Oleh Zulfah Masrokhati

Mahasiswa STAINU Temanggung 

Islam adalah nama agama yang diturunkan Allah untuk membimbing manusia kepada jalan yang benar dan sesuai fitrah kemanusiaan .Islam dan budaya memiliki relasi yang tak terpisahkan, dimana Islam memunculkan dirinya dalam bentuk yang luwes, ketika menghadapi masyarakat yang dijumpainya dengan beraneka ragam budaya, adat kebiasaan atau tradisi. Sebagai sebuah kenyatan sejarah, agama dan kebudayaan dapat saling mempengaruhi.

Agama merupakan simbol yang melambangkan nilai ketaatan kepada Tuhan. Kebudayaan juga mengandung nilai dan simbol supaya manusia bisa hidup di dalamnya. Agama memerlukan sistem simbol, dengan kata lain agama memerlukan kebudayaan agama. Tetapi keduanya perlu adanya dibedakan. Agama adalah sesuatu yang final, universal, abadi (parennial) dan tidak mengenal perubahan (absolut). Sedangkan kebudayaan bersifat partikular, relatif dan temporer.

Agama tanpa kebudayaan memang dapat berkembang sebagai agama pribadi, tetapi tanpa kebudayaan agama sebagai kolektivitas tidak akan mendapat tempat1. Islam merespon budaya lokal, adat atau tradisi di manapun dan kapanpun, dan membuka diri untuk menerima budaya lokal, adat atau tradisi sepanjang budaya lokal, adat atau tradisi tersebut tidak bertentangan dengan spirit nash al-Qur’an dan Sunnah.

Demikian halnya dengan Islam yang berkembang di masyarakat Jawa yang sangat kental dengan tradisi dan budayanya. Tradisi dan budaya Jawa hingga akhir-akhir ini masih mendominasi tradisi dan budaya nasional di Indonesia dan termasuk di Desa Kwadungan Gunung Kecamatan Kledung Kabupaten Temanggung  . Dalam konteks ini yang menjadi nama-nama Jawa juga sangat akrab di telinga bangsa Indonesia. Begitu pula istilah-istilah Jawa. Hal ini membuktikan bahwa tradisi dan budaya Jawa cukup memberi warna dalam berbagai permasalahan bangsa dan negara di Indonesia.

Di sisi lain, ternyata tradisi dan budaya jawa tidak hanya memberikan warna dalam percaturan kenegaraan Indonesia, melainkan juga berpengaruh dalam keyakinan dan praktek-praktek keagaman. Masyarakat Jawa memiliki tradisi dan budaya yang sangat variatif dan banyak dipengaruhi ajaran dan kepercayaan Hindu dan Budha yang terus bertahan hingga sekarang, meskipun mereka sudah memiliki keyakinan atau agama yang berbeda, seperti Islam, Kristen, atau yang lainnya.

Tradisi nyadran adalah tradisi yang sudah ada pada zaman nenek moyang dan diwariskan secara turun temurun dari suatu generasi ke generasi yang lain. Tradisi nyadran di desa kwadungan gunung selalu menjadi adat turun menurun karena dipercayai sebagai wujud rasa syukur yang ditandai dengan tradisi sadranan air pitulunggono desa Kwadungan gunung.

Masyarakat Jawa yang mayoritas beragama Islam hingga sekarang belum bisa meninggalkan tradisi dan budaya Jawa, meskipun terkadang tradisi dan budaya itu bertentangan dengan ajaran-ajaran akidah dan tauhid Islam. Dalam agama islam sudah diperjelas bahwasanya segala suatu yang tidak selaras dengan hukum islam dianggap atau hukumnya haram karena sudah termasuk perbuatan syirik dan menyekutukan Allah SWT.

 Tradisi nyadran air pitulunggono merupakan tradisi yang dilakukan oleh sebagian masyarakat desa kwadungan gunung pada setiap bulan Suro hari jumat pon menurut penanggalan jawa. Tradisi ini identik dengan penyembelihan ayam jantan jawa dan nasi tumpeng. Dalam tradisi ini ayam dan nasi tersebut di kumpulkan secara bersamaan dan di doakan secara bersama-sama oleh masyarakat desa kwadungan gunung sebagai rasa syukur atas melimpahnya sumber air pitulunggono.

Gambaran masyarakat Jawa seperti di atas menjadi penting untuk dikaji, terutama terkait praktek keagamaan kita sekarang. Sebagai umat beragama yang baik tentunya perlu memahami ajaran agama dengan memadai, sehingga ajaran agama ini dapat menjadi acuan dalam berperilaku dalam kehidupan.Pelaksanaan tradisi nyadran (Craddha) pada masa Hindu-Budha  menggunakan puji-pujian dan sesaji sebagai perlengkapan ritusnya sedangkan oleh walisongo diakulturasikan dengan doa-doa yang bersumber dari al-Quran sebagaimana yang telah dilakukan oleh masyarakat  desa Kwadundgan Gunung.

