Ilustrasi
Oleh Usman
Penulis merupakan Aktivis Muda Nahdlatul Ulama (NU)

Belangkangan ini pembicaraan sial konsep negara bangsa kembali menghangat. Beberapa tokoh sudah banyak yang mengeluarkan pendapatnya, bahkan banyak juga yang mengamini dan berpendapat bahwa dasar negara harus ditinjau ulang kembali, fase ini merupakan sebuah kemunduran sebab jika kita masih berdebat tentang dasar negara berarti kita tidak maju dan mengalami kemuduran yang signifikan.

Apalagi dewasa ini setelah kasus pembakaran bendera HTI yang isunya berhasil digoreng di media hingga banyak kalangan yang terprovokasi dan melakukan aksi bela tauhid padahal menuai banyak kemadharatan dari kalimat tauhid tersebut dikarenakan hal-hal yang sembrono seperti diduduki dan diletakan di tanah, kan miris bilangnya bela tauhid palah menistakan.

Pada tahun sekarang ini sentimen agama memang hal yang terpopuler di negeri ini untuk di gunakan sebagai mobilisasi massa sebagai kepentingan-kepentingan politik tertentu sehingga masyarakat yang tidak tau soal agama pun ikut ngomong soal agama kan lucu. Di lain itu kalau kita lihat pengalaman yang ada proses menjadi Indonesia yang telah kita lalui bersama dan yang dulu di perjuangkan oleh orang terdahulu bahwa bentuk dasar negara dan juga sistem pemerintahan negara Indonesia kita sudah final artinya jika telaah lebih dalam lagi bahwa orang yang ikut andil dahulu ulama, pahlawan dll itu kan tidak hanya orang muslim semua di situ juga ada orang yang non muslim ikut andil memperjuangkan kemerdekaan.

Tidak pas kalau sekarang isu khilafah itu akan di terapkan di Indonesia rasanya mendiskriminasi orang yang notabene non muslim, yang di takutkan lagi kalau terjadi pertumpahan darah di negeri tercinta kita ini. Toh pancasila juga sudah mengandung nilai makna yang sangat syariah jika kita terapkan lebih dalam lagi, meminjam perkataan K.H Ahmad Shidiq dalam buku Nasionalisme kaum sarungan yang ditulis oleh sekjen PBNU Faishal zaini bahwa islam memiliki watak yang universal. Universalisme islam bukan berati islam mengatur segala galanya secara rigid, ketat, terperinci, dan juga berseragam, watak universalisme islam justru terletak pada bervariasinya dalam mengatur pelbagai suatu hal, sesuai situasi dan kondisi (muqtadhal hal muqtadhal maqam).

Jadi jelas pada kenyataanya di negara kita spirit agama sudah diejawentahkan di pelbagai peraturan dan perundang undangan misal saja undang-undang UU peradilan agama, kompilasi hukum islam dan sebagainya. Jadi singkatnya kita hidup di Indonesia ini telah menjalankan kehidupan bersyariat tanpa harus berkhilafah. Sekian. (adm)

Bagikan :

Tambahkan Komentar