Ilustrasi Antara
Oleh Ayik Heriansyah
Penulis adalah mantan ketua HTI Bangka Belitung

Jangankan kumpul-kumpul di Monas dengan massa banyak, soal isyarat jari saja sekarang punya makna politik. Maklum tahun politik, semua hal dikait-kaitkan dengan kontestasi di Pemilu 2019 khususnya pemilihan Presiden (Pilpres). Pilpres kali lebih dari sekedar kompetisi antar figur Capres tetapi juga mengulangi rivalitas lama antara ke-NU-an dengan ke-Masyumi-an.

NU pernah menjadi partai politik keempat terbesar pada Pemilu 1955 dimana Masyumi menduduki urutan kedua. Seandainya boleh berandai-andai, andaikata NU tetap di Masyumi mungkin partai Masyumi-lah pemenang Pemilu kala itu. Jumlah suara Masyumi ditambah suara yang diperoleh partai NU jauh melampaui suara PNI. Mungkin pengandaian ini yang membuat Masyumi dan anak cucu-nya kecewa kepada NU. Kekecewaan itu kemudian berubah menjadi sesal, jengkel dan marah ketika Masyumi dibubarkan oleh Presiden Sukarno sebab otomatis NU menjadi partai Islam terkuat dan terbesar yang mengimbangi PNI dan PKI. Di samping NU mendapat posisi-posisi di kabinet dan lembaga kenegaraan lainnya sampai kejatuhan Orde Lama.

Kalau mau jujur, keluarnya NU dari Masyumi dipicu oleh perilaku pengurus Masyumi sendiri. NU sebagai korban karena  pertama, pelecehan yang dilakukan M. Saleh, pengurus Masyumi dari Muhammadiyah ketika dia pidato di Kongres Masyumi di Yogyakarta pada Desember 1949, dia menyindir para kiai. Kedua, komposisi pengurus Masyumi yang timpang. Jajaran pengurus Masyumi baik di Majlis Syura maupun di pengurus harian didominasi oleh Muhammadiyah dan Persis. Ketiga, pengurus Masyumi secara sepihak mengubah AD/ART yang  melemahkan peran dan fungsi ketua Majlis Syura yang dipegang oleh K.H. Hasyim Asy'ari. Keempat, pengurus Masyumi melanggar konsensus yaitu kursi Menteri Agama diserahkan kepada tokoh Muhammadiyah melalui voting rapat pengurus yang seharusnya jatah NU. Jadi menyalahkan NU keluar dari Masyumi merupakan tindakan blame the victim.

Adapun soal pembubaran  Masyumi, NU tidak terlibat. Pembubaran partai ketika itu ada di tangan Presiden. Sukarno menilai keterlibatan oknum-oknum Masyumi di pemberontakan PRRI di Sumatera Barat sebagai bentuk pengkhianatan terhadap negara. Mungkin saja ada bisikan PKI ke Sukarno agar membubarkan Masyumi. Lalu Masyumi dibubarkan. NU mendapat "berkah" dari pembubaran Masyumi, sudah tentu. Akan tetapi  yang pasti tidak ada catatan sejarah yang menunjukkan keterlibatan NU.

Demikian juga ketika Jokowi memilih Kiai Ma'ruf Amin menjadi calon Wakil Presiden, itu pilihan Jokowi sendiri tanpa intervensi siapapun termasuk NU. NU ormas.besar yang sudah lahir sebelum negara ini ada. NU telah mengalami dinamika politik di negara ini sejak Republik Indonesia lahir sampai sekarang. NU sudah merasakan asam garam perpolitikan bangsa. NU pernah menjadi partai Islam terbesar tetapi pernah juga menjadi ormas marjinal. NU pernah menjadi mitra strategis pemerintah tetapi NU juga pernah dimusuhi pemerintah. Semua ini membuat NU sangat kaya pengalaman yang membuat NU proporsional dalam menentukan sikap demi kemaslahatan bangsa dan negara.

