Oleh: Nur Kholik Ridwan

Dalam mengenal al-Marotib al-`Ubudiyah (level-level penghambaan kepada Alloh), pada bagian mengenal nafsu, Syaikh Abdul Qodir al-Jilani dalam Risalatun fil Asma al-Azimah, menyebut yang pertama adalah Nafsu Ammaroh, yang dzikir untuk meredam gejolaknya adalah dengan menggunakan dzikir tahlil. Ketika dzikir ini terus dilazimkan, waridnya berupa syariat, yang untuk syariat ini butuh mengerti dan memerlukan ilmu, sehingga memerlukan belajar kembali halal haram, kembali meneliti bab sholat yang pernah bolong-bolong dan ditambal kembali, dengan nawafil, berdisiplin nderes Al-Qur’an, menghafal surat-surat yang pernah dilupakan, meneliti diri putus tidaknya silaturahmi, bertabaruk kepada para alim, memiliki cara tidur, menghadapi setan dari empat arah dengan beragam melalui taqwa, dan lain-lain.

Dengan disiplin syariat dan dzikir-dzikir, Nafsu Ammaroh tidak mati (hanya tidak segarang sebelumnya), meski dia sudah memperoleh petunjuk melalui warid syariat yang kemudian dijalankan oleh orang yang mengalami itu. Maka segera orang seperti ini harus memiliki dzikir yang berlipat-lipat, utamanya sholawat dan istighfar, dan senjata hauqolah, sebab Ammaroh hidup sepanjang waktu, kecuali hanya pada waktu tidur, manakala dia bisa tidur. Penggabungan antara disiplin syariat, seperti sholat, wudhu, amal sedekah, dan sejenisnya, dengan dzikir, dan mengiba kepada Alloh, dan berdoa di sisi makam auliya untuk memperoleh keberkahannya sehingga Alloh segera mengatasi masalah yang sedang dihadapinya, akan mampu menjadi bekal perjalanan menghadapi Ammaroh.

Disiplin syariat dan wirid, dalam situasi seperti ini tidak boleh berhenti. Maka perasaan orang itu, mulai tumbuh ingin mengalahkan kalam-kalam dan setan itu, maka dia akhirnya dihinggapi perasaan dzikir-dzikir ini bisa mengalahkan kalam-kalam itu, dan karenanya mulai sedikit tergerus kepercayaannya bahwa Allohlah sebenarnya yang menjadikan itu, dzikir hanya alat. Karena perasaan itulah dia terus mencari berbagai dzikir, dan setelah dijalani semuanya beberapa tahun dalam keadaan seperti itu, tidak ada perkembangan kecuali setan-setan itu hanya menjauh sedikit.

Mereka yang tidak ikut tarekat, tidak akan memperoleh dzikir tahlil sebagaimana dalam bimbingan tarekat, kecuali mendapatkan guru yang mengijazahi dzikir tahlil. Padahal dalam keadaan seperti itu, dalam terapi Syaikh Abdul Qodir, dzikirnya adalah kalimat tahlil, jahr dan diulang-ulang, sampai mencapai 100.000 x, dan begitu diulang terus. Saya mencoba ini, setelah menemukan dziklir tahlil dari tarekat Syathoriyah, dan diulang ketika selesai 70.000 x; baru kemudian menyelesaikan dzikir tahlil melalui bimbingan dalam tarekat Qodiriyah-Naqsyabandiyah dan Syathoriyah. Bagi yang sejak awal sudah memiliki dzikir tahlil dalam tarekat, tentu tidak akan bingung lagi, karena dia tinggal melanjutkan dzikir tahlilnya itu, dan itu keutamaan mengikuti tarekat, dan mengamalkan wirid.

Ketika Ammaroh dapat dikalahkan meski tidak mati, dan kemudian beralih ke perkembangan kesadaran nafsu yang lebih meningkat, Lawwamah. Agar tidak turun kepada Ammaroh atau agar Ammaroh tidak muncul kembali dengan kalam-kalamnya yang bertubi-tubi, maka dzikir yang sebelumnya tetaplah didzikirkan terus, yaitu apa saja yang sudah didzikirkan, baik sholawat atau istighfar, atau yang lain, termasuk dzikir tahlil.

