Oleh Sulistyowati

Mahasiswa INISNU Temanggung

Penulis pernah menyaksikan di media  bahwa KH Hasyim Asyary mengatakan “agama dan negara bagai dua keping mata uang yang tidak dapat dipisahkan”. Sampai detik ini, Nahdlatul Ulama sebagai pengamal Ahlussuanh wal Jamaah selalu menjaga dalam keberagaman agama dan berbangsa. Namun pada kenyataannya pada masa era ini masih banyak terjadi kasus radikalisasi dan intoleransi di Indonesia.

Bagi negara, kegiatan radikal yang mengancam negara wajib hukumnya untuk dibasmi, dimatikan gerakannya atau deradikalisasi. Lantas siapa yang lebih bertanggung jawab atas adanya radikalisasi di negara kita?

Radikalisasi

Menurut Dr. Alex P. Schimd (2013), radikalisasi adalah proses dimana individua tau kelompok yang berubah dan memiliki kecenderungan menentang dialog dan kompromi dengan pihak yang berbeda yaitu mereka memilih jalan konfrontasi dan konflik.

Hubungan antara kaum muda dengan radikalisasi keagamaan pada masa kontemporer ini apa ? Kita sebagai pemeluk agama kadang sering kaget mendengar penangkapan sekelompok pemuda islam yang masih belia karena berani melakukan pengeboman disebuah institusi dan ada pula penangkapan sekelompok pemuda yang digrebek polisi karena menyimpan amunisi pembuatan bom dengan segala macam peralatan pengeboman dan peta wilayah yang akan dijadikan sasaran pengeboman.Padahal pemuda saat ini sebenarnya menjadi harapan generasi yang lebih senior untuk mengisi kemerdekaan Indonesia. Tetapi para pelajar dan kaum muda malah terjebak dalam berbagai aksi kekerasan dan organisasi yang oleh negaranya sendiri dilarang karena berkecenderungan menjadi organisasi teroris.

Anak muda, termasuk sekelompok mahasiswa adalah salah satu target yang kerap sebagai sasaran kelompok radikal untuh dipengaruhi dan direkrut sebagai simpatisan gerakan radikan di belahan dunia. Dengan adanya kemajauan teknologi yang semakin canggih, proses perekrutan tidak lagi dilakukan secara face to face di dunia offline melainkan telah banyak memanfaatkan teknologi dan internet. Penggunaan internet yang semakin massif serta aplikasi social media dan social networking seringkali dimanfaatkan untuk menyebarkan ideologi radikal dan mempropagandakan doktrin – doktrin, menjajagi dan menjaring kader – kader potennsial, bahkan menyuarakan ajakan melakukan jihad menyerang kelompok lain yang dinilai telah banyak menyengsarakan umat Islam.

Sasaran yang sering terjaring oleh kelompok teroris adalah kaum muda yang aktif bermain social media. Kelompok teroris tersebut memanipulasi pemikiran kaum muda untuk memiliki pikiran – pikiran radikal dan terpengaruh untuk berbuat hal – hal yang radikal melalui internet, atau bahkan di dunia nyata.

Beberapa penyebab mengapa orang bersedia melakukan tindak kekerasan atas nama agama yaitu pertama, persoalan pemahaman keagamaan. Pemahaman kegamaan merupakan bagian dari kekerasan agama (radikalisme -terorisme). Keradikalisme -terorisme  juga dikaitkan dengan adanya pemahaman tentang ketidakadilan politik, ekonomi dan hukum yang berjalan dalam sebuah negara. Suatu anggapan masyarakat kepada rezim politik atau partai tertentu yang tidak adil.Ketiga, radikalisme-terorisme juga buruknya dalam hal penegakan hukum sehingga menimbulkan ketidakadilan hukum. Ketidakadilan hukum ini merupakan salah satu factor yang masih dominan dalam sebuah negara termasuk di Indonesia, sehingga apparat penegak hukum serung menjadi sasaran kaum radikalis-teroris.Keempat, persoalan Pendidikan yang lebih menekankan pada aspek ajaran kekerasan dari agama, termasuk Pendidikan yang lebih menekankan aspek indoktrinasi, tidak memberikan ruang diskusi tentang suatu masalah.

Kasus radikalisasi di Indonesia selalu muncul di permukaan Indonesia

Terjadi ledakan yang diduga bom di sebuah Gereja Katedral di Kota Makassar, Sulawesi Selatan pada Hari Minggu 28 Maret 2021.(KOMPAS.com ). Pelaku melakukan bagian dari kelompok JAD. JAD hanya memiliki dua sasaran yaitu gereja dan polisi.Meraka terafiliasi dengan ISIS dan diakui sebagai organisasi teror Departemen dalam negeri Amerika Serikat.

Peristiwa Penembakan di Mabes Polri pada hari. Menurut kepolisian pelaku melakukan aksinya lantaran didorong oleh paham radikalisme teroris yang kemungkinan terhubung dengan ISIS. Motif pelaku adalah dendam kepada Densus 88 Antiteror Polri yang menangkap terduga teroris.

Kedua kasus tersebut sama sama berkaitan dengan ISIS. Teroris yang beranggapan dirinya akan masuk surga asalkan sudah berupaya menyerang polisi yang dianggap musuh dan mereka beranggapan memusnahkan orang Nasrani akan mati secara syahid.

Sementara Intoleransi beragama adalah suatu kondisi jika suatu kelompok ( misalnya masyarakat, kelompok agama, atau kelompok non-agama ) secara spesifik menolak untuk menoleransi praktik-praktik, para penganut, atau kepercayaan yang berlandaskan agama. Namun, pernyataan bahwa kepercayaan atau praktik agamanya adalah benar sementara agama atau kepercayaan lain adalah salah bukan termasuk intoleransi beragama, melainkan toleransi ideologi.

