Oleh Khaida Baqiyatussholihah

Mahasiswa Tarbiyah Prodi Pendidikan Agama Islam

Siapa yang tak mengenal namanya, sekuntum bunga di tengah Bani Hasyim. Tumbuh di taman yang sarat cahaya kenabian, disunting pemuda yang memiliki kemuliaan. Tebaran ilmunya menghiasi sejarah perjalanan manusia. Dialah seorang putri Nabi SAW yang bernama Sayyidah Fatimah Az Zahra, beliau merupakan putri kesayangan Nabi SAW dengan istrinya Sayyidah Khidijah al Kubro bintu Khuwailid. Sayyidah Fatimah lahir bersamaan dengan akan diangkatnya Nabi Muhammad saw sebagai Nabi, dan juga bertepatan dengan renovasi ka`bah.

Berangkat dewasa hingga memasuki 15 tahun usianya. Kala itu, datang seorang pemuda ke hadapan Nabi SAW, dengan sebuah keinginan ingin melamar putri nabi tercinta. Nabi bertanya kepadanya, “Apa yang engkau miliki sebagai mahar?” “Aku tidak memiliki sesuatu pun,” jawab pemuda itu. “Di mana baju besi yang pernah kuberikan padamu?” Tanya Nabi SAW lagi. “Masih ada padaku,” jawabnya. “Berikan itu sebagai maharnya” kata Nabi SAW. Setelah empat bulan Nabi SAW mneikah dengan Aisyah, Nabi menikahkan Fatimah dengan Ali, pada saat itu Ali berusia 21 tahun 5 bulan dan Fatimah 15 tahun 5,5 bulan. Sebelum Ali, sahabta Abu Bakar dan Umar juga pernah ingin meminang Fatimah tapi Nabi SAW tidak mengiyakan,

Fatimah dan Ali merupakan pengantin mulia yang begitu bersahaja. Tidak ada pada mereka selain hamparan dari kulit dan bantal kulit yang berisi sabut. Berjalan seiring dalam rumah tangga yang begitu bersahaja. Mengambil air, menggiling tepung, mereka lakukan dengan kedua tangan mereka sendiri, hingga suatu saat mereka rasakan beratnya. Dada Ali terasa sakit, tangan Fathimah melepuh karenanya. Ali pun mengusulkan untuk meminta seorang pembantu kepada Nabi SAW yang saat itu Allah karuniai para tawanan. Akhirnya Fathimah mendatangi ayahandanya tapi beliau malu dan hanya mengucapkan salam.

Sesampainya di rumah Ali bertanya kepada Fathimah dan Fathimah menceritakan semuanya kepada Ali. Kemudian mereka berdua datang ke rumah Nabi SAW, tapi Nabi menolak memberikan tawanan kepada mereka. Dan Nabi menjual tawanan mereka dan hasilnya diinfakkan kepada mereka berdua. Mereka berdua sangat hidup dengan menerima apa yang Allah berikan. Mereka tidak pernah memakai sesuatu barang yang bukan miliknya, mereka menjalankan kehidupan mereka seperti biasa dan tidak pernah menuntut masyarakat lingkungannya untuk menghormati dan membantunya.

Saat mereka terbaring di tempat tidur, berselimut dengan selimut yang bila ditutupkan ke kepala terbuka kaki mereka, bila ditutupkan ke kaki terbukalah kepala mereka. Tiba-tiba datang Nabi SAW . Mereka berdua pun bergegas bangkit. “Tetaplah di tempat kalian!” kata Nabi SAW. Beliau berkata lagi, “Maukah kuberitahukan pada kalian sesuatu yang lebih baik daripada apa yang kalian minta? Apabila kalian mulai berbaring di pembaringan kalian, bertakbirlah 33 kali, bertasbihlah 33 kali, dan bertahmidlah 33 kali”. Demikian betapa sayangnya Nabi SAW kepada putrinya yang sangat mulia.

Selain itu kehidupan Fathimah juga tidak terlepas dari penderitaan dan kesedihan. Tapi walaupun demikian beliau tetap sabar dalam menghadapi. Kedudukannya menjadi putri Nabi, tidak menjadikannya menjadikannya pada posisi yang terhormat. Beliau juga dilahirkan di tengah masyarakat yang tidak mengenal nilai-nilai luhur ilahi, penuh dengan kebodohan  dan khurafat. Di mana tradisi-tradisi yang sering membanggakan dirinya sendiri dan tidak mempedulikan kekurangan orang lain.

Berbeda dengan saat ini banyak orang yang memanfaatkan kedudukan orang tunya untuk hidup mereka yang lebih baik. Mereka terlalu mementingkan kehidupan mereka daripada kebahagiaan orang lain. Bukankah kita hidup di dunia ini tidak sendiri, tapi juga membutuhkan bantuan orang lain. Kita tidak akan bisa hidup sendiri untuk meraih kebahagiaan dunia dan akhirat. Selain sikap tersebut kita juga dapat mencontoh dari sifat kesederhanaan Sayyidah Fatimah, beliau tidak pernah banyak mengeluh kepada Allah tentang apa yang mereka miliki. Mereka bekerja untuk menjalani kehidupan dan tidak lupa tetap beribadah kepada Allah.

Begitu banyaknya sifat yang dapat kita teladani untuk kehidupan kita, semua yang kita miliki pasti akan ada pertanggungjawabannya kepada Allah kelak di akhirat. Beruntung bagi orang yang berharta banyak tapi mampu digunakan untuk kebutuhan yang bermanfaat, begitu pula orang miskin yang mampu menerima apapun pemberian Allah. Hidup bahagia tidak harus dengan barang yang mewah, jabatan yang tinggi, anak yang pintar dan lainnya, namun hidup bahagia itu ketika kita mapu bersyukur kepada Allah atas segala yang kita miliki dan kesederhanaan kita sendiri.

 

Bagikan :

Tambahkan Komentar