Mereka yang tidak memahami, bahwa hal ini adalah perkembangan Nafsu Ammaroh yang harus dikalahkan, akan cepat mengeluh, dan banyak menangis, teramat bersedih, ke mana-mana air matanya meleleh, sampai dikuatkan kembali oleh Warid Malaki ataupun Warid Ilahi berupa syariat dan istiqomahnya, dan diingatkan terus. Sedangkan mereka yanga memahami bahwa ini perkembangan nafsu, akan mencari cara, mencari penjelasan dari para alim. Manakala para alim hanya diam, dan tidak berkata apa-apa, maka orang itu harus mutholaah mencari dari kita-kitab tasawuf, agar dia bisa faham, dan itu adalah berhubungan dengan perkembangan nafsu dalam perjalanan batin.

Karakter nafsu lawwamah, dalam kalam-kalamnya, adalah menyesali dosa-dosa yang pernah dilakukan, menyesal dengan ghoflah-ghoflah, menyesal dengan al-farothot. Nafs menjadi patuh dengan disiplin dzikir level Ammaroh yang terus menerus, tetapi pengawasan harus terus menerus dilakukan terhadap nafs. Hanya saja, tidak perlu terus menerus masuk ke dalam rumah batin, hati. Cukup diawasi dengan, masuk mengawasi hati, keluar berinteraski dengan Alam Mulk, alam dunia, dan begitu seterusnya. Maka nafs itu ketika patuh, kemudian dia akan menyesal dengan ungkapan-ungkapannya, tetapi ketika pengawasan alpa, atau tidak dilakukan dia merintah kembali, lalu ketika diawasi dan dengan disiplin dzikir dia menyesal lagi.

Nafsu Lawwamah, akan mengungkapkan kemarahannya manakala orang yang mengalami ini justru melakukan ghoflah (perbuatan yang melupakan Alloh) dan melakukan farothot (perbuatan yang sia-sia), tetapi sekaligus juga akan marah kalau terus menerus dzikir tanpa henti, yaitu ketika di mana saja dia berdzikir, dan menampakkan kejengkelannya ketika orang seperti ini melanjutkan berdisiplin syariat yang ketat, dan berdzikir tarekat. Dia sangat marah dengan dzikir-dzikir tarekat, bahkan dengan kata-kata kotor, agar orang itu keluar dari tarekat.

Penyesalan ini membawa nafs, ketika diajak berdzikir maka dia mengatakan: “Ampun ya Alloh, ampun ya Alloh…” Ketika dajak dzikir “Allah-Alloh Alloh” melalui dzikir batin, satu dua kali dia juga mengucap Alloh Alloh Alloh, tetapi setelah itu nafsu ini membandel dan tidak mau. Maka, ketika pengawasan dikendorkan, atau sang pengawas nafsu tidak disiplin dan bertindak ghoflah, maka nafsu Lawwamah ini memerintah lagi, dan begitu seterusnya. Tahap nafsu seperti ini, yaitu kadang menyesal, lalu memerintah, menyesal kembali, dan memerintah lagi, perkembangannya cukup lama, seiring dengan disiplin ketaqwaan dan disiplin dzikir yang dilakukan.

Sebagaimana Amamaroh yang hanya didengar oleh mereka yang masuk Alam Syahadah dengan kalam-kalam perintah yang menakutkan dan menggelegar, maka Nafs Lawwamah tak pernah berhenti dalam berkalam detik perdetik, kecuali dalam keadaan seseorang itu tidur, maka kita tidak merasakan, tetapi setelah bangun dia kita rasakan kembali melalui kalam-kalam Lawwamah-nya.

Lawwamah akan terus menguji niat dari orang yang mengalami ini: apa sebenarnya yang engkau cari, karena Lawwamah sadar bahwa dia sedang dalam perjalanan batin, dan telah memperoleh hidayah melalui warid berupa disiplin bersyariat. Ketika orang seperti ini tergoda, maka Lawwamah akan menghantarkannya ke pasukan hawa, dan diserahkan pada bantaian kalam-kalam setan. Akan tetapi ketika dia tegas, maka Lawwamah kadang ingat akan hidayah Alloh ini, dia menangis, merasa takut, lalu menyesal; tetapi kadang juga marah kalau terus menerus diajak melakukam amal-amal taat.

Dalam keadaan itu, Lawwamah tetap meminta keperluan-keperluan jasmani dan yang membuat nyaman, kelezatan, agar dipenuhi. Orang yang mengalami ini harus sadar bahwa seperlunya saja kebutuhan itu harus dipenuhi, menunaikan hak badani. Alloh terus membolak-balik orang itu melalui Lawwamah agar dia kuat, dan tahan banting menghadapi perjalanan, menguatkan niat, dan sabar dalam berdisiplin syariat dan berdzikir.

