. Terutama di malam Jumat Legi. Tak hanya dari Tulungagung dan sekitarnya, tetapi juga dari Jawa Tengah dan Jawa Barat. Maklum, Zainal Abidin konon berasal dari Jawa Tengah.

Akan tetapi, karena belum ada fokus penelitian, maka hingga kini kejelasan tentang asal usul masih masih simpang siur. Termasuk keberadaan masjid yang kini masih kokoh berdiri. Apakah benar-benar peninggalan Zainal Abidin atau Tiban. Tiban, menurut kepercayaan orang Jawa, mendadak berdiri atau terbentuk tanpa ada yang membangun.

Uniknya, dari penuturuan ulama setempat, pembangunannya tak lagi menggunakan tenaga manusia, melainkan bantuan makhluk-makhluk halus. Zainal Abidin diyakini menginjakkan kaki di Tulungagung sekitar tahun 1727 silam. Berdasar buku Sejarah dan Babat Tulungagung yang diterbitkan di oleh Pemkab Tulungagung, dia merupakan murid atau salah satu santri dari Kiai Mohammad Besari, tokoh ulama yang cukup ternama dan disegani asal Jetis, Ponorogo.

Di Ponogoro, Mohammad Besari, diberikan tanah perdikan dari Sunan Pakubuwono II dari Keraton Surakarta. ”Itu menurut buku Babat Tulungagung. Sejarah tentang Sunan Kuning sendiri sampai sekarang belum ada yang pasti, banyak cerita yang beredar. Termasuk kepercayaan orang di sekitar masjid sana,” kata Nurcholis, salah satu peneliti Sunan Kuning.

Setelah menuntut ilmu di Kota Reog, itu Sunan Kuning diberikan tugas atau amanat untuk menyebarkan agama Islam di daerah timur. Yakni, Tulungagung dan sekitarnya, termasuk Blitar dan Kediri. Makanya, beberapa pendapat juga menyebutkan, Sunan Kuning dimakamkan di kompleks pemakaman Wali di Setonogedong, Kota Kediri.

Ulama Tionghoa Soen An Ing ini memiliki jasa besar bagi perkembangan Islam di Nusantara. Kita harus menjaga makamnya, dan meluruskan stigma buruk yang kini menimpanya. (tb44/Hi).


Bagikan :

Tambahkan Komentar