Oleh: Muhammad Abdul Ghofur

Pembukaan pendaftaran CPNS (Calon Pegawai Negeri Sipil) merupakan hal yang paling ditunggu dari lulusan awal hingga para honorer belasan tahun. Wajar, mengingat tahun-tahun pemerintah melakukan kebijakan moratorium penerimaan PNS (Pegawai Negeri Sipil).  Sehingga dipastikan penerimaan CPNS kali ini bakal ramai peminatbahkan membludak.

Saking menariknya kegiatan ini, beberapa bulan ke depan laman dunia maya Indonesia akan penuh dengan berita mengenai penerimaan PNS dari proses pendaftaran, seleksi, hingga hasil akhir. Portal peneyedia berita tak mau kehilangan momen, mereka akan terus mengupdate perkembangan hajat pemerintah ini bersanding dengan berita politik yang tak pernah sepi.

Kali ini adalah pernerimaan PNS edisi kedua di era presiden Joko Widodo. Porsi kuota penerimaan PNS masih didominasi oleh tenaga pendidik. Berdasarkan laman liputan6.com formasi jabatan yang dibuka adalah tenaga pendidikan, kesehatan, dosen, teknis fungsional, dan teknis lainnya.Adapun tiga besar formasi pada penerimaan PNS kali ini adalah guru (63.324 formasi), tenaga kesehatan (31.756 formasi), dan teknis fungsional (23.660 formasi).

MASALAH
Namun demikian dibalik gempita penerimaan CPNS ada masalah serius yang tak terlihat. Sepertinya sederhana namun entah kenapa tak jelas bagaimana penyelesaiannya. Instansi terkait sarat kepentingan dan idealisme. Kasus diskualifikasinya ijazah PGMI (Pendidikan Guru Madrasah Ibtidaiyah pada formasi jabatan Guru Kelas Ahli Pratama sangat disesalkan.

Apa pasal BKPP (Badan Kepegawaian, Pendidikan dan Pelatihan) setempat tidak mengakui prodi PGMI sebagai prodi yang setara dengan PGSD (Pendidikan Guru Sekolah Dasar). Padahal keduanya merupakan prodi yang dibuka untuk mencetak para guru kelas di jenjang pendidikan dasar.

UU Sisdiknas No. 20 tahun 2003 Pasal 17 berbunyi:
“Pendidikan dasar berbentuk Sekolah Dasar (SD) dan Madrasah Ibtidaiyah (MI) atau bentuk lain yang sederajat serta Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Madrasah Tsanawiyah (MTs), atau bentuk lain yang sederajat.”

Sejauh ini informasi yang saya dapat dari IKA PGMI (Ikatan Alumni Prodi PGMI) IAIN Kudus, hanya ada 9 dari 35 kab/kota di Provinsi Jawa Tengah yang menerima lulusan PGMI untuk mengisi pos jabatan Guru Kelas di SD yang berada di bawah naungannya. Artinya, mayoritas pemda tidak mengakui PGMI sebagai prodi yang qualified untuk mengajar di jenjang sekolah dasar.

Seharusnya permasalahan ini tidak lagi muncul mengingat hal serupa juga pernah terjadi pada penerimaan PNS tahun 2018. Kasus pembatalan kelulusan Nina Susilawati, seorang pelamar CPNS formasi guru kelas SD di Dinas Pendidikan Kab. Sijunjung, Sumbar, karena alasan ketidaklinearan ijazah PGMI dengan PGSD sempat menjadi topik hangat.  Banyak pihak turun tangan dari ombudsman, Para Dosen Prodi PGMI, kemenag pusat, hingga BKN sendiri. Nyatanya tak membuahkan hasil, Nina tetap didiskualifikasi.

Pasca kemunculan kasus di atas Kemenag melalui Sekjennya mengirim surat dengan nomor P-36909/SJ/B.II/KP.00.1/2018 tertanggal 28 Desember 2018 kepada Kementerian PANRB perihal kesetaraan PGSD dan PGMI. Tapi ibarat petasan mlempem, surat tersebut tak ada bunyinya sama sekali.