Al-Qur’an menyebut Nafsu Lawwamah itu dalam surat al-Qiyamah ayat 2, dan Syaikh Abdul Qodir menyebutkan soal Lawwamah itu begini (V: 317):

“Demikianlah, tidak lagi memerlukan sumpah dengan jelasnya (adanya) Nafsu Lawwamah di dalam alam jadian dan alam yang mengalami kerusakan, karena setiap nafs dari nafs-nafs yang ada, mengetahui bahwa orang yang mengerti (soal itu), (melihat) tidak ada kecuali bahwa dia itu adalah jalan yang bathil, kusut, rendah, dan mengabaikan (juga wala madaro laha fihi), dan mencela dirinya selamanya atas itu. Terkecuali, bahwa Lawwamah itu tidak menyesal kepada Sulthonul Wahdah, dan tidak mempercayai atas kemisterian dan kekuasaan-Nya atas semua yang tampak dan yang bathin, yang ghoib dan yang disaksikan, sampai dia menjadi mencela (dirinya), (lalu bergerak menjadi) muhtmainnatan, rodiyah, dan rodiyatuhu mardhiyatan, wa mardhiyatuhu faqirotan, wa faqirotuhu faniyatan, wa faniyatuhu baqiyatan, dan ridha di belakang itu marma wa mauntaha. Kami menemukan melalui Kelembutan-Mu yang lembut, wahai Dzat yang melembutkan berbagai kelembuan.”

Jadi Nafsu Lawwamah itu, menyesali atas kerusakan-kerusakan dan akhlak yang jelek, yang sudah dan pernah dilakukan, mencela dirinya, karena sudah mendapat sinar syariat dan dzikir. Akan tetapi nafsu sendiri itu tidak menyesal kepada Sulonul Wahdah, tidak percaya kepada yang disaksikan dan yang tidak disaksikan melalui kesaksian hati, yang zhohir dan batin, sampai dia bergerak menjadi Lawwamah (lalu menjadi mulhimah), lalu Muthmainnah dan seterusnya.

Karenanya, Lawwamah juga masih terus mengganggu dengan kalam-kalamnya. Ketika orang yang mengalami ini, menanyakan, kenapa engkau terus menggangguku. Lawwamah pun menjawab, “aku juga hanya alat, aku tidak berkuasa.” Maka orang yang mengalami itupun sadar bahwa nafs itu juga alatnya Alloh, agar perjalanan di alam batin terus dan bisa sampai ke yang Dituju, melalui pembersihan nafs terus menerus; dan sadar bahwa Alloh menyelubungi dirinya, di antaranya melalaui hijab nafs-nafs dengan hawanya. Bagi yang ingin mengenal-Nya, maka sudah tentu dia harus mengenal nafsnya, karakter dan perjalanannya, melalui pintu nafs itu. Kemarahan Ammaroh dan celaan Lawwamah, adalah cara Alloh mengingatkan dan memberi pelajaran, agar orang yang demikian tidaklah lagi ghoflah, dan mencari terus sampai mengenal-Nya, dengan merontokkan keakuannya.

Apalagi kalau sudah berjanji mengikuti Kanjeng Nabi Muhammad, maka janji itu, mengingatkan Nafsu untuk terus ingat pada janji itu. Dan, dalam tarekat Qodiriyah-Naqsyabandiyah-Syathariyah, formula ini diulang melalui pengulangan membaca syahadat sebelum berdzikir, minimal 3 kali; dan lebih banyak adalah lebih bagus.

Meski begitu, pembicaraan dengan Nafsu Lawamah dan meladeninya terus menerus, merupakan tipuan halus, yang akan melupakan dzikir seseorang. Ternyata jawaban-jawaba nafs yang diajak biacara, meski selintas terlihat benar, adalah agar orang itu menghentikan dzikir dan tidak meneruskan dzikir. Ketika seseorang berdzikir, semampu yang didapat dari tahap pertama menentang Nafsu Ammaroh, maka dzikir-dzikir ini menyebabkan Nafsu Lawwamah tetap berkalam tanpa henti, meski dengan kalam yang semakin kecil, dan karenanya tetap mengganggu ketenangan.

