Oleh Husna Nashihin
Dosen dan Sekprodi PIAUD Jurusan Tarbiyah STAINU Temanggung


Ada dua budaya yang bertolak belakang saat ini, “kepo” dan “aruh-aruh”. Generasi milenial menganggap “aruh-aruh” atau budaya saling sapa sebagai “kepo” atau “sok ikut campur”. Bayangkan saja, orang sekarang berpikir ulang untuk sekedar menanyakan aktifitas orang lain. Secara sadar maupun tidak, sejatinya istilah yang sudah membudaya ini sedikit demi sedikit sudah mematikan karakter ketimuran Indonesia yang senang “aruh-aruh” atau saling sapa.

Budaya “aruh-aruh’ dalam masyarakat Jawa antara lain sapaan dengan mengucapkan ndherek langkung, nuwun sewu, monggo, dan lain sebagainya. Dalam bahasa Indonesia, ucapan ini bermakna permisi atau yang lebih akrab dan popular dikalangan milenial misalnya halo, hai, dan lain sebagainya.

Selanjutnya, jika mencoba menelusuri asal muasal istilah kepo, ada yang mengatakan istilah ini merupakan singkatan bahasa inggris knowing every particular. Disisi lain, ada pula yang mengatakan berasal dari bahasa hokkien tionghoa medan kay poh atau kaypo yang artinya “kurang kerjaan”. Selanjutnya, lewat media sosial istilah ini menjadi booming dan tidak disadari menggantikan budaya “aruh-aruh” atau saling sapa.

Intinya, “kepo” menurut generasi milenial merupakan karakter negatif yang harus dijauhi, sehingga generasi ini malu ketika dikatakan “kepo”. Parahnya, “kepo” sudah digunakan secara luas untuk membunuh budaya “aruh-aruh” yang merupakan ciri khas karakter bangsa Indonesia.

Memang, sejatinya “kepo” menjadi sifat negatif ketika sifat ini diartikan sebagai sikap terlalu mencampuri urusan orang lain secara berlebihan. Namun fakta saat ini berbelok, generasi milenial sudah menggunakan istilah “kepo” sebagai alat justifikasi untuk melabeli seseorang secara negatif, termasuk melabeli negatif budaya “aruh-aruh” bangsa Indonesia.

Bayangkan saja, masyarakat di Indonesia sejak dulu sudah terbiasa saling menyapa meskipun hanya sekedar menanyakan “mau kemana”, “ada urusan apa”, “alamatnya mana”, “sama siapa”, meskipun sebenarnya memang apa yang ditanyakan bukan menjadi urusannya. Budaya “kepo” yang saat ini sudah sangat popular dan booming di kalangan generasi milenial menganggap menanyakan segala sesuatu yang bukan menjadi urusannya adalah “kepo” yang lebih dianggap sebagai karakter negatif seseorang, bahkan parahnya anggapan ini diterapkan tanpa pandang bulu.

Kalau bertanya kepada sesama dianggap “kepo”, lantas apakah penggunaan istilah “kepo” yang sudah merenggut budaya “aruh-aruh” atau saling sapa harus dibiarkan berkembang tanpa ada klarifikasi bagi generasi milenial?. Siapa yang bertanggung jawab atas penjajahan yang tersamarkan ini? Jika mempertahankan budaya menjadi jawabannya, lantas mengapa budaya sampai saat ini secara sadar maupun tidak masih dinomorduakan oleh masyarakat?

Ironisnya, bangsa ini terbungkam tatkala budaya luar yang cenderung berseberangan dengan budaya ketimuran Indonesia berhasil merenggut kepribadian generasi milenial bangsa ini. Inilah secuil fenomena yang sebenarnya menjadi urgen untuk dikaji secara mendalam.

Tatkala budaya “kepo” ini digunakan sebagai alat justifikasi budaya saling sapa “aruh-aruh” bangsa Indonesia, maka seseorang akan berpikir beribu-ribu kali hanya untuk bertegur sapa dengan orang lain ketika bukan menjadi urusannya. Lantas, bagaimanakah cara menghilangkan budaya menggunakan istilah “kepo” sebagai alat justifikasi menjuluki seseorang berlabel negatif ini?

Jawaban dari itu semua dikembalikan kepada pendidikan sebagai garda terdepan tonggak perubahan sosial. Edukasi mengenai penggunaan istilah “kepo” secara bijak menjadi sebuah keharusan.
Budaya “aruh-aruh” dalam perspektif pendidikan merupakan karakter orisinil bangsa Indonesia yang harus dipertahankan.

Jika meminjam istilah Dharma Kesuma, maka pendidikan karakter saling sapa yang berbasis budaya “aruh-aruh” seperti ini disebut sebagai model refektif, artinya proses mengambil nilai dari budaya yang dilakukan.

Tulisan ini hanyalah menjadi salah satu goresan singkat diskusi mengenai fenomena “kepo” yang disalahartikan oleh generasi milenial bangsa ini, dan bahkan sudah menjadi alat untuk membunuh budaya “aruh-aruh” bangsa Indonesia. Edukasi mengenai “kepo” ini bisa dilakukan salah satunya melalui pengkajian berbentuk karya tulis, baik berbentuk cetak maupun online, atau diskusi secara praksis di masyarakat.
Bagikan :

Tambahkan Komentar