 Masyarakat meyakini leluhur yang sudah meninggal sejatinya masih ada dan mempengaruhi kehidupan anak cucu atau keturunannya, karena pengaruh agama Islam pula makna nyadran mengalami pergeseran dari sekedar berdoa kepada Tuhan menjadi ritual pelaporan dan wujud penghargaan kepada bulan Suro. Dalam hali ini tidak dapat serta merta dihukumi syirik, sebab kita tidak pernah tahu niatan pelakunya.

Oleh karena itu para ulama Syafi’iyah memerinci perbuatan tersebut berdasarkan niat. Di zaman ulama terdahulu bentuk nyadran ini sudah ada kemiripan dalam bentuk menyembelih hewan. Salah satu ulama ahli tarjih dalam mazhab Syafi’i, Imam Ibnu Hajar Al Haitami berkata:“Barang siapa menyembelih hewan untuk mendekatkan diri kepada Allah agar terhindar dari gangguan jin, maka tidak haram (boleh). Atau menyembelih dengan tujuan kepada jin maka haram” (Tuhfatul Muhtaj 9/326).

Berbeda dengan Nyadran yang menjerumus ke syirik, Syekh Abu Bakar Dimyati Syatha (banyak ulama Indonesia berguru kepada beliau di antaranya KH Hasyim Asy’ari, pendiri NU) berkata saat mensyarahi ungkapan Ibnu Hajar di atas yang dikutip oleh muridnya dalam Fathul Mu’in: Bahkan jika menyembelih hewan dengan tujuan mendekatkan diri dan ibadah kepada jin maka ia telah kafir (Ianatuth Thalibin 2/397).

Menurut analisa penulis Masyarakat Desa kwadungan gunung merupakan suatu kesatuan masyarakat yang diikuat oleh norma-norma hidup karena sejarah tradisi maupun agama. Hal ini dapat dilihat dari ciri masyarakat Jawa secara kekerabatan. Sistem hidup kekeluargaan di Desa kwadungan gunung tergambar dari kekerabatan masyarakat Jawa. Jika memperhatikan kosakata dari kekerabatan tampaklah istilah yang sama dipakai menyebut moyang, baik ditingkat ketiga atau keturunan ketika, dengan aku sebagai acuan. Jadi buyut bisa berarti ayahnya kakek, maupun anaknya cucu, dan seterusnya.

       Dalam konteks inilah pentingnya pemeliharaan tradisi itu: karena ia tumbuh dalam masyarakat itu sendiri, ia biasanya berhubungan erat dengan sumber daya alam dan kondisi hidup setempat. Dengan kata lain, seringkali tradisi seperti inilah yang lebih ramah lingkungan dan secara langsung ataupun tidak langsung memberi pengetahuan tentang keadaan dalam konteks inilah pentingnya pemeliharaan tradisi itu karena ia tumbuh dalam masyarakat itu sendiri, ia biasanya berhubungan erat dengan sumber daya alam dan kondisi hidup setempat.

       Dengan kata lain, seringkali tradisi seperti inilah yang lebih ramah lingkungan dan secara langsung ataupun tidak langsung memberi pengetahuan tentang keadaan. lokal. Ini yang akan memberi bekal bagi manusia yang mempelajarinya, atau juga bagi generasi muda yang masih peduli akan kondisi di sekitar mereka, karena tradisi itu tumbuh dari masyarakatnya sendiri.jadi tradisi nyadran yang ada di desa saya adalah wujud dari rasa syukur kepada allah swt dan mempererat tali silahturahmi serta memberikan apresiasi kepada kearifan lokal.penulis hanya berharap semoga artikel ini bermanfaat kepada para pembaca.

        Pentinya budaya menyatukan kita pada ranah kearifan lokal yang menjunjung tinggi sikap ramah tamah dalam kehidupan nyata.warisan budaya kita saat ini sudah di anggap kuno bahkan sudah tidak perlu dilakukan dan mulai memudar.tapi, bagi penulis kearifan lokal sangat penting dalam proses menumbuhkan cinta kasih kepada sesama dan membentuk persaudaran yang erat.semoga generasi penerus bangsa teruntuk milenial maupun kalangan zaman old tetap tidak menghilangkan budaya yang ada di indonesia ini.

 

“Semoga bermanfaat bagi pembaca “

 

                       

 

           

               

Bagikan :

Tambahkan Komentar