Ilustrasi Tempo.co
Oleh Ahmad Fauzi

Dengan menggunakan perspektif Cardoso, keberlangsungan dan kekuatan hidup negara ada dalam dua wilayah besar, yaitu rezim dan pakta dominasi.

Telah terjadi pergantian rezim politik mulai dari Era Soekarno, Orde Baru, kemudian Transisi Reformasi hingga sekarang ini kita ada dalam sebuah rezim politik yang dianggap demokratis tapi tak jelas dan angin-anginan. Sistem politik memang berubah silih berganti, tetapi struktur dasar masyarakatnya tidak banyak berubah karena kekuatan yang menopang dan menghidupi negara masihlah sama dan tidak berubah semenjak era Orde Lama, Orde Baru serta Reformasi hingga kini.

Hal ini mengimplikasikan, perubahan hanya banyak menyentuh kelompok atau kelas tertentu sehingga yang terjadi adalah Sirkulasi Elit dan perubahan yang seharusnya mampu mengangkat struktur dasar masyarakat selalu terkurung dalam Hukum Besi Oligarki, di mana yang menikmatinya selalu sama, yaitu singa yang kuat dan serigala yang pintar.

Singa yang kuat adalah simbol kelompok-kelompok yang memiliki kekuatan akumulasi kapital dan militer yang menjadi alat pertahanan negara. Dan serigala pintar merupakan simbol bagi para politisi yang licik, sopan dan berpendidikan atau mungkin cendekiawan. Kedua simbol ini selalu bermain dan menari meliuk-liuk mengangkangi sumber-sumber kekayaan alam dan pendapatan negara.

Sering mereka bekerja sama kadang juga berpura-pura bertarung mengatasnamakan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. Mereka adalah status-quo dalam dinamika kehidupan negara, meski telah terjadi pergantian rezim politik berkali-kali. Bahkan menurut perspektif Marxian, negara itu sendiri identik dengan mereka, dan rakyat hanyalah hantu yang bergentayangan di luar negara.

Oleh karena itu perubahan sering dimentahkan oleh kelompok status-quo yang tak menghendaki kuasa ekonomi-politiknya terenggut dari tangan mereka. Rezim politik yang selalu berubah-ubah sekedar turunan dari kekuatan yang sama, yaitu kekuatan yang menopang dan menghidupi negara dari dulu hingga kini. Sebenarnya siapakah yang paling diuntungkan dengan adanya bangunan negara ini?

Mitos Perubahan
Di Indonesia, perubahan yang mampu menjangkau struktur dasar masyarakat dan nilai-nilai yang mendasarinya masih sebatas cerita atau lebih tepatnya mitos. Kalau pun ada pemimpin visioner yang berusaha melakukannya, sangat pasti sekali ia akan dihalang-halangi dan kalau perlu dijatuhkan dari singgasana ekonomi-politik. 

Hal ini menjadikan siapa pun pemimpin visioner yang berusaha melakukan transformasi atas masyarakat dan negara, harus banyak berkompromi dengan kekuatan-kekuatan yang ada, karena kalau tidak, misinya akan berhenti di tengah jalan. Kompromi berimbas pada penyimpangan yang tidak lagi sejalan dengan visi semula, atau setidaknya perubahan akan berlangsung lamban dan tersendat. Dan yang paling parah, karena mendapatkan halangan dan tembok yang kokoh sekali, pemimpin visioner tersebut tenggelam dalam dinamika kekuatan-kekuatan yang ada. Melemah dan tak berdaya, meskipun dalam penampakannya ia seorang pemimpin tertinggi yang paling berkuasa.

Konstelasi ekonomi-politik masa kini benar-benar menunjukkan, partai-partai politik dan segala apparatusnya, lebih berkuasa dan determinan dalam menentukan masa depan masyarakat dan negara. Pemimpin visioner selalu dikelilingi dan dirongrong oleh singa yang kuat dan serigala yang pintar. Kehendak baik dan cita-cita mulia saja tidaklah cukup, tanpa mampu mengelola kekuatan-kekuatan besar yang ada secara taktis dan strategis.

Bagikan :

Tambahkan Komentar