Kata intoleransi berasal dari kata prefek in- yang memiliki arti “tidak, bukan” dan kata dasar toleransi yang memiliki arti sifat atau sikap toleran, batas ukur untuk penambahan atau pengurangan yang masih diperbolehkan penyimpangan yang masih dapat diterima dapat diterima dalam pengukuran kerja. Toleransi yang dimaksut adalah sifat atau sikap toleran. Kata toleran yang dimaksud adalah bersifat atau bersikap menenggang (menghargai, membiarkan, membolehkan) pendirian (pendapat, pandangan, kepercayaan, kebiasaan, kelakuan,dan sebagainya) yang berbeda atau bertentangan dengan pendirian sendiri.

Meningkatnya jumlah intoleransi di Indonesia memiliki kaitan erat dengan gelombang konservatisme yang melanda Indonesia sejak beberapa tahun Terakhir. Intoleran tidak dapat tumbuh jika tidak ada lahan yang  menopangnya. Konservatisme adalah lahan dimana eksteimisme , radikalisme, intoleransi, terorisme, dan beragam jenis kekerasan atas nama agama belakangan tambah subur.

Setara Institut ( Hasani dkk., 2011:14-16) membedakan antara intoleransi pasif dan intoleransi aktif. Intoleransi pasif hanyalah pada tingkat gagasan dan puritanisme, sedangkan intoleransi aktif berupa tidakan dan aksi. Jika ntoleransi dimaknai sebagai kekerasan dalam bentuk pasif atau kekerasan yang paling rendah, maka eskalasi krisis akan sangat menentukan perubahan sifat pasif menjadi lebih lunak. Intoleransi pasif menunjuk sebagai kombinasi gagasan fundamental, eksklusivisme dan intoleran yang tidak manifes menjadi kekerasan. Sedangkan intoleransi aktif itu kebalikannya,intoleransi aktif adalah grade untuk menunjuk gagasan dan cara pandang intoleran menjadi kekerasan.

                Biksu dilarang beribadah di Tangerang terjadi pada Hari Rabu 7 April 2018 ( IDN Times ). Berawal penolakan warga atas rencana kegiatan kebaktian umat Budha dengan melakukan tebar ikan di lokasi danau di Kampung Kebon Baru, Desa Babat Tangerang. Kekhawatiran masyarakan melihat biksu melakukan ibadah dengan mengundang jemaat dari luar hingga menganggap biksu tersebut akan mengajak orang lain masuk ke agamanya yaitu agama Budha.

                Aksi teror yang dilakukan oleh simpatitisan ISIS Gereja Oikumene, Sengkotek, Samarinda Kalimantan Timur pada Hari Minggu 13 November 2016 ( IDN Times ). Seorang pria meledakkan bom rakitan di halaman gereja Ketika jemaat melakukan kebaktian. Seorang

Karakteristik Ahlussunnah wal Jama’ah

                Ahlussunnah wal Jama’ah sebagi faham yang mengikuti Rasulullah SAW dan para sahabatnya, tentu memiliki karakter pembeda dengan paham paham lainnya.Dalam menyikapi adanya radikalisme dan intoleransi, Ahlussunnah wal Jama’ah memberikan solusi dengan karakteristiknya. Karakteristik Ahlussunnah wal Jama’ah yaitu tawasuth, tawazun, I’tidal dan tasamuh.

Pertama, Tawasuth merupakan sikap tengah – tengah atau sedang -  sedang di antara dua sikap, tidak terlalu keras  ( fundamentalis ) dan tidak terlalu bebas ( liberalisme ). Sikap tawasuth berpijak kepada prinsip hidup yang menjunjung tinggi keadilan dan keseimbangan di tengah tengah kehidupan Bersama bertindak lurus yang bersifat membngun serta menghindari sikap tathorruf (ekstrim).

Kedua, Tawazun adalah sikap seimbang dalam segala hal, baik dalam ibadah yang berhubungan langsung dengan Allah SWT ataupun hubungan dengan sesame. Dan juga keseimbangan di dalam menggunakan dalil akal (Aqli ) dan dalil dari syara’ ( Naqli ). Karakter ini sangat penting dalam upaya menyeimbangkan antara hak dan kewajiban setiap manusia dan Tuhannya, manusia dengan manusia, manusia dengan makhluk lain seperti hewan, tumbuhan dan lain lain. Dalam kehidupan pribadi, Islam mendorong terciptanya keseimbangan antara ruh dengan akal, antara akal dengan hati, antara hak dengan kewajiban dal lainnya.

Ketiga, I’tidal adalah sikap adil, jujur, dan apa adanya. Dengan sikap I’tidal diharapkan akan tercipta masyarakat yang adil dan Makmur. Sikap ini merupakan sebuah kewajiban dari ajaran syari’at Islam. Nahdlatul Ulama dengan sikap dasar ini akan selalu menjadi kelompok panutan yang bersikap dan bertindak lurus dan selalu bersikap membangun serta menghindari segala bentuk pendekatan yang condong pada faham-faham ekstrim.

Keempat, tasamuh merupakan sikap saling menghargai dan menghormati ( toleransi ). Dalam kehidupan Ahlussunnah wal Jama’ah selalu bersikap menghargai dan menghormati orang atau kelompok lain yang berbeda pandangan, karena perbedaan merupakan sebuah keniscayaan yang tidak bisa dihindari. Toleransi diterapkan pada ranah sosialis, upaya upaya membangun toleransi melalui aspek teologis, seperti doa dan ibadah bersama.

Bagikan :

Tambahkan Komentar