Oleh: Rissanah

Mahasiswa PAI STAINU Temanggung

 

Anak angkat adalah anak yang haknya dialihkan dari lingkungan kekuasaan keluarga orang tua, wali yang sah, atau orang lain yang bertanggung jawab atas perawatan, Pendidikan, dan membesarkan anak tersebut ke dalam lingkungan keluarga orang tua angkatnya berdasarkan putusan atau penetapan pengadilan. 

Pengangkatan anak bukanlah suatu hal yang baru di Indonesia karena hal tersebut sudah sangat lazim dilakukan oleh masyarakat Indonesia. Hanya saja cara dan motivasinya yang berbeda-beda sesuai dengan system hukum yang dianut di daerah yang bersangkutan. Pengangkatan anak disini merupakan sebuah alternatif untuk menyelamatkan perkawinan atau untuk mencapai kebahagiaan rumah tangga yang lebih besar lagi karena tujuan dari berumah tangga adalah untuk memperoleh keturunan yaitu anak. Begitu pentingnya kehadiran seorang anak ini sehingga menimbulkan berbagai peristiwa hukum, misalnya ketiadaan keturunan /anak, perceraian, poligami dan pengangkatan anak merupakan berbagai peristiwa hukum yang terjadi karena alasan di dalam perkawinan itu tidak memperoleh keturunan (walaupun ini bukan satu-satunya alasan).

Selain itu peranan penting keluarga dalam kehidupan manusia sebagai makhluk sosial dan merupakan kelompok masyarakat terkecil didalam masyarakat luas, yang terdiri dari seorang ayah, ibu dan anak. Namun tidak selalu ketiga unsur tersebut terpenuhi, sehingga kadang-kadang terdapta suatu keluarga yang tidak mempunyai anak atau keturunan. Keturunan dalam perkawinan dapat berasal dari darah dagingnya sendiri atau anak kandung yang disebut anak sah dalam undang-undang nomor 1 tahun 1974. Pengertian anak sah yang terdapat didalam pasal 42 menyebutkan bahwa anak yng sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan sah. Apabila dalam suatu perkawinan pasangan suami dan istri tersebut tidak mempunyai keturunan, maka mereka juga dapat meneruskan keturunan agar suku tidak punah dengan cara mengangkat anak atau yang biasa disebut adopsi.

Tetapi didalam masyarakat pasti sudah biasa dalam masalah ini yang sering kali menjadi polemik yang sampai sekarang masih di perdebatkan tentang hak-hak seorang anak asuh atau angkat apakah sama seperti haknya sebagai anak kandung atau anak asli. Perdebatan ini banyak dipertanyakan tentang hal ini Sebagian ulama yang tidak setuju tentang hak-hak seorang anak angkat sama dengan anak kandung. Mengapa seperti itu? Karena kita bisa lihat bahwa seorang anak kandung adalah anak yang lahir langsung dari rahim ibunya yang asli. Sedangkan anak angkat adalah anak yang diangkat atau diadopsi oleh orang tua asuh bukan orang tua aslinya.

 Secara umum pengangkatan anak menurut hukum merupakan pengalihan anak terhadap orangtua angkat dari orangtua kandung secara keseluruhan dan dilakukan menurut aturan setempat agar sah. Jadi orangtua kandung sudah lepas tangan terhadap anak itu, dan tanggung jawab beralih kepada orang yang mengangkatnya. Disini orangtua kandung tidak serta merta lepas tangan, hanya saja masih akan tetap memiliki hubungan dengan anaknya. Dalam hukum islam pun pada prinsipnya membenarkan dan mengakui bahwa pengangkatan anak dengan ketentuan tidak boleh membawa perubahan hukum dibidang nasab, wali mawali dan mewaris. Pengangkatan anak dalam hukum islam memperbolehkan pengangkatan anak asalkan tidak memutus hubungan darah dengan orangtua kandungnya, sehingga prinsip dalam hukum islam pengangkatan anak ini hanya bersifat pengasuhan, pemberian kasih sayang dan pemberian pendidikan.

Oleh karena itu, banyak pendapat mengenai hal tentang hak anak asuh. Dan masih menjadi polemik dalam masyarakat dalam menanggapi hal tersebut. Kebanyakan anak asuh biasanya diambil dari panti asuhan atau Yayasan lain sejenisnya. Yang dipermsalahkan disini adalah dua sudut pandang yang berbeda menanggapi hal ini.

Yang pertama didalam masyarakat banyak yang memandang anak asuh didalam kehidupan bermasyarakat itu sudah jadi hal biasa yang lumrah dilakukan oleh suami istri yang belum mempunyai anak atau mereka yang memang benar-benar ingin mengangkat serang anak yang bukan dari rahimnya untuk dijadikan sebagai anaknya sendiri. Dalam hal ini banyak pendapat apakah anak asuh tersebut mempunyai hak dalam hal warisan gono gini dan hak-hak lain sama seperti layaknya hak yang dimiliki oleh seorang anak kandung pada umumnya atau bagaimana? Secara faktual telah diakui bahwa pengangkatan anak telah menjadi bagian dari kebiasaan masyarakat di Indonesia dan telah merambah dalam praktek melalui Lembaga Peradilan Agama bagi yang beragama Islam dan Lembaga Peradilan Negeri bagi yang beragama non-islam.