Masih seputar penerimaan CPNS 2018, dua teman PGMI saya memaksakan diri melamar formasi tersebut di Kab. Kudus dan Kab. Pati. Hasilnya, mereka gugur sejak di seleksi administrasi. Di laman akun SSCN (web pendaftaran online CPNS) tertera pesan bahwa ijazah tidak linear dengan formasi yang diambil.

ANEH
Anehnya, di tahun tersebut belasan orang teman Nina sesama pelamar formasi guru kelas berhasil lulus dan diterima menjadi PNS di Kota Solok. Padahal mereka sama-sama pendaftar dengan ijazah PGMI.

Seperti yang saya jelaskan sebelumnya di penerimaan CPNS edisi kali ini hanya ada 9 kab/kota yang menerima PGMI untuk mengisi formasi guru kelas. Kesembilan kab/kota itu adalah Kota Pekalongan, Kab. Pekalongan, Kota Tegal, Kab. Batang, Kab. Kendal, Kab. Banyumas, Kab. Purbalingga, Kota Salatiga, dan Kab Pati.

Bisa kita lihat ada perbedaan perlakuan terhadap lulusan prodi PGMI. Saya jadi bingung, sebenarnya muaranya ada di mana? Apakah ada di Dirjen Pendis selaku pembuka keran prodi PGMI yang tak mampu mewujudkan PGMI sebagai prodi yang setara dengan PGSD, atau BKPP masing-masing daerah yang belum sepaham dengan nomenklatur terkait kesetaraan keduanya.

Bila mau menengok catatan lalu, diskualifikasi PGMI sudah terjadi. Di tahun 2014, ada keresahan pengelola PGMI karena lulusan PGMI di nomenklatur regulasi Menpan, bahwa lulusan PGMI tidak bisa mendaftar CPNS guru kelas SD. Merespon hal itu, Asosiasi PGMI Indonesia melakukan audiensi dengan Prof. Dr. Dede Rosyada, MA Direktur Pendidikan Tinggi Islam pada Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Kementerian Agama (Dirjen Diktis Kemenag) saat itu, dan pihaknya bisa memperjuangkan ke Menpan lulusan PGMI bisa mendaftarkan diri di CPNS Kemenpan-RB asal ada perbaikan akreditasi.

Kalau kasus pada tahun itu kita boleh maklum mengingat PGMI masih sangat muda (tergolong prodi baru), apakah kali ini kita juga masih harus maklum? Lima tahun lewat tanpa ada keputusan yang tepat.

TANGGUNG JAWAB
Sudah seharusnya para pejabat di Kementerian Agama dan Dikti duduk bersama menyelesaikan tuntas perihal kesimpang-siuran ini. Hal ini merupkan mutlak tanggung jawab dari penyelenggara pendidikan Indonesia. Jangan sampai dualisme pengelolaan pendidikan di Indonesia justru menjadi mainan politik para pejabat.

Berdampingannya SD dan MI, PGSD dan PGMI seharusnya saling melengkapi dan bahu membahu mencerdaskan bangsa Indonesia. Bukan justru muncul dikotomi sehingga satu terbang ke langit dan satu terkubur hidup-hidup di dalam bumi.

Kami para civitas akademika prodi PGMI dari mahasiswa, guru, dosen, menuntut kebijakan yang seadil-adilnya, merata, seluruh Indonesia. Ini bukan soal jadi PNS atau tidak, melainkan soal hak warga negara, dan keseriusan pemerintah dalam menyelenggarakan pendidikan.

Kami tegaskan, kami insan pendidikan adalah warga negara yang ingin mengabdikan diri di dunia pendidikan Indonesia. Bila memang harus dites dengan segala tes, kami siap. Berratus tes kami siap. Beban SKS selama kuliah sudah kami penuhi, segala pelatihan juga kami ikuti. Cukup sudah.  Kami warga negara merdeka punya hak yang sama, bukan boneka mainan uji coba kebijakan semaunya. Dan kami adalah pendidik. Jangan jadikan kami sebagai korban regulasi yang berantakan.

-Penulis adalah Alumni PGMI IAIN Kudus Angkatan 2013.

Sumber: MAG
Bagikan :

Tambahkan Komentar