Ilustrasi
Oleh: Nur Kholik Ridwan

Syaikh Abdul Qodir al-Jilani menjelaskan tentang ayat: “Ya ayyatuhan Nafsul al-Muthamainnah irji`i ila rodiyatan mardhiyatan” (al-Fajr [89]: 27), dengan “nafsu yang tetap, tenang, dengan maqom ridho dan taslim.” Sedangkan nafsu yang ridho dimaknai dengan “disifati dengan ridho, sebagaimana engkau ridho dengan al-qodho.” Dan menjelaskan mardhiyah “diterima dan dimuliakan di sisi al-Maula (Alloh)”.

Dari sudut perkembangan nafsu, semua mujahadah yang dilakukan seorang yang menempuh di jalah Alloh, setelah mampu menundukkan Nafsu Ammaroh, Nafsu Lawwamah, dan menguasai Mulhimah bilfujur walfusuq wattaqwa, nafsu itu menjadi dan bergerak menuju ketenangan, karena nafsu sudah mau menerima ketentuan Alloh dalam semua Af`al Alloh dalam kesaksian ahwal yang ada padanya; semua ketentuan yang diberikan Alloh kepadanya, dalam ihtiar-ihtiar yang telah dilakukan; nafsu mau menerima dibawa kepada dzikir-dzikir, mau menerima dibawa kepada istiqomah amal-amal ishlahiyah, dan berbagai jenis amal yang mengharuskan ilmu-ilmu yang harus dikuasai, dengan makna-makna yang dicari dan digali oleh orang yang merasakan ini, dan diterima makna-makna itu oleh nafsu sebagai pengajaran, untuk menemukan haqiqat Ash Shoni' dan Al-Fail al-Haqiqi.

Nafsul Muthmainnah adalah wasilah yang dibuat Alloh agar orang yang menempuh di jalan Alloh mulai meningkatkan dari dzikir-dzikir dan berbagai ahwal-ahwal yang diterimanya, beserta kesabarannya dalam menjalani mujahadah, keikhlasannya dalam melandasi amal-amal, kebutuhannya kepada al-Maula Alloh, keharusan syukurnya kepada al-Maula, ditingkatkan menjadi amal-amal melalui tafakkur, tadabbur, dan al-i’tibar bi ayatihi, Al-Qur’an wal kauniyah.

Dalam tahap ini, ada dua perkembangan yang berhubungan: pertama pekembangan aqal dan kedua perkembangan amal-amal istiqomah yang dijalaninya. Pekembangan aqal, meningkat, dari yang awalnya ketika belum memperoleh pengalaman batin, aqal hanya melaksanakan fungsi aqal untuk mencari penghidupan dhohir, melalui ihtiar-ihtiar; lalu ketika memperoleh pengalaman batin dan musyahadah, dia diuji dengan ditentang Ammaroh, Lawwamah dan Mulhimah bilfujur walfusuq wattaqwa, aqal dikendlikan nafsu dan tidak bisa bekerja untuk tafakkur dan tadabbur karena kuatnya nafsu yang melawan dan memberontak kepada orang yang melakukan disiplin mujahadah ini. Aqal tidak lagi menjadi mentri yang bisa digunakan melalui kondisi-kondisi, yaitu dominasi nafsu menjadi kuat dalam kalam-kalam nafsu. Aqal sesekali muncul sebagai “aqlul ma`adi”, aql yang mengajak kembali ke alam qurbah, mengajak kembali kembali ke alam akhirat; mengajak kembali untuk tekun istiqomah, agar mempertahankan iman.

Orang yang menempuh di jalan Alloh, tahap ini, belum sanggup langsung menggunakan fungsi aqalnya lebih dari itu. Aqalnya masih diuji, bersamaan dengan perkembangan ujian nafsu itu, dengan khoyyal yang tidak bisa dikendalikan, khoyyal yang sangat kuat, yang menembus kepada apa yang dikhayalkan, dengan kalam-kalam khoyyal aqal. Upaya mengendalikan khoyyal yang terus menerus dilakukan, ternyata tetap tidak bisa dan tidak cukup, bahkan ketika itu dilakukan melalui amal-amal kebajikan dan istiqomah. Kadang-kadang robithoh kepada guru, bisa membantu, tetapi tidak secara keseluruhan dapat digunakan untuk wasilah mengendalikan khoyyal yang dihidupkan Alloh, meski robithoh tetap ada gunanya pada saat-saat kritis.
.
Maka satu-satunya jalan, sang penempuh di jalan Alloh memahami perlunya ada istirham (memohon kasih sayang Alloh), istighfar (memohon ampun Alloh), istihda’ (memohon petunjuk Alloh), dan istid`a’ (berdoa), bilhilm walmahabbah. Hikmah dalam perjalanan ini, Alloh ingin menunjukkan, adanya intisari al-Fa`il dalam khoyyal, dan bahayanya aqal hanya berhenti pada tahap khoyyal, pentingnya robithoh kepada guru, dan pentingnya tetap istiqomah dalam amal-amal dzikir dan selain dzikir.