Dalam hal ini bisa dikatakan bahwa dalam adat dimasyarakat menganggap seorang anak asuh mempunyai hak yang sama selayaknya anak kandung karena mereka sama. Dikatakan sama karena mereka sama-sama dianggap anak dari orang tuanya yang berbeda darah. Tetapi bila kita ulas kembali didalam hal fiqih dan amaliyah itu pasti sudah berbeda. Mengapa seperti itu, karena didalam hal fiqih derajat seorang anak asuh berbeda dengan anak kandung.

Dalam masalah ini fenomena yang terjadi dimasyarakat yang sering kita jumpai, entah karena orang tersebut tidak mempunyai keturunan, atau karena ingin menolong orang lain, ataupun karena sebab-sebab yang lain. Akan tetapi karena ketidaktahuan banyak dari kaum muslimin tentang hukum-hukum yang berhubungan dengan ‘Anak Angkat’, maka masalah yang terjadi dalam hal ini cukup banyak dan memprihatinkan. Misalnya; menisbatkan anak angkat tersebut kepada orang tua angkatnya, menyamakannya dengan anak kandung sehingga tidak memperdulikan batas-batas mahram, menganggapnya berhak mendapatkan warisan seperti anak kandung, dan pelanggaran-pelanggaran agama lainnya. Padahal, syariat Islam yang agung telah menjelaskan dengan lengkap dan gamblang hukum-hukum yang berkenaan dengan masalah anak angkat ini, sehingga jika kaum muslimin mau mempelajari petunjuk Allah SWT dalam agama mereka mestinya tidak akan terjerumus dalam kesalahan-kesalahan tersebut diatas. Kebiasaaan mengadopsi anak adalah tradisi yang sudah ada sejak jama Jahiliyah dan dibenarkan di awal kedatangan Islam. Bahkan Rasulullah SAW sendiri juga melakukan hal tersebut. Dalam Al-qur’an sudah dijelaskan surat al-ahzab ayat 4.

وَمَا جَعَلَ أَدْعِيَاءَكُمْ أَبْنَاءَكُمْ ذَلِكُمْ قَوْلُكُمْ بِأَفْوَاهِكُمْ وَاللَّهُ يَقُولُ الْحَقَّ وَهُوَ يَهْدِي السَّبِيلَ

Artinya: “Dan Allah tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak kandungmu (sendiri). Yang demikian itu hanyalah perkataanmu di mulutmu saja. Dan Allah mengatakan yang sebenarnya dan Dia menunjukkan jalan (yang benar)” (QS al-Ahzaab: 4).

Sedangkan, di dalam hukum Islam pengangkatan anak tidak mempengaruhi kemahraman antara anak angkat dengan orang tua angkatnya. Anak angkat tidak termasuk dalam salah satu dari unsur kemahraman, sehingga antara kedua belah pihak tidak ada larangan untuk saling mengawini dan tetap tidak bisa saling mewarisi.

Pengangkatan anak disini harus didasari oleh perasaan seseorang yang menjadi orang tua angkat untuk membantu orangtua kandung dari anak angkatnya atau bagi pasangan suami-istri yang tidak dikaruniai keturunan, agar anak angkat itu bisa dididik atau disekolahkan, sehingga diharapkan nantinya anak tersebut bisa mandiri serta dapat meningkatkan taraf hidupnya dimasa yang akan datang. Lebih dari itu terbesit di hati orangtua angkatnya bahwa anak angkatnya kelak akan menjadi anak yang shaleh yang mau merawat orang tua angkatnya disaat sakit, dan mendoakan orangtua pada saat telah meninggal dunia. 

Dalam sudut pandang yang lain anak asuh atau anak angkat juga berpengaruh didalam kehidupan orang tua asuhnya mengapa, karena orang tua asuh berharap bila anak asuh yang dijadikan layaknya anak kandungnya sendiri dapat membantu dan merawat orang tua kelak. Bila orang tua asuhnya sudah tua dan renta yang sangat memerlukan kasih sayang seorang anak dan perhatian yang lebih dari anak-anak yang mereka besarkan dan dididiknya.

Jadi dapat kita simpulkan dalam hal ini dua sudut pandang yang berbeda menanggapi permasalahan tentang anak asuh yang kadang membingungkan. Didalam masyarakat banyak yang menganggap bahwa pengangkatan anak asuh sudah biasa sebagai kebiasaan yang memang ada dengan ketentuan-ketentuan yang kadang kurang pas. Sedangkan didalam hukum fiqih dan amaliyah polemic anak asuh itu sangat diperhatikan dalam berbagai hal. Sampai hal sekecil apapun sufdah diatur didalamnya. Disini anak asuh sebagai pelaku yang tidak bisa disalahkan dalam hal tersebut. Melainkan, anggapan orang terhadap anak asuh itu yang harus diubah dalam pengetahuan tentang hak-hak dan kewajiban anak asuh berbeda dengan anak kandung. Atau memposisikan anak asuh sesuai dengan kaidah dan aturan yang sudah tertera dalam al-qur’an dan hadis.

Bagikan :

Tambahkan Komentar