Manakala yang mengalami ini, tidak tahu kalau ini Nafsu Lawwamah, maka nafsu akan membelok-belokkannya, karena dia menuntut dimengerti, bahwa dia itu adalah Lawwamah, yang berkembang dari Ammaroh yang telah memperoleh hidayah melalui warid syariat dan dzikir-daikir; dan tidak akan sanggup mengenal Alloh kalau tidak dibersihkan terus. Ketika orang berdzikir mengalami ini, Lawwamah akan mempertanyakan dzikir-dzikir itu melalui kalamnya, dzikir ini dari mana, siapa gurunya. Kalau sudah ditemukan gurunya, dia berhenti bertanya. Tetapi muncul lagi dengan pasal lain, mencari cara mengganggu dzikirnya agar copot, dengan kalam yang lain.

Ketika berdzikir tanpa guru, tapi mengambil dari arahan Kanjeng Nabi Muhammad melalui hadits, juga dipertanyakan, dzikir ini dari mana. Kalau orang yang mengalami ini menjawab dari Nabi Muhammad, maka kalam Lawwamah berhenti, tetapi kemudian dia muncul lagi mencari cara agar orang itu tidak berdzikir. Sementara, pada diri orang yang mengalami ini mulai merasakan, kenapa dengan berbagai dzikir, kalam-kalam ini tidak bisa mati, bahkan ketika dengan sholawat sekalipun. Peningkatan jumlah sholawat, memang menghantarkan ia memperoleh warid, tetapi setelah warid pergi, Lawwamah datang lagi, bak air yang bergelombang, lalu setan membumbui dengan pengelabuan, untuk meniadakan warid-warid itu. Jadilah yang mengalami pengalaman seperti ini, bila tidak mengerti bahwa talbis dan pengelabuan setan, juga ada penolakan Lawwamah terus bahkan ketika sudah memperoleh warid Ilahi, warid Malaki pun mengalami kebingungan.

Dengan begitu, dalam menghadapi Lawwamah, orang yang mengalami ini harus memiliki sabar, lalu menjadi shobbar, menjadi sangat sabar, dan mujahadah terus menerus. Warid yang diperoleh dari menentang Nafsu Lawwwamah menurut Syaikh Abdul Qodir adalah warid-warid berupa tarekat untuk menata hati, seperti dikatakan dalam kitab Risalatun fil Asma al-Azhimah.

Syaikh Abdul Qodir menyebutkan bahwa, dalam tahapan Lawwamah ini mengkhususkan pada penyebutan warid-warid tarekat, bukan yang lain, untuk berhasil mengalahkan gelegar dan tipuan-tipuan Nafsu Lawwamah. Dzikir tarekat yang dikhususkan untuk menentang Lawwamah adalah Ismulloh, atau dzikir Alloh Alloh Alloh. Sementara laku tarekat, dia harus mulai meniti kembali soal taubatnya, menata kembali niat dalam mujahadah, sabar menjadi shobbar, akhlah-akhlak batin, dan seterusnya. Warid tarekat itu mengehendaki orang yang mengalami ini menjalani hidup sebagai seorang ahli tarekat, yang mengawasi terus gerak hati, menata hati, menata krentek, dengan disiplin batin, bukan hanya dzikir lahir, sebagaimana dzikir tahlil.

Meskipun orang yang mengalami ini sudah memiliki disiplin syariat dan beberapa dzikir yang diperoleh dari warid syariat, bahkan juga dzikir tahlil, tetapi ternyata dzikir-dzikir dan disiplin itu belum mencukupi, lebih-lebih untuk berjalan di Alam Syahadah ini. Maka warid yang datang itu membawa orang itu kepada guru tarekat, untuk mengenal dzikir Ismulloh, bagi yang sudah punya dzikir tahlil. Dengan begitu, yang dimaksud, asal dari orang yang mengalami ini, sebelumnya adalah belum berdisiplin tarekat tingkat lanjut, tetapi sudah punya wirid-wirid tertentu, atau sudah punya dzikir tahlil, tetapi harus meningkatkan jenis dzikirnya, dari hanya tahlil kepada dzikir Ismulloh.

Sementara, kami menerima Syathariyah dari seorang guru, semuanya hanya dilawan dengan dzikir tahlil, lalu memilih salah satu dari Asma Alloh yang dimudawamahkan. Akan tetapi kemudian kami menerima dzikir dalam Qodiriyash Naqsyabandiyah Syathariyah, dzikir tahlil, yang dilengkapi dengan dzikir Ismulloh.