Syaikh Abdul Qodir al-Jilani, menggunakan tawajjuh doa ketika muthmainnah adalah dengan “Allohumah ahyini hayathan thoyyibatan wasqini min syarobi mahabbatika”, agar hidupnya menjadi baik dan diguyur dengan minuman keintiman dan kasih sayang-kecintaan dari Alloh. Maka ketika doa ini dipanjatkan terus menerus, orang yang merasakan ini, dibawa pada kehalusan pengertian haqiqat akan kebutuhan dia kepada Alloh, menjadi benar-benar faqir; masih ditancapkan iman sampai pada detika dia merasakan itu, sehingga bertambah-tambahlah dia mengerti haqiqat syukur kepada Alloh; dibawa pada kondisi di mana mengiba kepada Alloh adalah adab-adab yang harus dimiliki sang penempuh dijalan Alloh; dzikir-dzikir dengan kejumawaan, tidak bisa menangis, dan hanya berfikir melalui dzikir-dzikir itu bisa mengalahkan orang dan menjadi hebat, adalah dzikirnya orang yang belum meningkat pengertian-pengertiannya, belum meningkat haqiqat-haqiqatnya.

Orang yang demikian, merasa butuh hidup dengan baik, butuh nafsunya dapat tenang, aqalnya dapat berkerja, hatinya dan lubbnya dapat menumbuhkan cinta dan al-hilm, melalui hikmah-hikmah yang yang dia peroleh dari perjalanan rohani itu, dan amal-amal. Kebutuhan itu diwujudkan dalam doa dan mengiba kepada Alloh, sebagai bentuk keintiman-keintiman, tetapi juga sekaligus membawa kepada pengertian-pengertian tentang perkembangan nafsu, perkembangan aqal, dan perkembangan warid-warid.

Aqal kemudian berkembang dan mengajak orang yang demikian untuk mulai berfikir, lalu aqal bergerak dari khoyyal kepada fikir. Aqal menampakkan kalamnya melalui kalam-kalam baik dan kalam-kalam buruk, lalu menununjukkan dengan kalam pengajaran agar bisa diambil dan dipilih. Maka bekal ilmu dalam muthola’ah, dalam ngaji, dan berbagai majlis ilmu menjadi penting, karena ilmu itu akan membuahkan yaqin dan ia membimbing untuk teguh dalam amal, dengan dasar ilmu; dapat memilih yang baik dan buruk. Aqal menjadi berkembang dan mengajari sang penempuh di jalan Alloh untuk mulai menggunakan fikir, ketika perjalanan aqal yang mengajari terus menaik dan sang penempuh merasa berat dan tidak kuat, aqal mengajari untuk melipatgandakan sholawat dan hauqolah.

Berkembanglah ia, dengan mulai menggunakan tafakkur terhadap fenomena yang telah dialaminya, dan kepada alam untuk mengeti haqiqat idrokul Fa`il fi kulli syai’, Wajibul Wujud, Alloh; menyadari haqiqat rohmat-Nya dan perlunya syukur kepada-Nya; dan dari tafakkur kepada tadabbur, kepada haqiqat “idroku mudabbir bi rububiyyatihi ala jami`’l kainat”, hingga pada diri manusia, juga pada alam semesta, sehingga dia mulai mengerti ilmu tadbirot ilahiyah fil ka’inat.

Kalau dia meneruskan disiplinnya, maka dia akan dibawa kepada ayat-ayat kauniyah, dibawa pada pengkajian ayat-ayat Al-Qur’an, dan ayat-ayat kauniyah, yang di dalam al-Qur’an disebut dzikro, ladzikro, dan la`ayat, liyaddabbaru, waliyatadzakkaru, lu ulil albab. Pengertian halal haram sudah dipelajarinya di masa-masa melawan Ammaroh, Lawwamah dan Mulhimah. Oleh karena itu kemudian Syaikh Abdul Qodir al-Jilani menyebut Ulul Albab dalam berbagai penjelasan ayat soal ini, intinya digunakan untuk menyebut “al-washilun ila lubbih tauhid” (yang hal ini akan dijelaskan tersendiri), yaitu mnereka yang memfungsikan aqalnya untuk menelaah ayat-ayat-Nya dan menemukan untuk taslim akan rohmat-Nya, keagungan-Nya, dan kepemeliharaan-Nya yang dilakukan melalui kerajaan semesta.

