Ilustrasi: Gus Dur (infonitas.com).
Oleh: Nur Kholik Ridwan
Gus Dur mengatakan begini:

“Kaum syariat/fiqh (hukum Islam) umumnya bersikap mendukung kekuasaan, mungkin atas dasar adagium yang terkenal: “Pemimpin lalim untuk 60 tahun memerintah, masih lebih baik daripada anarki sesaat” (Imâmun Fâjirun li Sittîna `Âmmân Khoirun min Faudha’i Sa`atin) (Gus Dur, Menjawab Kegelisahan Rakyat, 2007: 9).

Asal dari perkataan hikmah di atas, bersumber dari perkataan ulama yang di antaranya dikutip Ibnu Taimiyah: “Dan telah dinyatakan oleh para alim ulama, “60 tahun waktu berjalan dengan kepemimpinan penguasa yang jahat, maka itu lebih baik daripada satu malam tanpa adanya penguasa” (Ibnu Taimiyah, dari Majmu Fatawa, XXVIII: 29-291).

Gus Dur mengutip kalimat di atas dalam konteks menjelaskan strategi perjuangan umat Islam pada abad ke-18 yang terdiri dari sikap yang pro/menunjang pemerintah, dan sikap menentangnya. Di kalangan mereka yang banyak menyandarkan pada fiqh atau kaum fiqh, di antaranya menggunakan pada pandangan adagium di atas, sementara di kalangan kaum tarekat banyak menentang penguasa, dan tasawuf menjadi daya dorong menentang penguasa pada abad itu, karena kelalimannya.

Contoh yang dipakai Gus Dur adalah kasus Kyai Haji Mutamakkin, yang menurutnya tokoh ini: “Mengutamakan pemunculan paham alternatif atas kelaliman penguasa, namun tidak memberi perlawanan secara terbuka. Dengan demikian ia lebih mengutamakan sikap memberi contoh bagaimana seharusnya seorang pemimpin wajib bertindak, dan membiarkan ulama sebagai alternatif kultural di hadapan penguasa. Pendekatan itulah yang kemudian hari dikenal dengan pendekatan kultural yang memicu perlawanan rakyat, tanpa melawan sang penguasa. Pendekatan kultural ini, tidak pernah jelas-jelas menentang penguasa, tetapi juga tidak menunjang penguasa.”

Akan tetapi posisi sering sekali bertukar, karena kadangkala sebagian pemimpin tarekat, berada dekat dengan kekuasaan, seperti pada zaman Orde Baru. Gus Dur mengajukan sebuah fakta ini untuk menjadi bahan refleksi kritis, karena keduanya sama-sama berdimensi politis, artinya memiliki kepentingan sesuai orientasi kepentingan yang ingin diperjuangkan. Gus Dur mengajukan, dengan menganjurkan untuk memilih, di antara dua hal itu:
“Pendekatan kultural yang lebih didasarkan pada alternatif-alternatif yang mengutamakan kebersihan perilaku di bidang pemerintahan. Sedangkan bagi organisasi-orsganisasi politik (termasuk PKB, dll) harus diletakkan pada penciptaan sistem politik yang bersih meliputi ketiga bidang: eksekutif, legiuslatif, dan yudikatif.”

Menurut Gus Dur , “hanya dengan kombinasi kedua pendekatan kutlural dan politis itu dapat ditegakkan proses demokratisasi di negeri kita. Sebagaimana diketahui, demokratisasi hanya dapat tegak bila dapat diupayakan berlakunya kedaulatan hukum, dan adanya perlakukan yang sama bagi semua warga negara di hadapan UU.” 

Dalam hal ini, jelas pendekatan kultural menjadi relevan, di dalam kerangka penciptaan nilai-nilai, kultur, dan etos di masyarakat, tetapi pada saat yang sama juga harus berupaya membenahi sistem praksisnya melalui partai politik dalam kerangka membenahi keadaan yang ada.

Jalan demikian adalah jalan gradual, jalan islahiyah di dalam nilai-nilai Sunni. Dan, Gus Dur karenanya, memilih untuk tidak menyetujui “faudho’i sa`atin”, anarki meski satu jam atau satu hari untuk penciptaan masyarakat yang adil dan bermartabat. Hal ini ditunjukkan dengan, kesediaan beliau untuk meninggalkan istana meskipun pelengseran beliau disebutnya sebagai illegal dan tidak berpijak pada moral-moral keadaban.

Gus Dur tidak memilih menggerakn pengikutnya untuk mempertahankan kekuasaan, ketika hal itu dilihat sudah pada taraf bisa menghancurkan keadaan masyarakat. Mengalah, tatkala sanggup untuk mempertahankan dengan otot dan okol, tapi bisa mengarah penghancuran masyarakat melalui kekerasan, menjadi pilihan yang terbaik menurut Gus Dur. Hal ini, menunjukkan Gus Dur adalah seorang Sunni par excellence, yang memilih aspek kemashlahatan masyarakat daripada mempertahankan kekuasaan, bila keduanya dihadapkan pada keharusan untuk memilih.