Jangan salahkan NU ketika Jokowi memilih pimpinan tertinggi NU sebagai pasangannya di Pilpres tahun depan. NU mendapat "berkah" dari sikap Jokowi ini, bukan alasan untuk marah dan membenci NU. Dari berbagai analisa politik, prediksi dan didukung hasil-hasil survei, pasangan Jokowi - Kiai Ma'ruf Amin, masih di atas angin. Bayang-bayang akan kemenangan NU seolah  sudah menggelayut di pelupuk mata lawan-lawan politik NU. Mereka adalah anak cucu Masyumi, FPI, HTI dan ormas-ormas Islam lain yang kebanyakan lahir pasca reformasi.

Sama akan halnya bagi keturunan Masyumi, FPI dan HTI kalau mau jujur sebenarnya tidak ada alasan untuk marah dan benci kepada NU. FPI sedang dirundung masalah. Imam Besar FPI Habib Rizieq Shihab (HRS) terkena beberapa kasus hukum yang membuatnya lari ke Arab Saudi. Kasus-kasus hukum yang mendera HRS murni kesalahan pribadinya. Sama sekali tidak ada hubungannya dengan NU. HTI pun demikian. Pembubaran HTI yang didukung NU semata-mata untuk menjaga keutuhan, persatuan dan kesatuan bangsa yang notabene tujuan dari syariat Islam. Dengan kata lain membubarkan HTI bagian dari penerapan syariat Islam bab Fiqih Siyasah dan Maqashid Syariah.

Perlawanan politik keturunan Masyumi, FPI dan HTI terhadap Jokowi dan NU tidak memiliki dasar pijakan yang kokoh. Perlawanan-perlawanan itu bersifat emosional untuk melepaskan perasaan marah yang tidak tepat. Di titik inilah kita mendapatkan posisi politik acara Reuni Akbar Mujahid 212. Dengan samar-samar event ini bermaksud menekan suara pasangan Jokowi - Kiai Ma'ruf Amin. Namun apa yang bisa disamarkan di era revolusi teknologi informasi sekarang. Masyarakat paham ada kampanye halus terselubung dengan kemasan cantik di balik acara Reuni Alumni 212.  Tidak ada yang samar. Agenda politik itu jelas terlihat.

Hal ini membuat panitia reuni menghadapi dilema. Di satu sisi acara reuni akan sia-sia jika tidak bisa menekan suara dukungan kepada Jokowi - Kiai Ma'ruf Amin, di sisi lain publik akan mengamuk kalau acara reuni yang seharusnya acara bernuansa keagamaan menjadi berbau politik praktis Konsekuensinya tingkat kepercayaan publik kepada tokoh-tokoh 212 akan menurun. Pidato HRS lewat teleconferens dari Mekkah kepada jamaah reuni beserta orasi para tokoh 212 nanti yang akan menjawab apakah reuni itu acara keagamaan atau kampanye halus dan terselubung?

Sedangkan HTI, HTI punya kepentingan sendiri di reuni 212 yang berbeda dengan kepentingan PA 212 dan FPI. Bagi HTI mengibarkan bendera mereka yang berwarna hitam putih lebih penting dari persoalan Pilpres. Toh bagi HTI, Pilpres hukumnya haram. Mau Jokowi atau Prabowo yang menang, tetap haram hukumnya. Sayangnya panitia juga menetapkan pengibaran bendera warna warni dan bendera merah putih sehingga eksistensi HTI tidak dominan serta HTI harus menelan pil pahit bendera merah putih yang mereka haramkan berkibar di area Monas. Padahal di bendera merah putih tidak ada tulisan "NKRI", "nasionalisme", "demokrasi", "ashabiyah", "kufur", "haram", dsb

Nah, jika benar nanti acara Reuni Akbar Mujahid 212 menjadi ajang politik praktis dan eksistensi HTI bukan mustahil jamaah reuni akan berbalik simpati dan mendukung Jokowi - Kiai Ma'ruf Amin karena mereka merasa dikadali oleh tokoh-tokoh 212. "Berkah" lagi bagi NU.

Bandung, 29 November 2018
Bagikan :

Tambahkan Komentar