Dalam tarekat Syaikh Abdul Qodir al-Jilani, untuk menghadapi Nafsu Lawwamah ini, dzikirnya adalah “Ismulloh” atau “Alloh Alloh Alloh…” sejumlah 780.084 x. Tempat dzikirnya di qolbun (hati), yang dalam tarekat Qodiriyah Naqsyabandiyah Syathoriyah, ada di bagian bawah susu kiri atau di bawah dada kiri di bawah susu kiri. Cahaya yang terlihat dari disiplin melawan Nafsu Lawwamah ini, menurut Syaikh Abdul Qodir dalam kitabnya, Risalatun fil Asma adalah ashfar (kuning).

Sedangkan dalam ar-Risalah al-Ghautsiyah, tahapan menempuh tarekat ini, sang pengamal akan menempuh apa yang disebut dengan Alam Malakut ke Alam Jabarut. Syaikh mengatakan begini: “Setiap tahapan antara Alam Malakut dan Alam Jabarut adalah tarekat.” Sementara dzikir tahlil tetap dipertahankan minimal dengan intensitas yang paling minimal, dalam batasan kewajiban tarekat, atau kewajiban yang diberikan guru, beralih kepada dzikir Ismulloh, dengan pelipatgandaan jumlah. Sementara dalam tarekat yang kami anut, dzikir Ismulloh sudah paket, bahkan sebelum dibukakan Alam Syahadah sekalipun.

Hasil dari menentang Nafsu Lawwamah ini, menurut Syaikh Abdul Qodir akan mengantarkan orang itu ke pengalaman masuk Alam Barzakh. Maksudnya adalah dia mengalami kematian, tapi juga masih hidup; hidup tetapi mengalami mati. Dimulai dengan serasa sakit, tidak mau makan, keringnya tenggorokan, melihat kehidupan Alam Barzakh, badan mulai lemah, mendengar kalam-kalam orang yang sudah mati. Bila terlalu lama di kondisi ini, bisa mengakibatkan salah satu anggota indranya mengalami disfungi, karena dia menyatu dengan Alam yang disaksikan, sementara asupan makanannya tidak mencukupi. Dia mengalami seperti sakarotul maut. Dia ditalqin dalam sakaratul maut oleh berbagai suara, ada yang jelek ada yang bagus. Guru-guru tarekat dan wiridnya, menyuruhnya untuk terus berwirid dalam keadaan seperti itu, sampai titiik darah penghabisan. Dzikir panjang sudah tidak sanggup lagi. Maka yang dia sanggup hanya nafas Alloh-Alloh Alloh.

Sementara dzikir Alloh-Alloh, masih bisa dilakukan, karena hanya di batin dalam pangkuan menjelang sakaratul maut. Ketika mengalami kebingungan dalam fase ini, atau dalam keadaan mati dan hidup ini, dia akan beralih-alih dzikir dan kalam-kalam yang beranekaragam masuk, yang baik ataupun yang jelek-buruk. Hal ini bisa diatasi dengan dzikir yang ada gurunya, karena guru-guru dalam tarekatnya didengarnya melalui kalam-kalam, membimbing untuk terus berdzikir, dan mempertahankan iman sampai pada titik darah penghabisan.

Lama waktu mereka yang mengalami ini tergantung masing-masing orang yang mengalami dan kehendak Alloh. Intinya, bukan hanya sekali mengalami, tetapi bisa dialami dalam waktu panjang, antara mati dan hidup, bisa setahun kurang, atau lebih. Dalam mengalami itu, dia mendengar kalam-kalam di Alam Barzakh, Alam yang memperantarai antara hidup di dunia dan hidup di alam kubur. Pengertian ini yang saya maksud dengan Barzakh, bukan Barzakh yang lain.

Dan, ketika Nafsu Lawwamah terus dilawan dengan dzikir Aloh Alloh Alloh pada titik qolb, sampai dalam batas tertentu, dia akan mengantarkan pada perkembangan nafs itu menjadi terilhami, mendapat Ilham. Nafsu itu menjadi Mulhimah, yang mendapatkan Ilham. Yang sebelumnya dia tidak mengenal kepada Sulthonul Wahdah, beralih memperoleh ilham-ilham. Karena beratnya yang ditanggung dalam perjalanan di Alam Barzakh, maka dia kemudian hanya bisa mengucapkan Huwa dalam nafasnya keluar, yang maksudnya adalah Huwalloh, atau disingkat Hu yang memasukkan ia ke dalam dzikir membersihkan mulhimah. Wallohu a’lam.
Bagikan :

Tambahkan Komentar