Ilustrasi
Oleh: Nur Kholik Ridwan
Gus Dur mengatakan:
“Atau dengan kata lain, (sebagaimana) yang sering dipakai ulama, (perkataan): “al-Haqq bilâ nizhômin qod yaghlibuhu al-bâthilu bi nizhômin” (kebenaran yang tidak terorganisasi bisa dikalahkan oleh kebatilah yang terorganisasi) (Gus Dur, “Musuh dalam Selimut”, dalam buku Ilusi Negara Islam, Jakarta: WI dan MI, 2009).

Perkataan di atas, adalah kalimah hikmah yang diambil para ulama dari surat al-Baqoroh ayat 249, berbunyi: “...Berapa banyak golongan yang sedikit dapat mengalahkan golongan yang besar dengan izin Allah. Dan Allah beserta orang-orang yang sabar." Ini adalah penggalan terakhir dari ayat 49, yang berbicara tentang Tholut dan Jalut, yang dalam kisah tokoh ini, pada akhirnya pasukan Tholut dapat mengalahkan pasukan Jalut yang banyak jumlahnya.

Inti kekuatan yang dikisahkan Al-Qur’an itu mengandaikan: pengaturan strategi, disiplin yang dilakukan pasukan Thalut dan kesabaran; keperwiraan, yang tidak tergoda oleh bujuk rayu kenikmatan-dunia-uang yang ditawarkan musuh; dan adanya kepemimpinan yang dibarengi dengan kerja kolektif.

Perkataan tersebut yang biasa dikutip tidak dengan kata “qod”. Bila dengan kata qod di depan fiil mudhori’ bermakna “kadang-kadang”, dan kutipan di atas menggunakan kata “qod”. Tetapi seringkali kutipan itu dikutip dengan tanpa qod, sehingga bermakna “kebenaran tanpa perjuangan system/manajemen/peraturanakan akan bisa dikalahkan kebatilan yang diroganisir dengan sistem/manajemen/peraturan.”

Saya sendiri lebih sering juga menggunakan dengan kata qod, karena saya setuju dengan “kadang-kadang saja”, tidak selamanya. Karena saya berpegang pada ayat, waqul jâ’al haqq wazahaqol bâthil innal bâthila kâna zahûqô. Pada faktanya juga, banyak cerita dimana pertempuran dimenangkan oleh mereka, meski dengan jumlah yang kalah hebat dan senjata, tetapi ada factor X dan kelihaian strategi. Di antara faktor X bisa saja, misalnya musuh dilanda wabah penyakit; atau diguncang bencana alam sebelum sampai pada tujuan, kalau Alloh menghendaki. Akan tetapi, inti pentingnya strategi, disipilin, bobot senjata (dalam segala pengertiannya, termasuk senjata diplomasi), dan kepemimpinan dan kerja kolektif berkesinambungan sepenuhnya adalah penting.

Gus Dur mengutip kata-kata hikmah di atas, dalam konteks mengajak umat Islam yang memperjuangkanm visi rahmatan lil `alamin dengan wasathiyahnya, haruslah dikuatkan “bi nizhômin”. Khususnya kasus yang dipakai untuk melihat itu, adalah PKS di Jawa Barat yang berhasil pada Pilkada 2008, karena menurut Gus Dur salah satunya ditemukan: “Keberhasilan PKS merebut masjid NU dan para jamaahnya” (Sekadar Mendahului, hlm. 164).

Dan secara umum Gus Dur mengutip kata-kata hikmah itu, di dalam konteks melihat gerakan Islam garis keras, dan istilah ini dipakai oleh Gus Dur. Gus Dur melihat bahwa kelompok Islam garis keras ini sering mengkritik: “Bahwa orang asing, yayasan-yayasan, serta pemerintah dan Barat menggunakan uang mereka untuk menghancurkan Islam di Indonesia, dan menuding ada konspirasi Zionis/Nashrani di belakangnya.”

Akan tetapi pada kenyataannya, menurut Gus Dur, kelompok-kelompok itu: “Sementara para agen garis keras berteriak bahwa orang asing datang ke Indonesia membawa uang yang banyak untuk menghancurkan Islam…tentu itu benar, karena orang asing itu adalah aktivis gerakan transnasional dari Timur Tengah yang menggunakan petrodollar dalam jumlah yang fantastis untuk melakukan Wahabisasi, merusak Islam Indoensia yang spiritilual, toleran, dan santun dan mengubah Indonesia seusai dengan ilusi mereka tentang Negara Islam, yang di Timur Tengah pun tidak ada” (Ibid., hlm. 165-166).

