Infobiografi.com
Oleh M Yudhie Haryono

Semalam, aku bermimpi bertemu Hatta. Kutanyakan hal penting, "mengapa makin tua negara kita makin banyak korupsi (KKN) di mana-mana? Beliau menjawab, "karena kita semua dalam bernegara melupakan dan mengkhianati dasarnya yaitu Pancasila."

Ya. Kita produsen pengkhianat Pancasila. Padahal, ciri utama negara pancasila itu anti korupsi, anti kolusi dan anti nepotisme. Dengan demikian, berpancasila itu is not a status symbol or level in expertise, but it is mentality, is a spirit, is a way of life, is a wisdom, so get it, is just the matter of time if you have ready for all requirements.

Karena itu, setidaknya mereka yang berpancasila dan berindonesia menjalankan lima wawasan dalam hidupnya. Pertama, wawasan ketuhanan. Satu wawasan yang sering disempitkan, padahal maha luas. Saking luasnya bahkan air laut yang dijadikan tinta tak akan cukup untuk menuliskannya. Wawasan yang sering ditaruh di sudut-sudut comberan karena butuh mental atlantik untuk menerapkannya.

Ketuhanan yang inklusif, membebaskan, memajukan, memuliakan keadilan dan persaudaraan adalah wawasan purba yang harus dikurikulumkan kembali saat kita lupa dan berkubang dosa. Inilah wawasan ketuhanan yang lapang dan toleran serta memberi semangat kegotong-royongan dalam seluruh ultima berwarga, bernegara, berbangsa, dan bersemesta.

Warga dan bangsa ini sudah lama melepaskan diri dari sumber energi yang lebih besar: mengkhianati ketuhanannya, membunuh nuraninya. Seringkali kita cenderung menjual murah, memanipulasi dan memaksa sesama untuk tunduk dan patuh. Ketika berhasil menguasai orang lain dengan cara tersebut, kita merasa lebih kuat, hebat, bangga dan serakah. Lahirlah perang bernergi fundamentalis yang sangat serakah. Padahal, keserakahan adalah penyebab dari semua konflik antarmanusia; antar negara; antar bangsa dan antar peradaban.

Yang kedua wawasan keberadaban. Tentu saja ini satu sinergitas atas sember-sumber purba, kini dan masa depan serta olah rasa, raga, cipta, karsa dan karya. Wawasan ini merupakan kemajuan kebersatuan dan gotong-royong lahir batin berdimensi pada sikap sopan santun, budi bahasa, dan kebudayaan kita semua.

Kebangkitan wawasan ini mewakili penciptaan sebuah pandangan dunia baru dan lebih lengkap karena meruang mewaktu dalam semesta Indonesia yang raya. Peristiwa-peristiwa keburukan dan kerakusan akan berhenti karena kehadiran wawasan keberadaban yang multidimensi.

Wawasan keberadaban membukakan indra kita kepada tujuan hidup manusia yang sesungguhnya di atas muka bumi ini serta sifat nyata dari alam semesta plus kondisi riil negara yang kita pijak bersama. Keberadaban membentuk peradaban luhur yang berisi identitas terluas dari seluruh hasil budidaya manusia serta mencakup seluruh aspek kehidupan jeniusnya yang berdentum.

Yang ketiga wawasan kebersatuan. Bagi masyarakat plural, ini kunci. Sebuah negara tidak akan berwibawa jika tidak berisi warga jenius penemu solusi masa depan. Dan, sebuah kejeniusan tidak akan menggebrak dunia jika tidak melakukan revolusi. Tetapi, revolusi hanya akan berhasil jika telah menemukan kata manteranya: bersatu kita tegus; bercerai runtuh.

Dalam kebersatuan, hal-hal ketololan tidak dibicarakan. Sebab ketololan identik dengan kejelekan. Dalam kebersatuan, perihal kepandaian selalu menjadi agenda pembicaraan. Sebab kepandaian identik dengan perbaikan.