Pada sisi lain, ketika dihadapkan pada pilihan penuasa yang zhalim dan melakukan kekejian-kekejian opresif, Gus Dur menunjukkan dirinya sebagai seorang pemimpin Sunni yang tidak kagetan, dan tidak mengambil jarak secara frontal. Beliau bisa berada di mana saja, dengan berpijak prinsip tertentu, dan bisa bekerja sama dengan siapapun dan kelompok manapun yang punya konsen sama untuk perbaikan. Secara lahir kadang masuk ke dalam kelompok-kelompok pro kekuasaan, seperti dulu dicontohkannya ketikla beliau mau diangkat sebagai utusan golongan zaman Orde Baru, jadi manggala BP7; dan pada saat yang sama juga mengerakkan oposisi demokratik untuk mengoreksi pemerintah, termasuk dengan pengerahan massa, dengan prinsip tidak digunakan untuk mewujudkan kekerasan.

Dari kalimat adagium di atas juga memberi pengertian pentingnya memperkuat gerakan kultural, penciptaan etos dan tradisi bermasyarakat yang demokratis dengan didasarkan pada nilai-nilai keindonesian, melalui berbagai upaya simultan semua lini, baik di kalangan partai politik, lembaga negara ataupun di tengah-tengah masyarakat, semua harus dilakukan; tanpa terjebak pada segmentasi kelompok sempit. Karenanya, Gus Dur kelihatan, pada satu sisi seperti seorang multikulturalis sejati, tetapi pada saat yang sama juga bertindak seperti seorang Marxis; dan pada saat yang sama bertindak sebagai ulama yang menggunakan adagium-adagium keagamaan.

Dengan demikian, pemimpin yang lalim itu mengharuskan adanya oposisi. Dalam bersikap oposan, pijakan yang digunakan dalam gerak perjuangan Gus Dur, mengimplementasikan nilai-nilai keadilan-kemashlahatan melalui jalan ishlahiyah, mendasari sikap dan tindakannya. Pada saat yang sama, sebisa mungkin melakukan perbaikan dalam semua kesmpatan dan potensi yang ada, secara gradual, selangkah demi selangkah, bukan dengan revolusi-gerakan bersenjata, seperti tercermin dalam tulisan-tulisannya yang lain dan langkah-langkahnya; dan pada sisi yang lain bisa bersanding dengan pemerintahan yang zhalim sekalipun, di dalam kerangka memperbaiki dari dalam, dan tidak larut di dalamnya.

Hal ini tentu tidak memuaskan semua orang, terutama mereka yang mendasarkan pada asumsi-asumsi teori sosial yang menghendaki adanya perubahan revolusioner dan drastis; dan pada saat yang sama, juga tidak disukai pemerintah atau kelompok status quo karena meskipun berjalan bersama, tetap menggelorakan perbaikan dan perubahan melalui kedekatan itu.

Bagi gerakan-gerakan sipil yang bergerak di ranah penguatan masyarakat sipil dan memperkuat etos masyarakat, hal ini mengandaikan diperlukannya sosok-sosok yang berani melakukan tilikan-tilikan kritis ke dalam, sebagai kritik-kritik oposisi shaleh. Tujuannya, agar gerak dan perjuangan memperkuat basis masyarakat, menjadi gerak yang dinamis, dan selalu ada regenerasi terus menerus, tanpa mengubah fondasinya. Regenerasi terus menerus adalah ancaman dalam gerakan sipil, dan tidak sedikit yang sulit dan enggan melakukan itu. Saya melihatnya suatu penyakit akut, yang dipelahara, oleh mereka yang menamakan diri atau berpura-pura menjadi intelektual.

Untuk bisa bertahan dalam memainkan kerja-kerja oposisi shaleh seperti itu, di dalam NU, gerakan masyarakat, dan pemerintahan, Gus Dur mendidik agar seseorang memiliki daya tahan dan daya juang yang tinggi, dengan berpijak pada akhlak yang baik. Bagi seorang Sunni-Nahdliyin, sebagaimana Gus Dur bekerja untuk dan dengan pola yang demikian, merawat diri dengan keajekan berdzikir dan memohon pertolongan Alloh, adalah mutlak untuk memperkokoh diri, agar tidak cepat limbung. Juga agar selalu memperoleh pertolongan dan bimbingan-Nya.

Maka, jelaslah, “Imâmun fajirun” dan “faudho’ sa`atin”, itu ada dalam semua level, tidak hanya di dalam kerangka ganti presiden dan pemerintahan, tetapi juga harus dimulai dari dalam gerakan sipil itu sendiri Wallohu a’lam.

Bagikan :

Tambahkan Komentar