Pada sisi lain, perkataan hikmah di atas juga merupakan kritik kepada gerakan-gerakan Islam yang mengusung kebenaran Islam, dengan semangat wasathiyah-nya, tawazun dan tasamuh, serta ishlahiyah-nya, untuk tidak main-main dengan “bi nizhomin” ini. Tentu dengan tetap tidak meninggalkan untuk melakukan istighotsah kepada al-Haqq yang Maha Memberi kemaslhatana, kemakmuran, dan kedamaian Indonesia.

Sementara di Indonesia, gerakan-gerakan semacam itu bila tidak cepat dan berani meninjau ulang cara-cara mereka dalam melakukan ilshlahiyah “bi nizhomin” tadi melalui kerja-kerja kolektif, jamaah mereka, lambat laun tentu akan terbius oleh simbol-simbol yang ditawarkan para Islamis yang menghendaki Islam politik. Terutama melalui kerja-kerja kebudayaan dan pendidikan dari Islamis, yang tidak mengambil jalan kekerasan di antara mereka.
Salah satu yang terpenting dalam soal ini adalah pendidikan di kalangan anak-anak muda. Kita melihat betapa di kalangan kelas menengah di kota-kota, para Islamis mengambil peran dengan mengambil simbol-simbol Islam, dan mendirikan sekolah-sekolah Islam terpadu dengan nama-nama tokoh Islam atau label-label dari ayat Al-Qur’an.

Kelas menengah yang menginginkan anaknya tidak terlalu larut dalam sekolah negri yang padat dan menjemukan itu, banyak yang terbius oleh simbol Islam, seiring dengan perubahan di dalam diri mereka sendiri. Mereka, menemukan sekolah-sekolah sebagai tempat tujuan anak-anak mereka, jarang menemukan dikelola oleh mereka yang berjuang untuk pengembangan Islam yang menekankan pada aspek wasathiyah, tawazun, ishlahiyah, hubbul wathon, dan pada saat yang sama berbasis IT, sains, dan keunggulan-keunggulan lainnya. Dalam dunia pendidikan untuk anak-anak kelas menengah ini, tentu, ini hanya contoh, satu segi saja.

Meskipun sudah ada sebagian dari kelompok yang sadar di kalangan Muslim yang mengembangkan wasathiyah Islam, tawazun, tasamuh, Islahiyah, dan nila-nilai sejenisnya, atau sudah ada yang mulai mengambil peran itu, tetapi sebagian mereka disibukkan oleh pertarungan maya melalui medsos; dan sebagian masih enggan menggunakan simbol-simbol Islam dalam strategi gerakannya, untuk menancapkan Islam rahmatan lil`alamain.

Bahkan sebagian hanya sibuk ke sana kemari menjadi gerombolan dari diskusi ke diskusi, sambil gelisah terus menerus, tetapi merasa sembuh setelah minum kopi; sebagian yang lain hanya memproduksi nyinyir, meskipun gelarnya tinggi-tinggi dan sekolahnya sudah tinggi-tinggi; dan sebagian lain menempatkan cita-cita tertingginya sebagi mentri dan setelah itu, organisasi-organisasi alumni digunakan untuk kerja-kerja ke arah semacam itu. Sebagian yang lain, menjadi pelancong dari seminar ke seminar di luar negeri, lalu sudah menganggap diri gagah. Sebagian yang lain, sudah merasa besar, dengan memakai jubah berorganisasi dengan kebesaran nama Gus Dur. Sebagian lain sudah berbangga dengan berhasil mendirikian omah-berbeton sebagai simbol besar.

Tentu ini menunjukkan adanya potensi besar, tidaklah boleh dinafikan, tetapi juga kerugian besar, manakala tidak bertransformasi menjadi “bi nizhomin” dengan kerja-kerja kolektif, lebih-lebih dalam membuat lembaga pendidikan; klinik-klinik rumah sakit; pangkalan-pangkalan kebudayaan, dan sejenisnya, sebagai bagian dari “bi nizhomin”. Sampai-sampai Gus Dur mengingatkan kita: “Dan sebaliknya meninggalkan yang buruk dimulai dari diri sendiri. Ini yang penting” (Sekadar Mendahului, hlm. 309), bukan hanya mengarahkan penglihatan ke luar.

Alfatihah, Li ruhi Syaikhina, Kyai Alhajj, Shohibul Fadhilah, ABDURRAHMAN WAHID. Wallohu a’lam wal Musta`an.

Bagikan :

Tambahkan Komentar