Tetapi, ultima kebersatuan itu ada pada manusia-manusia jenius. Sebab kejeniusan identik dengan pencarian terobosan. Kejeniusan melewati peristiwa pendek dan ecek-ecek dengan menghadirkan gagasan-gagasan bernas. Dalam wawasan kebersatuan berlakulah hukum keberhasilan, "berbahagialah  mereka yang menjadi merdeka dengan pikiran bersama, bersuka-ria dengan sekolah bersama, dan bermartabatif dengan negara keadilan serta berkurikulum dalam bangsa berkesejahteraan bersama."

Yang keempat wawasan kerakyatan. Ini tentu merupakan asas kebangkitan intelektual baru yang sedang berlangsung dalam budaya umat manusia sebagai alternatif dari feodalisme, wahyuisme, koncoisme, sukuisme, ras dan darah biru (klan).

Artinya, kekuasaan publik harus disemai, dibuat, digerakkan dan ditradisikan oleh, dari dan untuk kita semua. Tidak pandang bulu. Tentu ini merupakan kesadaran profan yang dibawa oleh gerakan massa yang kritis dan terdiri dari individu-individu yang menjejaki kelangsungan intelektual, kesehatan spiritual dan menaburkan sosial-kapital: yakni sebuah praktik perjalanan yang di dalamnya mereka telah dituntun oleh peristiwa-peristiwa jenius dan ikhlas. Merekalah rakyat yang tertranformasi menjadi warga-bangsa dan berujung menjadi warga-negara; bercitarasa warga-dunia.

Proses integral ini dipilih karena persatuan menjadi ontologi; hikmah menjadi epistemologi; kebijaksanaan menjadi aksiologi. Kerakyatan dalam keluasan yang selalu diperbaharui demi rakyat yang merdeka, mandiri, berdaulat, modern dan martabatif menjadi kinerja resiprokal yang hangat, menyenangkan dan berdimensi bahagia bersama.

Yang kelima wawasan keadilan. Inilah wawasan utama yang menjadi ultima. Ke dalam dan ke luar. Adil yang sosial. Keadilan secara bahasa adalah seimbang, lurus, konsisten. Antonimnya adalah zalim (berbuat jahat).

Secara hukum, keadilan adalah ungkapan akan konsistensi atas dasar kebenaran dengan menjauhi setiap tindakan yang dilarang oleh undang-undang. Dus, adil artinya sama berat; tidak berat sebelah; netral atau; keputusan yang berpihak kepada kebenaran; berpegang pada kebenaran; tidak sewenang-wenang; efesien, cepat, tepat, benar dan pener.

Adil merupakan ungkapan dalam perkara pertengahan antara dua sisi (pelit dan boros). Siapa yang adil akan menjauhi segala bentuk dosa besar, tidak melakukan dosa kecil secara terus menerus dan selalu berfikir positif serta cenderung kepada kebaikan plus keselarasan dengan kemutlakan realisasi bagi seluruh tumpah darah, manusia dan alam indonesia.

Keadilanlah yang akan memastikan bertahan atau runtuhnya sebuah peradaban dan negara. Sebab, dalam keadilan dipastikan tak ada kemiskinan dan ketimpangan. Wawasan keadilan dengan demikian mengubur keculasan bin oligarki, pencurian bin konglomerasi, kejahiliyahan bin begundalisme.

Inilah wawasan yang kini diabsenkan walau ada partai bernama keadilan dan ada pasalnya dalam pancasila.

Kelima wawasan ini, menjadi lima yang satu dan satu yang lima. Dus, tidak ada yang lebih inti dari salah satunya. Sebab semua inti dan subtansi. Jika kita merealitaskannya, peradaban atlantik dan semangat nusantara plus indonesia raya akan menjadi mercusuar dunia.(*)
Bagikan :

Tambahkan Komentar