Pada sisi yang lain, amal-amal tetap dijalankan, yaitu setelah bisa mengalahkan Ammaroh, Lawwamah dan Mulhimah, dan menjadi tenang. Nafsu mau menerima ketentuan Alloh dan berserah diri kepada Alloh, melalui tetap istiqomah amal. Pada tahap muthmainnah, setelah itu mengerti haqiqat haqiqat, , tetapi juga kadang tidak ada warid-warid yang datang. Diibaratkan, dalam bercocok tanam, ini adalah masa di mana tanaman-tanaman baik mengisi hati, karena hati siap menerima tanaman-tanaman amal itu, dimana nafsu tidak lagi mengganggu dan memberontaknya.

Bagi yang biasa memperoleh warid-warid selama dalam perjalanan, ini adalah masa dimana warid-warid tidak lagi datang, kecuali pengajaran haqiqat haqiqat. Ini adalah masa dimana, dia sedang diuji melalui amal-amal aqal, amal-amal hati, dan amal-amal jawarih, untuk merealisasikan shifat-shifat Alloh dalam kehidupannya: yaitu bagi mereka yang dikembalikan Alloh dalam keadaan dimana aqalnya dikembangkan, nafsunya berkembang tenang, dan jawarihnya digunakan untuk amal-amal taat, menjauhi al-ghoflah dan al-farothot, fil mujtama, sebagai bentuk pelayanan kepada al-Fa`il, Wajibul Wujud.

Maka orang yang demikian, sedang diuji untuk siap menjadi kholifah fil ardhi dan wa’bud robbaka hatta ya’tiyakal yaqin, melalui kesadaran pengalaman bathin dan perjalanannya. Amal-amal yang ditekuninya, di wilayah dhohir, dalam amal bekerja, amal ishlahiyah, amal shodaqoh, amal di majlis ilmu, telah menyamarkannya dengan orang-orang dan publik dan bergumul dengan mereka, di hadapan orang-orang. Orang mengenalnya, ada yang sebagai penggerak masyarakat, sebagai khatib, petani biasa tetapi mulang ngaji atau sejenisnya, ahli ilmu dalam ilmu-ilmu yang ditekuni, dan lain-lain. Dia akan dikitari oleh orang-orang disekitarnya, dalam ilmunya, dalam integritasnya, dan dalam teladan moralnya.

Tanaman-tanaman amal yang dirasakan tidak ada waridnya lagi itu adalah satu tahapan. Dalam ketiadaan warid itu, dia tetap mendengar kalam-kalam batin yang semakin lembut dan halus dan hampir-hampir tidak terasa. Tahapan ini adalah pula tahapan yang akan membawanya pada pengertian dimana al-mahabbah (kecintaan kepada Alloh), al-hilm (kesantunan budi dan akhlak), adalah realisasi dari ketinggian aqal, realisasi dari fikr dan realisasi dari dzikir, berada di atas tafakkur dan tadabbur, juga berada di atas dzikir. Kalau nafsunya telah ridho dengan ketentuan Alloh rodhiyatan, maka Alloh akan memberikan keridhaan, mardhiyyatan. Kalau Alloh sudah membeirkan ridho-Nya, maka Alloh akan akan menolongnya di setiap keadaan.

Tanaman-tanaman amal itu, juga akan membawanya pada buah-buah melalui tahapan yang diterimanya dengan shobbar (sangat sabar), bila ia terus istiqomah dengan amal-amal dzahir dan batinnya, baik dalam bentuk buah keluar, makarimal akhlaq melalui al-hilm, hikmah dan ilmunya, dan sejenisnya; atau melalui memperoleh min ladunna, ta’wilul ahadits, dan sejenisnya dari alam ghaib, tetapi aktivitasnya tetap berbaur dalam masyarakat, melalui amal-amal jawarih yang ditekuninya fil mujtama’. Sebab pada akhirnya, menurut Syaikh Abdul Qodir al-Jilani, orang seperti ini akan kembali diperlihatkan, setelah masa-masa tidak ada warid itu, seperti disebut dalam ath-Thoriq Ilalloh, hatinya akan memperoleh warid-warid “ma dzukir”, dari keseluruhan perjalanan yang ia lakukan dalam tahapan-tahapan, setelah buah-buah amal itu mengalami kematangan. Wallohu a’lam.

Bagikan :

Tambahkan Komentar