Gus Dur mengatakan:
“Dalam konteks inilah, sabda Nabi Muhammad shollallohu `alaihi wasallam kepada para sahabat: “Roja’nâ min Jihâdil Asghor ilâ Jihâdil Akbar” (Kita pulang dan jihad kecil menuju jihad besar), sepulang dari perang basar menjadi sangat penting kita renungkan” (Pengantar dalam buku Ilusi Negara Islam, Jakarta: WI dan MI, 2009).

Perkataan di atas adalah hadits Nabi Muhammad, sebagaimana disebutkan oleh Imam al-Baihaqi dalam kitab az-Zuhud dari hadits sahabat Jabir, dan menyebutkan isnadnya lemah. Disebutkan juga oleh Imam al-Ghozali dalam Ihya’ Ulumiddin. Albani, salah satu imam kaum salafi-wahhabi, bersemangat membahas hadits ini dalam Silsilatul Ahâdîtsi adh-Dho`îfah wal Maudhû`ah, pada No. 2460 (juz V: 476, versi Maktabah al-Ma`arif, Riyadh, 2001).

Hadits ini matannya adalah benar, dengan merujuk pada hadits lain, seperti: “Afdholul jihad an yujahidar rojulu nafsahu wa hawâhu,” sebagaimana hadits ini disebutkan Imam Jalaluddin as-Suyuthi dalam Kitab al-Jâmi`ul Kabîr atau Jam`ul Jawâmi’, pada No. 63/3733 (Juz I: 733), dan disebutkan sebagai riwayat Ibnu Najjar dari sahabat Abu Dzar al-Ghiffari.

Hakikat keutamaan memerangi nafsu, juga disebutkan dalam ash-Shohîh al-Bukhôrî pada bab “Man Jâhada Nafsâhu fî Tho`âtillâh” (pada Kitab ar-Roqô’iq), yang dikomentari Ibnu Hajar al-Asqolani begini: “Maksudnya bab ini menjelaskan keutamaan orang yang berjihad. Arti berjihad adalah menahan nafsu dari keinginannya melakukan kesibukan selain ibadah. Dengan ini jadi terang kesesuaian judul dengan hadits yang dicantumkan di dalamnya. Ibnu Bathol menyebutkan: “Jihad seseorang melawan hawa nafsunya adalah jihad yang paling sempurna/ jihâdul mar’i nafsahu huwa al-jihâdul akmal” (Ibnu Hajar al-Asqolani, Fathul Bârî, II: 337-338).

Sedangkan al-Hafizh Zainuddin al-Munawi dalam Faidh al-Qadîr Syarhul Jâmi`ish Shoghîr, ketika mengomentari hadits No. 1247 (hadits afdolul jihâd… di atas, versi Darul Kutub al-Ilmiyyah, 2005), berkata: “…maka sesungguhnya itu adalah al-jihadul akbar, dan al-hawa adalah sebesar-besarnya musuhmu. Hawa dan nafsumu adalah sedekat-dekatnya musuh yang ada padamu, karena ia ada pada janbaika…”

Nafsu itu selalu diringi oleh hawa yang mendorong seseorang melakukan akhlak-akhlak tercela, atau membinasakan, al-muhlikat, sampai pada diri saeorang yang disebut alim sekalipun dia tidak terlepas dari godaan nafsu dan hawanya. Pasukan dari hawa nafsu adalah setan, sehingga manakala seseorang dibimbing hawa nafsunya, dia akan menjadi budaknya bisikan-bisikan setan. Sampai-sampai al-Ghozali menulis tentang tertipunya berbagai tingkatan-tingkatan manusia, dari orang biasa sampai alim sekalipun, dalam kitab al-Kasyfu wa at-Tabyîn fî Ghurûri al-Kholqi Ajma`în.

Gus Dur mengutip hadits di atas, dalam konteks menjelaskan dua jenis manusia: orang-orang yang sudah mampu menjinakkan nafsunya, sehingga bisa memberi manfaat kepada siapapun, dan mereka itu adalah peribadi-peribadi yang tenang-damai dengan an-nafsul muthmainnah; dan mereka yang dikuasai hawa nafsunya sehingga menjadi biang keresahan, dan masalah bagi siapapun, dan mereka ini adalah peribadi-peribadi yang gelisah dan membuat gelisah orang.

Gus Dur menyebutkan begini: “Pada kenyataannya pertentangan antara jiwa-jiwa yang tenang dengan jiwa-jiwa yang resah ini mewarnai sejarah semua penjuru dunia, seperti pertentangan Nabi Muhammad dengan kafir-musyrik di Hijaz. Namun suatu hal yang unik di Nusantara, sekalipun pertentangan semacam itu terjadi berulang-ulang sejak masa nenek moyang bangsa Indonesia, ajaran spiritual dan nilai-nilai luhur (dari) jiwa-jiwa yang tenang, tetap dominan di tanah air kita” (Gus Dur, Sekadar Mendahului, hlm. 132-133).

Oleh karena itu, upaya ke arah kemashlatan untuk memperkokoh kekuatan bangsa Indonesia dan masyarakat Nusantara, memerlukan kekuatan dari para insan yang memiliki jiwa-jiwa yang tenang, an-nafsul muthmainnah; apalagi terhadap mereka yang merasa meneruskan cita-cita Gus Dur; atau mendaku mencintai Gus Dur. Masuk dalam kelompok organisasi pecintnya saja, tidak cukup; tetapi harus ke medan Jihad Akbar, terus menerus berupaya untuk mencapai taraf an-nafsul muthmainnah, dengan tetap menyandarkan at-taslim kepada Sang Maha Rahmat. Wallohu a’lam.

Bagikan :

Tambahkan Komentar